Ingin Percantik Kota, Pemkab Jombang Gagal Buat Estetik
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang memiliki sejumlah proyek untuk memperbaiki tata kota. Kota santri itu disulap dengan dihiasi pernak-pernik lampu hias serta trotoar menyerupai Malioboro di Yogyakarta. Tak tanggung-tanggung, Pemkab Jombang menggelontorkan dana miliaran untuk tujuan tersebut. Sayangnya tak genap setahun diresmikan, lampu kedua proyek tersebut mengalami kerusakan.
Pada Desember 2020, terpantau di sepanjang jalan pertigaan monumen Garuda Pancasila hingga perempatan samping utara kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) terpasang lampu hias warna-warni berbagai pola serta lampion. Posisinya, melintang di atas jalan.
Gemerlap lampu mempercantik Jalan Dr. Soetomo itu ditempati puluhan pedagang kaki lima (PKL) eks Alun-alun untuk berjualan.
Menurut Hartono, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jombang lampion itu sudah direncanakan sebelum Covid-19 melanda. Tujuannya sebagai daya tarik masyarakat.
“Awalnya, memang sudah menjadi program Bupati sebelum Covid-19. Rencananya mau dibuat seperti kya-kya di Surabaya, seperti jembatan merah. Lambat laun ada Covid-19, dengan dorongan PKL dari Alun-alun pindah di sana dan mengundang daya tarik masyarakat, makanya kita beri lampu lampion itu,” katanya melansir KabarJombang.com
Dishub sebagai Penyedia
Hartono menampik pelaksaan proyek lampion dari P-APBD atau PAK Dishub Jombang. Dia mengatakan hanya menyewa penyedia sebagai tim perencanaan dan pelaksanaan. Khususnya yang sanggup bekerja sesuai RAB (rancangan anggaran biaya).
“Kalau berbicara tupoksi dan spek-nya lampu, Dishub hanya PJU saja. Tapi karena speknya lampu, makanya ini ditugaskan ke kita. Tapi bukan kami yang mengerjakan, kami menyewa penyedia sebagai tim perencana dan pelaksana yang sanggup membuat sesuai dengan RAB-nya,” jelasnya.
Sementara, lampu yang terpasang di 10 titik itu menelan anggaran Rp 185 juta. Hartono memperkirakan, konstruksi dan lampu lampion tersebut, tahan hingga 3 tahun.
Lampion Mati
Namun, sejak September 2021 lampu hias itu telah mulai rusak. Terlihat pada beberapa titik, lampu bulat yang menggantung dalam kondisi copot, warna-warni cat pada lampu juga terlihat memudar.
“Dulu awal memang bagus, sekitar September 2021 kalau gak salah mulai copot. Sampai sekarang ya begitu keadaannya,” beber seorang PKL berinisial TJ.
TJ menyebut kondisi lampu hias rusak menjadi bahan gunjingan para PKL. Mereka menilai estetikanya sudah tidak ada lagi.
“Ya sempat ada yang bilang kalau lampu mati daya tariknya sudah hilang. Ini tidak ada yang merawat. Ada tulisan icon “Kuliner Jombang” lampunya mati, teman PKL berpendapat agar dicopot saja,” imbuhnya.
Ubin Hancur
Di sisi lain, selain lampu hias, Pemkab Jombang menyiapkan Rp 20,7 miliar. Uang tersebut akan dialokasikan untuk sistem drainase dan trotoar. Informasi tersebut diperoleh dari paparan Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman, Heru Wijayanto. Tepatnya saat menghadiri kegiatan PWI Jombang Ngobrol Pintar (Ngopi) di aula Radio Suara Jombang pada April 2021 silam.
Drainase di jalan Wahid Hasyim ini disulap menyerupai Malioboro di Yogyakarta. Di mana, pada setiap trotoar terdapat bangku duduk dan topeng wayang. Trotoar semakin cantik dengan batu granit bundar dan pepohonan hijau yang ditanam di setiap sudut. Proyek drainase ini rampung dan diresmikan pada Desember 2021 lalu.
