Industri Halal Jadi Market Besar, Khofifah Ingin UMKM Terlibat
Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendorong penguatan Halal Value Chain (HVC) melalui transformasi digital dan keuangan syariah.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, perkembangan ekosistem ekonomi syariah di Jawa memiliki peran esensial dalam perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir saja, kata dia, posisi Indonesia dalam ekonomi syariah global terus meningkat dan masuk dalam top 10 sektor industri halal.
“Kami terus mendorong adanya penguatan pembiayaan ekonomi syariah, penguatan dan pemberdayaan UMKM syariah dan ekonomi pesantren, penguatan halal lifestyle, serta optimalisasi Islamic Social Finance dan fintech syariah. Ini upaya yang kami lakukan untuk mengembangkan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah yang terintegrasi dari hulu ke hilir,” ungkap Khofifah saat menghadiri pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Regional Jawa Tahun 2021 di Atrium Tunjungan Plaza Surabaya, Senin 27 September 2021.
Khofifah mengatakan, dalam mengembangkan Halal Value Chain ini, Pemprov Jatim mendukung penguatan industri halal. Di mana pembangunan ekosistem industri halal saat ini sudah dimulai, yakni melalui pembangunan Kawasan Industri Halal (KIH) Safe and Lock di Sidoarjo yang telah mendapatkan surat keterangan dari Kemenperin Nomor: 373/KPAAII/X/2020 tanggal 22 Oktober 2020 yang telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai Kawasan Industri Halal pertama yang ada di Jatim.
Sampai saat ini, telah terjual 21 unit dari target pembangunan 32 unit. Pada Tahun 2022 akan dibangun 38 unit. KIH safe and lock telah berhasil menarik animo investasi dari Amin Bio Group Tiongkok dalam membangun kemitraan pabrik gelatin halal di Sidoarjo, sebagai bentuk penguatan branding produk halal.
“Kerjasama tersebut juga diharapkan dapat memperkuat halal value chain lokal dengan program kemitraan menggandeng para pelaku UMKM syariah lokal sebagai pemasok bahan baku dari sisi hulu, sekaligus menarik ekonomi syariah dunia ke Indonesia dan Jawa Timur,” katanya.
Tidak hanya itu, ia mengaku jika Pemprov juga mendorong optimalisasi pengembangan industri halal produk pangan melalui sertifikasi halal bagi produk UMKM, salah satunya industri makanan dan minuman halal. Apalagi, industri makanan dan minuman halal di Indonesia saat ini tumbuh cukup pesat.
Sertifikasi halal ini juga dilakukan untuk Juleha (Juru Sembelih Halal) dari level RPH (Rumah Potong Hewan) sampai pasar tradisional, sesuai dengan peran Jatim sebagai lumbung pangan nasional. Program tersebut sebagai bagian dari implementasi amanah UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JPH (Jaminan Produk Halal).
“Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia (209 juta jiwa) serta konsumsi produk halal terbesar di dunia, namun kontribusi ekspor Indonesia untuk produk halal global masih terbatas. Hal ini disebabkan masih belum meluasnya program sertifikasi produk halal dan belum terpenuhinya standar global serta belum terintegrasinya pengembangan industri halal di Indonesia,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa potensi besar industri halal di dunia harus bisa diraih oleh produk Indonesia. Produk halal saat ini sudah menjadi tren dunia, halal juga sudah menjadi gaya hidup global. Bahkan, produk halal sudah ada di dalam persetujuan World Trade Organization (WTO). Selain itu, potensi kebutuhan terhadap produk halal diperkirakan akan mencapai 62 persen di Asia Pasific tahun 2030.
Untuk itu, dalam mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah yang inklusif, Khofifah mengatakan perlunya penguatan pemberdayaan ekonomi pesantren. Salah satunya melalui program peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis pesantren One Pesantren One Product (OPOP).
“Keberadaan lebih dari 6.000 pesantren di Jatim jadi modal utama dalam mendorong pemberdayaan santri, pesantren, dan alumni pesantren di Jawa Timur. Program OPOP telah dimulai sejak tahun 2019 dan fokus pada tiga pilar pengembangan yakni santripreneur, pesantrenpreneur, dan sosiopreneur,” katanya.
Santripreneur sendiri bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan keterampilan santri dalam menghasilkan produk unik sesuai syariah yang berorientasi pada kemanfaatan dan keuntungan. Kemudian Pesantrenpreneur bertujuan memberdayakan koperasi pesantren agar dapat menghasilkan produk halal unggulan yang mampu diterima pasar lokal, nasional, dan internasional.
“Serta sosiopreneur yang fokus pada pemberdayaan alumni pesantren yang disinergikan dengan masyarakat melalui inovasi sosial, berbasis digital teknologi, dan kreativitas secara inklusif. Hingga saat ini telah teridentifikasi 550 pondok pesantren yang memiliki produk unggulan. Ditargetkan sebanyak 1.000 produk unggulan pondok pesantren di akhir 2024,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, pada tahun 2017, Pemprov Jatim bersama dengan Kantor Perwakilan BI Jawa Timur serta stakeholder lainnya mendorong terbentuknya Koperasi Sarekat Bisnis Pesantren (KSBP). KSBP yang beranggotakan 17 pondok pesantren ini menjadi forum untuk berkoordinasi bisnis antar pesantren untuk memenuhi kebutuhan antar pesantren serta membuka ruang pengembangan bisnis bagi pesantren.
“Pemprov Jatim dan Kantor Perwakilan BI Jatim juga telah memfasilitasi pengembangan KSBP dan Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren) sebagai salah satu program pengembangan ekonomi nasional. Program KSBP dan Hebitren harus diarahkan pada implementasi program OPOP dan UMKM Syariah yang lebih fokus untuk memberi dampak ekonomi yang kuat,” katanya.
Ia juga ingin pelaku UMKM dan OPOP untuk melakukan percepatan digitalisasi ekonomi syariah. Hal ini sejalan dengan prediksi yang disampaikan Jack Ma saat The World Economy Forum, sebanyak 99 persen UMKM tahun 2030 'will be online' dan 85 persen UMKM di tahun 2030 'will be e-commerce’.
“Ini kekuatan yang luar biasa. UMKM ini harus percaya diri bersinergi dan harus melakukan pengembangannya secara online dalam bentuk e-commerce. Sehingga akan bisa memperluas skala pasarnya,” katanya.