Ini Kiat LDII Hadapi Era Disrupsi
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) mengajak semua pihak bekerja untuk masa depan dengan paradigma bersanding, bukan bertanding, apalagi bersaing. Pernyataan itu disampaikan merespons kondisi disrupsi atau perubahan besar-besaran di semua sektor seperti saat ini,
"LDII yakin, dengan paradigma itu, bisa saling menguntungkan, sehingga Indonesia bisa berjalan dengan tegak," ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat membuka webinar “Beragama dalam Bingkai Kebangsaan untuk Merawat dan Menjaga Keutuhan Bangsa, di Aula Serbaguna, Kantor DPP LDII, Jakarta, Rabu 24 Agustus 2022.
Perhelatan itu diikuti 2.600 peserta yang berkumpul di 265 titik. Para peserta terdiri perwakilan DPW, DPD Kabupaten/Kota, hingga pesantren di lingkungan LDII.
Webinar tersebut menghadirkan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid sebagai pembicara kunci, Lukman Hakim Saifuddin, Ketua PBNU KH. Ahmad Fachrur Rozi, Ketua PP Muhammadiyah KH Syafiq Al Mughni, Romo Franz Magnis Suseno, dan Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistyono.
Menurut Chriswanto, keberagaman adalah takdir bangsa Indonesia. Agar perahu yang bernama Indonesia tetap tenang, maka setiap pihak harus mengembangkan toleransi dan saling menghargai.
Senada dengan Chriswanto, keynote speaker webinar Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi dalam paparannya meminta umat beragama menjadi agen transformasional, yang mampu mengembangkan nilai-nilai spiritualitas keimanan, mental kultural, dan kemanusiaan di kemajemukan.
“Kita sekaligus harus mampu menjaga keutuhan bangsa agar tidak tercerabut dari akar kehidupan, sebagai bangsa yang religius di tengah budaya teknokratik, materialistis, dan hedonis yang terjadi di sekitar kita,” ujar Zainut.
Semua umat beragama dikatakan lebih spesifik lagi ormas keagamaan memiliki tempat yang strategis. Mereka berfungsi sebagai tumpuan harapan umat dan mitra pemerintah dalam meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara
Secara spesifik, peran dan kontribusi umat Islam, utamanya ormas Islam sebagai penjaga garis kerukunan antar umat beragama perlu ditingkatkan, seiring dengan tantangan dan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia.
“Kita semuanya menyadari bahwa faktor pendidikan, ekonomi dan pilihan politik, kerap menjadi penyebab naik turunnya tensi kerukunan, munculnya gesekan, dan keretakan sosial di tengah masyarakat,” paparnya.
Menurut wamenag, fondasi kerukunan dan keutuhan bangsa harus dibangun sejak dari lingkungan keluarga, pendidikan formal, maupun pendidikan informal. “Kita harus bisa mencegah gesekan sesama saudara sebangsa dan setanah air serta saudara seagama yang berbeda pemahaman dan organisasi.
“Kita menghadapi dua kutub dalam keberagamaan, secara sederhana terdapat kutub yang mengedepankan simbol dalam beragama. Kemudian terdapat kutub lain, yang mengedepankan esensi, tidak peduli dengan simbol, supaya semua pihak bisa lebih toleran,” ujar wamenag.
Di sinilah hadir konsep moderasi beragama, yang menarik dua kutub tersebut agar mengedepankan nilai-nilai universal agama untuk kemaslahatan umat. Sementara masalah-masalah perbedaan atau furuiyah, hanya diperbincangkan di dalam kelompok saja.
Sikap yang toleran tersebut, diyakini Romo Franz Magnis Suseno SJ, Guru Besar Emiritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagai penyelamat bangsa Indonesia.
Modal Toleransi
“Bangsa ini setidaknya tiga kali terancam perpecahan, namun persatuan selalu menyelamatkan Indonesia,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar kebangsaan tersebut.
Sumpah Pemuda melahirkan bangsa Indonesia di tengah kolonialisme pada 1928. Lalu Pancasila yang dirumuskan sesaat sebelum merdeka, terbukti menjadi perekat, “Ketiga saya sebagai saksi mata, kala reformasi semua orang mengira Indonesia akan bubar seperti Uni Soviet, tapi Indonesia bisa keluar dari krisis dalam persatuan dan perdamaian yang mantap,” ujar Romo Magnis.
Kunci keberhasilan Indonesia melewati krisis, menurutnya adalah kesediaan mayoritas untuk tidak menuntut kedudukan istimewa dalam UUD 1945, “Umat Islam tidak menuntut keistimewaan. Itulah dasar persatuan,” imbuhnya.
Meski demikian, ia berpendapat kelompok minoritas harus menghormati nilai-nilai budaya kelompok mayoritas, “Di sinilah pentingnya tenggang rasa,” ungkapnya.
Bangsa Indonesia menurutnya punya modal rohani, dalam dimensi budaya, politik kebangsaan dan agama. Dalam dimensi budaya, Indonesia bila dibandingkan Jerman sangat jauh berbeda. Bangsa Jerman tidak biasa beda bahasa, sementara Indonesia majemuk.
“Jadi orang Indonesia terbiasa berbeda agama dan bahasa, namun bisa hidup saling menghormati. Dalam budaya Indonesia kekerasan itu selalu ditolak. Indonesia itu toleran dan positif,” tutur Romo Magnis.
Senada dengan Romo Magnis, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Singgih Tri Sulistiyono yang juga Ketua DPP LDII, menuturkan Pancasila merupakan pemersatu bangsa, “Inilah yang membuat Lemkari cikal bakal LDII, sejak berdiri pada 1972 menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi,” imbuh Singgih.
Menurutnya, untuk menjahit keberagaman LDII mengembangkan silaturahmi atau dialog. Bahkan, “8 Program Kerja LDII untuk Bangsa” yang terdiri dari Wawasan Kebangsaan, Dakwah, Pendidikan Umum, Ketahanan Pangan, Penghijauan dan Pelestarian Lingkungan, Kesehatan dan Pengobatan Herbal, Ekonomi Syariah, Teknologi 4.0, dan Energi Baru Terbarukan – tidak berhenti sebagai program kerja, tapi menjadi wahana untuk bersilaturahmi dengan pemerintah, ormas, parpol, dan para pemangku asas lainnya.
Silaturahmi menjadi ruh LDII dalam moderasi beragama. “Pondasinya ayat yang menegaskan kita diciptakan memang berbeda, namun untuk saling mengenal sehingga bisa saling membantu,” ujar Singgih.
Catatan redaksi: berita ini mengalami koreksi pada Rabu, 24 Agustus 2022, pujul 18.58 WIB. Redaksi memohon maaf.