Namun, belum genap setahun diresmikan ditemukan kerusakan. Di antaranya ubin terkelupas dan hancur. Tak hanya itu, pohon yang ditanam tak tumbuh dan cenderung kering.
“Pohonnya memang dibuat begitu atau mati ya, kok tidak tumbuh. Ada yang tumbuh, ada yang tidak, jadinya gersang lihatnya,” kata Dhigma warga Kecamatan Ploso.
Di sisi lain, sebelum drainase diresmikan, terpantau sejak November 2021 banyak batu granit rusak dan hancur. “Gelinding sendiri, tidak ada kendaraan atau orang pun yang menyentuh. Tapi gelinding sendiri, sehingga ketika sampai di aspal, hiasan bola itu pecah. Kemungkinan pekerjaannya masih banyak yang kurang maksimal,” ujar Muhammad Zuhdi, salah satu warga.
Menanggapi hal itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek drainase jalan Wahid Hasyim Dinas Perkim, Setiawan Afandi mengaku telah memberikan teguran kepada mitranya. Yaitu PT Asri Jaya Putra Perkasa.
“Kita sudah buat surat teguran ke PT Asri Jaya Putra Perkasa untuk segera ditindaklanjuti. Sebab, ada masa pemeliharaan selama 1 tahun jadi masih tanggung jawab rekanan. Mungkin bisa hubungi ke PT-nya,” jelasnya.
Tak Ramah Difabel
Perbaikan trotoar dan drainase ini dikeluhkan para penyandang difabel. Salah satunya Ida Koriati, warga tuna netra asal Tunggorono. Ida mengatakan, guiding block yang dipasang memiliki kekurangan. Mulai dari jalurnya terputus-putus dan tidak ada tanda ketika hendak turun dari trotoar tersebut.
Perempuan berusia 54 ini menjelaskan hal tersebut membahayakan. Karena warga tuna netra yang berjalan sendiri di sepanjang jalan itu bisa kebingungan dan terjatuh
“Tadi teman-teman ini ada yang jatuh juga karena putus jalurnya. Dan arah turunnya dari trotoar ini tidak jelas, tidak ada tanda-tanda garis. Jalurnya juga tidak pas arahnya ke mana kalau sudah sampai pojokan itu,” ujarnya.
Hal senada dilontarkan warga tuna netra lainnya yang tergabung dalam komunitas Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia). Tidak adanya celah jalan menurut membuat mereka kebingungan. Terlebih, di tiap jalan raya yang menjadi penghubung trotoar tidak diberikan guiding block. Mereka juga mengeluhkan pihak pemerintah Kabupaten Jombang yang tidak melakukan sosialisasi.
Esensi Topeng Dipertanyakan
Tak hanya itu, topeng yang dipasang sebagai hiasan di trotoar pun menjadi sorotan publik. Pasalnya, wajah topeng yang dipampang tidak ditemukan arti dan tujuannya.
“Tujuannya untuk mengangkat kesenian Topeng Sandur dari Jombang. Hanya beberapa karakter saja yang terpampang,” ujar Setiawan Afandi.
Sementara, salah satu pemerhati budaya dan sejarah, Nasrul Illah mengatakan, perwujudan topeng yang dipasang cenderung mengalami perbedaan dari wujud yang biasanya. Pria yang akrab disapa Cak Nas itu menyarankan agar wujud topeng diganti.
“Hanya terdapat beberapa akar topeng yang ada di Jombang. Mulai dari wayang topeng Jatiduwur, topeng Sandur Manduro, topeng pada jidor sentulan, dan topeng jaranan dor dan samboyo,” katanya.
Setali tiga uang, Dian Sukarno, pemerhati sejarah dan budaya di Kabupaten Jombang lainnya menyatakan hal serupa. Topeng tersebut tak seindah harapan.
“Mungkin maksudnya mengangkat wayang topeng Jatiduwur sebagai kekayaan budaya tak benda Kabupaten Jombang. Cuma tak seindah harapan. Saya bayangkan replika topeng berukuran jumbo seperti di Solo dengan tokoh utama Prabu Klonojoko, Raden Panji, dan Dewi Kemudaningrat,” ucapnya.