Infografis Perundungan di KPI, Korban Dipaksa Cabut Laporan?
Kasus perundungan dan kekerasan seksual di dalam lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berjalan mundur. Terbaru, korban dikabarkan akan cabut laporan lantaran menerima tekanan.
Ditekan Cabut Laporan KPI
Korban perundungan dan kekerasan seksual di KPU disebut menerima tekanan sejumlah pihak untuk mencabut laporan yang ada di kepolisian, Komnas HAM, dan juga LPSK. Hal tersebut disampaikan oleh orang terdekat korban.
"Dia (korban) harus mengatakan pelecehan dan perundungan di KPI tidak ada. Bahwa dia harus mencabut laporan polisi, laporan Komnas HAM, laporan LPSK, dia harus cabut," kata orang terdekat korban dikutip dari detik.com, Jumat 10 September 2021.
Selain diminta mencabut laporan atas KPI Pusat, korban juga diminta memulihkan nama terduga pelaku yang tersebar dalam rilis yang dibuat oleh korban. Sebab, para terduga terlaku sebelumnya mengancam untuk melaporkan korban menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE), bila tak mau berdamai.
Korban juga diminta menyatakan jika rilis yang dibuat tidak benar. "Dia harus memulihkan nama pelaku, dia harus bikin intinya selama ini rilis yang dia sebar itu tidak benar. Kalau tidak mau damai, tidak mau memulihkan nama baik pelaku, dia (korban) akan dilaporkan dengan UU ITE," katanya.
Menurutnya, para pelaku yang sempat menemui korban juga tidak menyampaiakn permintaan maaf. Mereka justru memaksa korban menandatangani surat damai. Hal ini terjadi ketika korban berada di KPI.
"Padahal pelaku tidak mau minta maaf. Rabu (8 September) sore (ke KPI). Poin-poin persyaratan itu yang menyodorkan pelaku, jadi korban dipaksa tanda tangan poin-poin syarat yang merugikan dia (korban) semua," tutur orang tersebut.
Namun surat pernyataan damai belum ditandatangani korban. Menurutnya, korban ingin agar pelaku mengakui kesalahan mereka dan meminta maaf. Meski, korban juga ingin berdamai lantara ketakutan akibat ancaman.
Dibantah Terlapor
Hal tersebut dibantah kuasa hukum dua terlapor, RD dan EO, Tegar Putuhena. Ia menegaskan jika kedua terlapor tak pernaj menekan dan memberikan ancaman kepada korban. "Justru silakan ditanyakan ke KPI, sumbernya kredibel atau tidak," kata Tegar.
Selain itu pihaknya mengatakan akan melaporkan pembuat rilis yang kemudian tersebar di media sosial. Melalui rilis tersebut, kekerasan seksual dan perundungan yang dialami MS kemudian diketahui publik.
Tegar mengutip temuan polisi, jika MS tak pernah membuat rilis tersebut. Kini pihaknya mencari sosok pembuat rilis dan akan menempuh jalur hukum. "Dia sudah menyangkal itu, bahkan Humas Polda Metro sudah bilang itu rilis bukan buatan MS. Artinya nggak usah khawatir. Kita akan kejar ke yang buat ini ke yang menyebarluaskan," katanya.
Tegar juga membantah adanya kekerasan seksual dan perundungan di KPI. Menurutnya, hal itu hanya bercandaan di lingkungan mereka. "Nyolek-nyolek sesama laki-laki. Kebetulan pelapor ini kan berpakaian rapi selalu, bajunya dimasukin sering dicandain ditarik tiba-tiba bajunya. Kayak 'rapi amat lu', gitu-gitu aja," ujar Tegar.
Akun Medsos ikut Dilaporkan
Selanjutnya, pihaknya juga telah mengantongi 10 akun media sosial yang diduga menyebarkan identitas hingga melakukan perundungan pada terduga pelaku.
Menurut Tegar, 10 akun itu terdiri dari akun organisasi, akun gosip, dan akun sosok tokok terkemukan. Akun media sosial itu berada di platform Twitter dan juga Instagram.
Kata Kuasa Hukum Korban
Sementara, kuasa hukum korban Rony Hutahaen menegaskan jika MS tak berupaya untuk menempuh jalan damai. Meski ia membenarkan jika MS melakukan pertemuan di KPI, pada Selasa dan Rabu, 7 dan 8 September 2021. Kedatangan MS saat itu atas undangan dari KPI.
Rony menyebut pada dua pertemuan itu, korban perundungan dan kekerasan seksual di KPI disodori surat pernyataan damai serta menerima informasi jika MS akan dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat lantaran disebut tak memiliki bukti yang cukup, dikutip dari kompas.com.
Kekerasan Seksual dan Perundungan di KPI
Sebelumnya, kabar tentang kekerasan seksual dan perundungan di KPI tersebar lewat siaran pers di media sosial. Di dalamnya, korban mengaku mengalami kekerasan seksual, fisik, dan juga verbal berulang sejak ia bekerja di KPI Pusat.
Berbagai kekerasan tersebut menyebabkan korban mengalami sakit fisik dan juga gangguan mental. Kini korban telah melapor ke kepolisian, Komnas HAM, dan juga lembaga perlindungan saksi (LPSK). Kasusnya juga telah ditangani kepolisian. (Dtk/Kmp)
Advertisement