Industri Demokrasi
Riadi Ngasiran
Metafora untuk pemilihan umum adalah industri dan perdagangan. Pabrik-pabrik gegap gempita memproduksi janji-janji, tawaran membahagiakan bagi publik.
Pada saat usai diproduksi, ada penjual dan pembeli, dan terjadilah tawar-menawar. Transaksional. Begitulah semesta industri perpolitikan, berkembang dan berlangsung di depan kita.
Ya, Pemilu pada dasarnya seperti industri. Di dalamnya ada transaksi. Suka atau tidak suka, pesta demokrasi pada akhirnya adalah industri. Ada barter: penjualan dan pembelian.
Tentu masih ada yang memegang nilai-nilai demokrasi, tapi pada akhirnya adalah transaksi. Itulah kenyataan yang ada, mau diprotes apa pun demikian adalah faktanya.
Jangan Jadi Korban Transaksi
Warga Nahdlatul Ulama (NU) seharusnya memperhatikan fakta seperti itu. Jangan sampai kaum santri menjadi korban transaksi orang lain. Pilihan satu-satunya, warga NU harus mengikuti proses transaksi. Bila tidak mengikuti transaksi, tentu warga Nahdliyin akan menjadi sasaran transaksi orang lain.
Begitu pun ada norma yang mengikat. Karena itu, transaksi yang dilakukan NU harus diikat oleh norma -- sebagaimana dirumuskan dalam Pedoman Berpolitik yang dirumuskan dalam Muktamar ke-29 NU di Yogyakarta pada 1989 dan ditegaskan dalam Munas Alim Ulama di Pondokgede Jakarta.
Norma politik adalah demi kemaslahatan. Kemaslahatan sebanyak mungkin untuk kepentingan masyarakat secara luas. Manfaatnya, untuk secara luas, bukan untuk sekelompok atau kepentingan secara luas.
Berpikir untuk kemaslahatan bagi NU adalah untuk Indonesia. Bila Indonesia menang, NU akan ikut menang. Memikirkan kemaslahatan Indonesia, dengan sendirinya kemanfaatan bagi NU. Demikian akar sikap KH Yahya Cholil Staquf.
Ada dua catatan tentang politik, diskursus yang disenangi para kiai. Pertama, politik sebagai upaya kehidupan lebih adil, lebih nyaman, enak dihadapi untuk pemerataan kesejahteraan. Politik kedua, agar bisa nyaman, enak, adil dan sejahtera merata kita harus punya kekuasaan. Hanya dengan tanda tangan dalam suatu keputusan, kebijakan akan berjalan.
Persoalannya, kursi kekuasaan -- bupati, gubernur dan presiden -- tersedia satu tempat. Kursi kekuasaan jadi rebutan bersama dan, ketika menjadi lahan perebutan, menjadi ranah kerja timses. Tepatnya, urusan timses bukan urusan kiai.
Akhirnya, kita pun menyaksikan: yang pertama tampak begitu indah, yang kedua kotor dan menjijikkan.
Menyadari hal itu, NU berada di pihak pertama. Begitu pun jangan bersikap innocent dalam berpolitik. Jangan berpolitik secara lugu, minimal memahami lika-liku berpolitik.
Ya memahami betapa ada sekian hektar tanah yang harus dimiliki untuk aktivitas pengabdiannya, memaknai kehadirannya di tengah masyarakat. Ada kekuasaan yang diperebutkan guna menuju terwujudnya kemaslahatan itu.
Demikianlah, tanggung jawab berada di pundak elite utama di organisasi yang didirikan para ulama pesantren itu.
Anekdot pun bisa berkembang: seraya menyadari politik kotor, mereka pun menikmati situasi yang dikecamnya dengan dalih sedang menciptakan suasana nyaman.
Dunia memang tidak sempurna. Antara diskursus dan penerapannya berada di ranah tak serupa. Tapi, betapa pun, dalam fikih politik (fiqih syiasah) yang diajarkan adalah politik demi kemaslahatan bersama meraih keadilan dan kesejahteraan. Berpolitik mengambil garis guna menorehkan dunia yang nyaman, adil, sejahtera yang merata.
Berpolitik secara rasional, tak hanya romantis memahami idealitas dalam fikih. Berpolitik memberikan tenaga dan pikiran, juga dana, karena itu, mendapatkan suatu materi adalah logika yang wajar.
Dalam soal ini, KH Abdul Ghofur Maimoen mengingatkan pada mereka di timses, jangan hanya mendukung tapi juga bersedia mengontrol. Memosisikan fungsi kontrol di tengah masyarakat, ketika para petarung demokrasi itu berhasil meraih kursi kekuasaan.
Seringkali, kaum santri mengarahkan dukungan pada seorang tokoh namun ketika berhasil sukses lalu gamang dalam melakukan kontrol. Lebih naif mereka bilang: pejabat-pejabat itu ketika telah duduk di kursi kekuasaan lalu melupakannya.
Eksistensi kiai di tengah masyarakat, sebagai pemimpin informal, harus bersuara menyampaikan pembelaan atas aspirasi yang berkembang. Itulah sikap realistis, tetap mampu melakukan kontrol secara bijaksana pada kekuasaan.
Transaksi harus ada secara realistis, kata Ulil Anshar Abdalla. Memang, PBNU tidak bisa membuat surat edaran untuk mencoblos atau mendukung salah satu dari pasangan calon dalam Pilpres. Karena bukan partai politik.
Namun, "transaksi" itu harus dilakukan secara elegan. Diam total tak bisa. Mengarahkan dukungan pun tak -- secara verbal. Ya, caranya dengan isyarah -- perlambang atau penanda.
Menjadi fakta demokrasi di NU, bukan hanya lembaga resmi NU yang bisa menggelar bahtsul masail. Pondok-pondok pesantren pun bertebaran menggelar forum pembahasan masalah keumatan itu.
Syukurlah, di kalangan kaum santri terdapat kaidah “Hukmul hakim yarfa’ul khilaf”. Hukum (pemimpin tertinggi) dapat menghilangkan perbedaan. Kaidah fiqih ini sebagai landasan yuridis untuk meraih kebersamaan dalam berorganisasi di NU.
Begitu PBNU telah mengeluarkan keputusan, itulah keputusan yang dipakai. Seperti dalam persidangan pengadilan, ketika hakim memutuskan suatu vonis maka harus ditaati sebagai keputusan akhir.
Demikian aturan main yang lagi dibangun para era kepemimpinan Gus Yahya. Kaidah ini lazimnya menjadi pemahaman dan kesadaran bersama: menaati keputusan organisasi di pucuk pimpinan.
Perlu usaha-usaha menyinkronkan hal itu. Apalagi, adagium "tak ada mazhab bagi orang awam" menjadi jalan mudah dalam ikhtiar tersebut. Jalan mudah membangun peradaban, diawali dengan ketundukan berjamaah. Seorang pemimpin mutlak harus didengar dan ditaati oleh organ pemimpin di bawahnya.
Belajar dari sembahyang lima waktu, ketika imam bergerak seluruh jemaah pun mengikutinya hingga salam -- penanda berakhirnya ritual wajib itu.
Cita-cita adalah harapan yang ditanggungkan. Adakah kaum santri benar-benar memahami ta'lim mutha'alim -- kitab pegangan etika santri-- dalam praktik di alam demokrasi.
Advertisement