Rebutan Jenazah, PDP Corona Kabur dari RS, Ternyata Ini Pemicunya
Membawa lari jenazah atau pasien dalam pengawasan (PDP) kasus Covid-19 dari rumah sakit, menjadi perbincangan di media sosial dalam sepekan terakhir.
Kasus Rebutan jenazah PDP Covid-19 antara petugas rumah sakit dengan keluarga almarhum, antara terjadi di Manado, Sulawasi Utara, di Makassar Sulawesi Selatan, dan akhirnya merembet ke Surabaya Jawa Timur.
Yang dijadikan alasan mempertahankan jenazah keluarganya dengan mati- matian, karena diyakini meninggalnya bukan disebabkan Covid-19, tapi karena penyakit bawaan yang kronis.
Maka mereka menolak jasad keluarganya tersebut dimakamkan berdasarkan protokol Covid-19. Artinya seluruh prosesi pemakaman ditangani oleh petugas khusus. Dari memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan sampai mengebumikannya. Sedang keluarga tidak boleh ikut campur, dengan dalih untuk mencegah penularan.
Selain itu dipicu oleh ketidakpercayaan dan khawatir, jenazah keluarganya yang masuk katagori PDP maupun yang telah divonis positif Covid-19, tidak ditangani dengan benar, menurut syariat agama Islam, yang ia yakini, mengingat pihak keluarga tidak ada yang menyaksikan.
Supaya bisa membawa pulang jenazah yang dalam pengawasan rumah sakit, pihak keluarga sebelumnya jsudah menyiapkan setrategi dengan menyiapkan "pasukan" dalam jumlah besar, untuk menghadapi petugas rumah sakit yang mencoba menghalangi saat akan membawa pulang jenazah keluarganya supaya bisa dimakamkan sendiri.
Petugas rumah sakit yang ingin menegakkan aturan berdasarakan SOP sering dibuat tidak berdaya, menghadapi tekanan, yang mengancam keselamatan jiwanya.
Kejadian di Makasar videonya viral. Petugas rumah sakit dengan keluarga berebut jenazah secara dramatis saling tarik dan dorong. Ketika jenazah akan dimasukkan ambulan untuk dikebumikan di pemakaman khusus, salah seorang keluarga nekat merebahkan diri di depan roda ambulan. Akhirnya Jenazah berhasil dipindahkan ke ambulan lain yang sudah disiapkan pihak keluarga untuk dimakamkan sendiri.
Di Surabaya, ratusan pengendara ojek online (ojol) juga sempat terlibat perang mulut dengan petugad RSUD Dr Soetomo. Karena nekat ingin memakamkan seorang temannya, berinisial DAW, perempuan berusia 39 tahun, yang meninggal karena kasus penjambretan.
Abdul Gofar, salah satu anggota ojol yang ikut memakamkan DAW mengatakan, temannya meninggal pada Minggu 7 Juni 2020 akibat jatuh dari kendaraannya di kawasan Gubeng, Kertajaya, Kamis, 4 Juni 2020.
Jenazah DW oleh petugas RSUD Sortomo akan dimakamkan dengan protokol Covid-19.
“Kami ingin saudara kita dimakamkan secara normal, tidak secara protokol covid-19. Karena yang bersangkutan meninggal bukan karena corona. Pihak keluarga akan segera memakamkan," kata Gofar, salah seorang anggota Ojol yang ikut mengawal DW
Ketika jenazah DAW akan dibawa pulang oleh ratusan ojol, pihak RSUD Dr. Soetomo sempat melarang. Sebab yang bersangkutan dinyatakan pasien dalam pengawasan covid-19 dan harus dimakamkan sesuai protokol Covid-19.
"Pihak keluarga ingin bawa pulang, dipersulit karena pihak rumah sakit mengharuskan pemakaman sesuai dengan protokol Covid-19. Kok bisa? Padahal dia meninggal karena korban penjambretan, kok positif covid-19? Ceritanya gimana? Tertular lewat siapa?" kata Gofar.
Setelah negosiasi yang sempat panas, akhirnya pukul 20.00 WIB, jenazah baru bisa dibawa pulang oleh pihak keluarga untuk segera dikebumikan. Menurut Gofar, DAW tidak terjangkit covid-19, karena sebelum meninggal sempat menjalani rapid test.
"Setiap driver dicek mas. Riwayat beliau juga bagus kok, murni korban penjambretan. Gak ada riwayat covid-19," katanya.
