Ini Jawaban Kenapa di Lamongan Perempuan yang Melamar Laki-laki
Surabaya : Jika proses lamaran (meminang) dalam perkawinan pada umumnya dimulai oleh pihak laki-laki, tetapi di Kabupaten Lamongan tradisi ini justru dibalik. Pihak perempuanlah yang melamar.
“Keunikan” ini yang ditangkap lima mahasiswa jurusan Antropologi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR) untuk melakukan penelitian yang berujung pada pendanaan pengembangan dari Kementrian, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Kelima mahasiswa Antropologi FISIP UNAIR itu adalah Luluk Oktavia, Yusuf Bilal Abdillah, Biandro Wisnuyana, Dyah Bratajaya Wisnu Puteri, dan Selvi Nur An Nisaa Permata.
”Ini benar-benar bagai pepatah Lain ladang lain belalang, Lain lubuk lain ikannya, di setiap daerah memiiki adat istiadat berbeda, satu aturan di suatu daerah bisa berbeda dengan aturan di daerah lainnya. Salah satunya di Lamongan Jawa Timur ini,” kata Luluk Oktavia, ketua penelitian.
Ternyata terdapat kisah dibalik tradisi lamaran ini, yang tidak lain adalah kisah yang terjadi di zaman kerajaan dahulu. Dimulai dari sebuah kisah tentang Tumenggung Lamongan. Ia mempunyai dua anak laki-laki yang rupawan, namanya Panji Laras Liris. Ketampanan pemuda ini sangat terkenal, hingga membuat dua putri dari Kerajaan Kediri jatuh cinta kepada Panji Laras Liris.
Singkat cerita, kedua puteri dari Kerajaan Kediri itu pergi ke daerah Lamongan untuk meminang Panji Laras Liris. Pada akhirnya saat masih ditengah perjalanan sudah ditolak, karena Panji Laras Liris merasa jijik melihat kaki sang puteri yang banyak bulu seperti kaki kuda.
Maka dari itu, hingga saat ini masyarakat Lamongan memiliki anggapan keyakinan bila laki-laki Lamongan menikah dengan wanita asal Kediri, mereka akan mendapatkan kesialan dalam hubungan rumah tangganya. Dari cerita inilah melahirkan tradisi di Lamongan bahwa pihak wanita yang harus melamar pria.
“Jadi dalam lamaran ini ada beberapa prosesi, seperti njaluk, ganjur, milih dino, dan pernikahan. Di mana orang tua pihak wanita meminta kepada si pria untuk menjadi menantunya. Setelah meminta (njaluk), mereka melakukan ganjuran (lamaran)ke pihak pria, lalu pihak pria membalas ganjuran itu selang beberapa hari. Kalau semua sudah saling setuju, baru kedua pihak menentukan hari pernikahannya, setelah itu mereka menikah,” tambah Luluk Oktavia.
Pada tradisi lamaran ini terdapat nilai-nilai social, yaitu pihak wanita yang mendatangi pria. Disini terkesan bahwa ada penghargaan dari seorang wanita kepada pria. Selain itu terdapat kesan bahwa seorang pria harus menjaga wanita karena ia juga mampu memberikan sesuatu kepada pria yang dipercayainya itu.Jadi bila ada laki-laki yang hanya menggantungkan hidupnya pada seorang wanita dan rumah tangganya berantakan, maka harga diri laki-laki itu akan turun di masyarakat umum.
Perspektif lain juga terlihat pada seserahan yang dibawa pihak wanita dalam proses lamaran. Setelah diterima oleh pihak pria, dalam pernikahan nanti si pria akan memberikan mahar yang lebih besar dari nilai seserahan yang telah diterima itu.
”Ini memberikan kesan bahwa terdapat rasa gengsi dari pihak pria jika mahar yang diberikan lebih kecil dari seserahan yang dibawa pihak wanita. Sebagai calon kepala keluarga haruslah mapan dan memiliki derajat lebih tinggi dari isterinya. Oleh karena itu, mereka menunjukkannya dari mahar yang diberikan kepada calon istrinya,” tambah Luluk. (wah)