Menaker mengurai sesungguhnya wirausaha sosial itu motifnya non-ekonomi. Mirip dengan motif gerakan kapitalisme di awal-awal dulu. Motif agama pada awalnya menjadi dasar pemicu dari Kapitalisme. “Sekitar Abad 18, masyarakat Barat itu penganut agama Protestan yang sangat kuat. Di dalam ajaran Protestan, kurang lebih dikatakan bahwa siapa yang bekerja keras, dia masuk surga. Makanya orang Barat pada saat itu kalau pagi keluar rumah, ke ladang, ke kebun, bekerja, dan seterusnya. Pagi keluar rumah, pulang sore, pagi keluar rumah, pulang sore, terus begitu. Tujuannya adalah masuk surga. Jadi, tujuan utamanya adalah memburu surga dan efek sampingnya, lumbung gandumnya penuh, kekayaannya meningkat," urai Hanif. Wirausaha sosial, kata Hanif, basis utamanya adalah juga motif-motif yang sifatnya non-ekonomi. "Jadi, kalau muncul ekonominya, muncul bisnisnya itu sebut saja sebagai efek samping. Artinya, ketika kita menceburkan diri di dalam aktivitas yang disebut wirausaha sosial itu maka kita sebetulnya menempatkan diri sebagai agen perubahan, tidak bisa yang lain,” imbuhnya.Menurut Menaker Hanif, kekuatan motivasi untuk menolong, membantu menyelesaikan masalah warga itulah yang akan membuktikan, apakah seseorang benar-benar serius menjadi wirausahawan sosial atau tidak. Hanif lantas memberi contoh. Di Banyuwangi, ada komunitas nelayan yang diorganisir anak muda. Nelayan stres karena melihat sampah menumpuk. Pendapatan menurun, kualitas lingkungan memburuk. Maka anak-anak muda itupun melakukan penyelamatan terhadap daerah di sekitar pantai itu. "Kini Anda bisa kunjungi di daerah Banyuwangi yang namanya Kampung Apung. Komunitas nelayan yang ada di situ dibina dan mereka menjadi jauh lebih sadar terhadap lingkungan, yang akhirnya juga melahirkan bisnis yang terus tumbuh. Wisatawan banyak, lingkungan bagus, alam bisa dinikmati. Dengan naik boat beberapa meter ke depan, sudah bisa melihat ikan yang macam-macam,” cerita Hanif. Ditegaskan lagi Menteri Hanif, motivasi utama wirausaha sosial itu harus benar-benar karena ingin melakukan perubahan dan menyasar kepada penyebab dari masalah. “Untuk bisa begitu, pertama-tama yang perlu dilakukan adalah mengubah mindset. Yakni percaya kepada kerja keras, dan percaya pada kebaikan. Kenapa kerja keras karena kerja keras yang kreatif dan inovatif itu menghasilkan prestasi dan menghasilkan manfaat. Kebaikan yang dilakukan terus-menerus akan melahirkan kebaikan yang lebih banyak dan kemanfaatan yang lebih banyak. Kombinasi inilah sebenarnya yang menjadikan wirausaha sosial itu,” tandas alumnus UIN Salatiga ini. Saat mengakhiri Dialog Kebangsaan, Hanif Dhakiri "ditodong" oleh moderator Najib Azca agar menyampaikan closing statement dengan menyanyi. Maka mengalunlah lagu "Indonesia Kita" dari Hanif dengan petikan gitar. Erros Djarot dan peserta dialog pun bertepuk tangan meriah dan mendengarkan nyanyian Hanif hingga selesai. (Erwan Widyarto) UGM Fisipol Jogja Menaker UGM Fisipol Jogja Menaker