Sementara itu, Humas RSUD Dr. Soetomo, dr Pesta Parulian mengatakan, meski korban meninggal akibat kecelakaan, DAW merupakan salah salah seorang yang berstatus PDP. Maka, pemakaman dengan protokol Covid-19 merupakan bentuk antisipasi.
Dari kejadian ini muncul isu yang tidak sedap. Diduga ada kong kalikong untuk mengejar "setoran". Karena setiap jenazah yang dimakamkan menurut protokol Covid-19, ada anggarannya.
Anggaran itu meliputi pemulasaraan jenazah Rp550.000, kantong jenazah Rp100.000, peti jenazah Rp1.750.000, plastik erat Rp260.000, desinfektan jenazah Rp100.000, transport mobil jenazah Rp500.000 dan desinfektan mobil jenazah Rp100.000.
Dengan demikian, tiap jenazah Covid-19 membutuhkan biaya Rp 3,36 juta. Biaya itu belum termasuk uang insentif untuk petugas pemakaman.
Seluruh biaya tersebut ditanggung pemerintah. Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran Rp 72 triliun sebagai dana kesehatan penanganan virus corona.
Makin banyak yang dimakamkan dengan protokol Covid, makin besar jumlah uang yang diterima. Dan ini diakui ole petugas pemakaman. Sayang dia tidak mau disebut namanya. Karena persoalan ini cukup sensitif.
Sementara kasus pulang paksa juga sempat terjadi RS Haji Surabaya. Peristiwa ini berawal ketika seorang pasien bernama Hasan, asal Bangkalan Madura, yang berstus PDP menolak diisolasi.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan petugas medis RS Haji, pengelola parkir itu dinyatakan berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).
Waktu masuk rumah sakit, suhu badan Hasan, cukup tinggi dan sesak nafas.
Hasan yang dikawal keluarganya berjumlah sekitar 15 orang, menolak diisolasi, minta dirawat di rumah saja. Pihak petugas RS sudah menjelaskan kalau dibawa pulang, risikonya lebih besar orang lain akan tertular. Penjelasan petugas medis itu tidak digubris. Pokoknya Hasan harus dibawa pulang.
"Tidak ada crona cronaan, pokoknya Hasan saya bawa pulang," kata seorang petugas RS Haji menirukan.
Karena terus ditekan disertai ancaman petugas RS Haji mengalah demi keselamatan jiwanya, meskipun ia menyadari ini sebuah kekeliruan.
"Soalnya keluarga hasan itu juga mengeluarkan ancaman, akhirnya kami lepaskan," ujar petugas RS Haji, yg tidak mau disebut namanya.
Setelah dirawat di rumahnya di Madura selama dua hari
Hasan yang berprofesi sebagai pengelola parkir 7 Juni 2020 Minggu malam, dikhabarkan meninggal. dunia. Selain Hasan, istrinya juga mengidap penyakut paru parun dan keluar masuk RDUD Soetomo.
Salah seorang kerabat almarhum Madrai yang tinggal di Kalibokor, menjelaskan, bahwa almarhum telah dimakamkan di pemakaman desanya dengan lancar, tidak ada yang mempersoalkan penyebab kematiab Hasan." Oreng mate karena Allah bukan karena Crono," kata Madrai, Selasa 9 Juni 2020 sepulang daru melayat Hasan.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, menyatakan prihatin dengan kejadian ini, meskipun bersifat kasuistis. Supaya kasus seperti tidak terjadi, ia meminta agar tak ada lagi penolakan terhadap jenazah pasien Covid-19.
Ia mengatakan, pada saat seperti ini, nilai kemanusiaan harus dinomorsatukan.
"Tidak lagi boleh kita menolak jenazah Covid-19. Mari kita jadi teladan dalam menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan," kata Yuri saat dihubungi ngopibareng.id Selasa 9 Juni 2020.
Selain itu, ia meminta agar tidak ada diskriminasi terhadap pasien Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh dan sudah kembali ke rumah.
"Jangan melakukan diskriminasi pasien Covid-19 yang sudah sembuh dan telah kembali ke rumah," pesannya.
Yuri juga mengingatkan agar warga saling membantu jika mengetahui ada warga lain yang sedang melakukan isolasi mandiri di lingkungan sekitar.
Menurut dia, sikap gotong royong antarwarga saat ini sedang diuji.
"Hargai dan bantu mereka yang sedang melaksanakan isolasi mandiri di rumah, melaksanakan isolasi secara kelompok di RT atau kelurahan," kata dia.
"Kekompakan kita sebagai bangsa sedang diuji. Level kerja sama dan tenggang rasa kita sedang disaksikan seluruh dunia," kata Yuri.