Ingin Cium Kaki Ibu, Amir Jalan Kaki Medan-Banyuwangi
Demi menemui ibunya di Banyuwangi, Amirudin, 44 tahun rela berjalan kaki dari Medan menuju Banyuwangi. Aksi nekat itu demi memenuhi nazar, jika ia sembuh dari penyakit lumpuhnya akibat stroke, akan pulang kampung ke Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi untuk menemui ibunya, Nur Aisyah dengan berjalan kaki.
Rabu sore, 23 Januari 2019, Amir, panggilan akrabnya, tiba di Probolinggo dalam perjalanan panjangnya, Medan-Banyuwang (2.961 km). Pria yang merantau di Warga Kampung Mandailing Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara disambut Habib Hadi Zainal Abidin, Pengasuh Pesantren Riyadlus Sholihin, Kelurahan Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo.
"Saya tawari agar istirahat, menginap di pesantren, kan sudah lelah seharian berjalan," ujar Habib Hadi yang juga Wali Kota Probolinggo terpilih itu. Amir pun "sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taati) mendengar tawaran itu.
Kedatangan Amir di Probolinggo disambut ribuan orang yang berjejal sepanjang jalan mulai di perbatasan Probolinggo-Pasuruan. Selain personel polisi, sejumlah komunitas di Probolinggo ikut menyambut dan mengawal Amir.
Begitu banyaknya warga yang menyambut, sampai-sampai satu lajur jalan nasional Tongas-Probolinggo macet. Tidak sebatas melambaikan tangan, banyak warga yang memotret dan merekam Amir dengan kamera ponselnya.
Saat berbincang santai dengan Habib Hadi, Amir pun menceritakan perjalanan panjangnya. Ia bertolak dari Medan, 22 November 2018 silam. "Saya berjalan kaki dari Medan hendak ke Banyuwangi untuk bertemu ibu saya," ujarnya.
Alkisah, April 2018 lalu, Amit merantau ke Medan untuk mencari pekerjaan. Selama di Medan, ia menetap di Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai. Ibarat untung tidak dapat diraih, petaka tidak dapat ditolak, pekerjaan tidak didapat, malah ia jatuh sakit.
Sakitnya mendadak, saat shalat shubuh, tiba-tiba kaki Amir bengkak parah. Akibatnya, ia tidak bisa berjalan kaki hingga sekitar tujuh bulan.
Amir kemudian bermunajad kepada Allah seraya bernazar, jika kelak kedua kakinya sembuh, ia akan berjalan kaki untuk menemui ibunya di Banyuwangi. “Alhamdulillah, doa saya dikabulkan oleh Allah. Kaki saya sembuh total,” ujarnya.
Dengan bondho nekat (bonek), Amir yang hanya berbekal dua stel baju yang dimasukan ke dalam ransel dan uang Rp 50 ribu memulai perjalanan panjangnya dari Medan. Dari Medan hingga menembus Sumatera Barat, ia tempuh lima hari.
Dari Sumatera Barat, Amir terus berjalan hingga sampai di Lampung kemudian menyeberangi Selat Sunda untuk sampai Jawa. Siang malam ia terus berjalan, baru berhenti ketika benar-benar lelah. SPBU, emperan toko, mushala, hingga masjid menjadi tempatnya bertirahat.
Perjalanan panjang Amir tidak selamanya mulus dan lancar. “Di Sumatera Barat dan Jawa Barat saya sempat dipalak preman,” ujarnya.
”Waktu itu ada beberapa orang meminta uang saya, saya kasih uang Rp 50 ribu saya. Akan tetapi tetap mendapat kekerasan. Karena saya sendiri jadi pasrah saja. Untung saja, ada polisi, dan uang yang saya berikan ke preman tersebut dikembalikan,” katanya.
Di luar pengalaman pahit tersebut, Amir mengaku, banyak dibantu warga. Baik saat jalan maupun bermalam di masjid ataupun di pom bensin. “Yang jelas, banyak yang membantu saya, ada yang memberi makanan, minuman, hingga uang,” ujarnya.
Amir bersyukur, selama perjalanan dirinya tidak pernah jatuh sakit. Termasuk dua kakinya yang dulu pernah bengkak hingga lumpuh, tidak pernah kambuh. (isa)