Ini Jawabnya, Kenapa Lelaki Lebih Suka ke Warung Kopi Ketimbang Ibu-Ibu
Kopi memang sedang up. Up-nya hora karuan-karuan alias tak terbayangkan. Lihat saja, mana ada warung kopi yang sepi? Kan tidak ada! Semuanya full. Bahkan tempat duduknya kurang-kurang. Akibatnya, kadang, orang ngopi sampai ada yang dlosoran. Bedanya, kalau di Jogjakarta, Solo, Semarang - yang intinya adalah wilayah Mataraman - ngopi gaya dlosoran begini disebut dengan lesehan.
Lesehan menjadi kata yang keren. Lemek-nya tikar. Kadang bekas spanduk-spanduk kain. Kadang juga bekas baner-baner acara yang tidak terpakai. Wis pokoke bisa duduk, ada lemeknya, ngopi menjadi dunia asyik. Seperti dalam dunia antah berantah. Bisa ngedumel apa saja. Bisa ngomongken apa saja. Bisa ngerasani siapa saja. Kalau sudah begini pada lupa. Lupa waktu. Kadang lupa diri segala. Intinya juga pada lupa, bahwa, lesehan itu tak lain dan tak bukan adalah dlosoran.
Lemek saat duduk menikmati kopi sambari dlosoran itu aslinya juga tidak terlalu penting. Malah terkesan formalitas. Formalitas dari apa saja termasuk si pemilik warung. Agar apa? Supaya tidak dikatai kemproh. Supaya tidak dibilang ora bondo. Selebihnya, agar terkesan sebagai warung beneran. Kursi tak mencukupi maka pilihannya adalah ndlosor di tikar.
Dari sisi pengunjung dan pelanggan warung, lemek juga tak lepas dari urusan formalitas. Pertama, agar terkesan masuk warung. Kedua, ndak pantes alias sebuah kepantasan, masak ke warung kok klesotan di tanah dan mungkin juga teras orang. Ketiga, agar terkesan tidak tahan banting dengan serangan masuk angin. Sebab, kalau sedang marung kopi rasanya tidak lucu kalau bolak-balik ngentut das dus das dus dengan aroma semerbak kemana-mana.
Nah, sekarang mari dijawab, kenapa kaum lelaki lebih suka marung kopi ketimbang ibu-ibu. Ini jawabnya: Laki-laki itu suka pakai kopiah. Kadang kopiahnya model yang tinggi sampai mancung ke langit. Tahu kenapa? Kalau dapat uang sukanya dislempitkan di dalam kopiah itu.
Kopiah lalu dibawa-bawa kemana-mana. Tidak sekadar kalau mau ke langgar atau masjid. Jadi, istrinya, makin tidak tahu kalau di dalam kopiah itu sebenarnya ada duitnya. Ada simpanan yang kadang jumlahnya lebih besar uang belanja. Nah duit ini yang kalau ke warung kopi dibuat transaksi. Duit laki-laki katanya.
Jadi, kemungkinan, lelaki yang tak ngopi, boleh jadi karena tidak punya kopiah di rumah. Atau tak biasa memakai kopiah. Maka dia tidak sempat menyimpan uang lelaki untuk pergi ke warung kopi. Meski kadang mungkin kurang cocok, dia lebih suka duduk manis di teras rumah sementara kopinnya dibuatkan tangan sang istri.
Uang di kopiah sama di dompet beda. Kalau di restoran, di kafe besar, membayar tagihan kartu kredit, mentratir para calon selingkuhan, yakinlah pasti uang di dompet yang dikeluarkan. Tidak pernah bakal ada kopiah diturunkan kemudian isinya digogohi untuk membayar semua itu. Isin dan gengsi dong.
Warung kopi itu memang jauh dari sanubari ibu-ibu. Apalagi lelaki itu memang makomnya berbeda dengan ibu-ibu. Bukannya perempuan tidak suka ngopi di warung, tetapi lebih kepada perempuan sukanya primpen menyimpan uang.
Apa-apa selalu disimpen. Lalu, dicatet dengan teliti. Hemat pula. Saking hematnya jarang lho ibu-ibu itu mengeluh kekurangan uang belanja, mengeluh tak dapat belanja, atau mengeluh tak ada gula kopi di dapur.
Kalau duitnya belanja kurang, maka semua barang yang hendak dibelinya, ditawar habis. Dienyang sampai yang jualan mencret-mencret kewalahan dan akhirnya melepas barangnya.
Kalau duitnya masih tidak nutut, akan berpindah ke pedagang lain. Meskipun selisihnya hanya 50 rupiah, akan dikejar dimanapun pedagang itu berada. Nah, adakah warung kopi yang segelas kopinya bisa dienyang? Tidak ada bukan?