Ini Fakta-fakta Tradisi Ayunan Jantra di Tenganan Bali
Beberapa upacara dan tradisi dalam rangkaian Usaba Sambah di Desa Tenganan, Pegeringsing, Karangasem, Bali sudah digelar. Diantaranya tradisi ayunan jantra yang dilakukan usai gered pandan yang merupakan acara puncak Usaba Sambah.
Tradisi ayunan jantra ini dimainkan gadis remaja. Kalau yang laki-laki menjalankan tradisi berperang dengan pandan berduri, lain lagi dengan perempuannya.
Para gadis yang bermain ayunan ini akan mengenakan pakaian tradisional dan diayun oleh remaja putra agar berputar. Prosesi ayunan biasanya diselenggarakan setelah Perang Pandan selesai.
Delapan gadis Desa Tenganan yang disebut daha duduk di atas ayunan dengan mengenakan kain tradisional berwarna keemasan. Ayunan yang diletakkan di halaman desa tersebut digerakkan oleh dua orang pemuda. Prosesi ayunan ini melambangkan kehidupan yang terus berputar, kadang di atas, kadang di bawah.
Berikut fakta tradisi ayunan jantra masyarakat desa Tenganan, Bali.
Makna dalam Tradisi Ayunan Jantra
Tradisi mayunan jantra atau ayunan jantra memang terlihat sederhana. Dengan menggunakan kayu yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk ayunan putar seperti roda. Dibalik kesederhanaannya ternyata tersimpan makna, yakni ayunan ini di ibaratkan sebagai bumi karena bumi akan berputar begitu pun dengan ayunan tersebut.
Dari hal tersebut, diharapkan bahwa para remaja putri dan putra yang terlibat dalam tradisi ini bisa lebih siap dalam menghadapi kehidupan selanjutnya yang nantinya akan mengalami pasang surut seperti kadang di atas dan kadang di bawah. Sekaligus sebagai pengingat akan tradisi mayunan jantra yang sudah ada sejak dahulu dan harus tetap dilestarikan sebagai warisan budaya.
Aturan dalam Tradisi Ayunan Jantra
Tradisi ayunan jantra juga memiliki aturan bagi yang menaikinya, jadi tidak boleh sembarang orang bisa menaikinya.
Bahwa ayunan jantra tersebut dipasang selama 18 hari selama rangkaian dari Usaba Sambah. Dan selama itu pula setiap sore para remaja putri akan menaiki ayunan tersebut dan remaja putra bertugas untuk mengayunkan tapi tetap harus menggunakan pakaian adat Tenganan Pegringsingan dan juga mendapat pengawasan dari orang dewasa.
Selain itu bagian yang dilakukan para gadis dan remaja putra juga tidak boleh terbalik. Yakni remaja putri yang berusia 17 tahun hanya boleh menaikinya, sedangkan remaja putra hanya boleh menjadi pengayun.
Dalam satu ayunan jantra mampu menampung dari 4 hingga 8 orang remaja putri. Tergantung jumlah tempat yang ada dalam satu ayunan tersebut dan remaja putra yang bertugas untuk mengayunkan ada empat orang, dua orang di bawah dan dua orang di tengah.
Tradisi ayunan jantra melibatkan daha & teruna (laki yang belum menikah dan perempuan yang belum menikah). Teruna tugasnya memutar ayunan sebanyak enam kali. Tiga kali diputar ke arah utara, serta tiga kali ke selatan. Sedangkan para daha bertugas menaiki ayunan.
Proses Pembuatan Ayunan Jantra
Ayunan jantra dibuat dari pohon cempaka yang sudah disucikan terlebih dahulu dengan ngayunan lokan. Jumlah dari ayunan ini berjumlah 4 unit, dan dipasang di beberapa titik. Ayunan ini terdiri dari delapan tempat duduk. Masing-masing dua di bagian atas, bawah, depan dan belakang.
Kayu yang digunakan dalam ayunan jantra diambil dari pohon cempaka di sekeliling Bukit di Desa Tenganan Pegringsingan dan usia kayunya hampir mencapai puluhan tahun.
Pakaian dalam Ayunan Jantra
Saat remaja perempuan dan lelaki melakukan tradisi ayunan jantra juga memiliki pakaian khsusus yang harus dipakai saat melakukan tradisi ini.
Pakaian tersebut bernama kain geringsing. Kain geringsing merupakan pakaian khas dari Tenganan Pegringsingan, sebagai simbol khas desa Tenganan Pegringsingan yang mempunyai makna sebagai penolak bala.