Industri 4.0, Rektor Unair: Potensi Kesenjangan Tinggi
Memasuki era Industri 4.0 dibutuhkan persiapan khusus agar tidak terguling karena kemajuan teknologi. Karena itu, saat ini pemerintah bergerak cepat dalam melakukan pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui berbagai program.
Namun, di tengah semangat menghadapi era 4.0, ternyata ada potensi yang malah dapat memperburuk keadaan Indonesia. Salah satunya adalah angka kesenjangan yang malah akan menjadi lebih tinggi karena tidak semua orang bisa memiliki dan menggunakan teknologi yang ada.
"Terus yang jatuh miskin gimana? Buat beli pulsa rutinnya gimana? Itu jumlahnya lebih banyak lho daripada dengan yang karena kreasinya mampu memanfaatkan," kata Rektor Universitas Airlangga, M Nasih saat ditemui di Gedung Rektorat Unair, Surabaya, Minggu 24 November 2019.
Hal itu, kata Nasih, karena saat ini banyak yang memanfaatkan teknologi hanya untuk bermain game yang itu sampai-sampai ada orang yang terkena gangguan jiwa karena kecanduan bermain.
Nasih mengingatkan, agar seluruh pihak agar dapat kritis dengan teknologi yang ada. Sebab, jika tidak kritis akan semakin berdampak buruk karena adanya kepentingan kapitalis dari produsen di luar negeri untuk mencari keuntungan yang banyak.
"Ini tugas kita, bagaimana kita, anak didik kita, khususnya milenial bisa memanfaatkan itu. Bisa kreatif lagi. Jangan sampai, mereka menjadi budaknya teknologi, budaknya kapiltalis," ujar Nasih.
Untuk itu, ia menyebut agar para pengguna teknologi dapat memanfaatkan gawai sebaik-baiknya. Lebih-lebih memberikan penghasilan agar tidak susah-susah mencari kerja, mengingat kompetitor kerja tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri.
Karena itu pula, Nasih mengatakan, jika pendidikan bersifat teknis akan sangat kurang bermanfaat. Malah, para siswa memang dibentuk sejak awal sebagai pekerja bukan sebagai seorang yang kreatif membuat sesuatu.
Sebab, untuk menghadapi tantanga industry 4.0 dibutuhkan pemuda kreatif untuk menciptakan dan menawarkan produk, bukan hanya terpaku sebagai konsumen yang menikmati barang jadi yang dibeli dari luar negeri.
"Kita jadi ekonomi terbesar kesekian, itu bukan ekonomi produksi loh, tapi ekonomi konsumsi. Sehingga PDRB kita sekian di dunia, tapi karena konsumsi. Yang nikmati ya orang sana (asing, red). Seolah-olah pertumbuhan ekonomi banyak, tapi pertumbuhan konsumsinya," ujarnya.
Sementar itu, Guru Besar Sosiologi Unair, Prof Bagong Suyanto mengatakan hal yang sama. Industry 4.0 justru membuat kesenjangan sosial yang lebih tinggi jika tidak bisa dilawan dengan baik karena tidak semua kalangan bawah dapat menggunskan teknologi era baru ini.
"Pertanyaan, kalau era revolusi 4.0 sudah masif, kira-kira di mana posisi orang di kelompok menengah bawah? Legen suruh bersaing sama coca-cola gitu, kira-kira bisa gak? Iklim persaingan yang diciptakan revolusi industri 4.0 memang membuka peluang, tapi pertanyaannya, siapa yang bisa memanfaatkan? Fondasi apa yang harus dibangun?" tegasnya.
Karena itu, Bagong mengatakan butuh kerja keras pemerintah untuk dapat membuat warganya lebih berpemikiran terbuka dan membuat program yang meringankan beban masyarakat. Serta ada satu program pembinaan terhadap masyarakat kalangan bawah.
Di sisi lain, Rektor termuda dari Institut Teknologi dan Bisnis Asia Malang, Risa Santoso mengatakan jika pada era ini masyarakat tidak hanya menjadi penonton lewat gawai yang dimiliki tapi harus menjadi produsen.
"Tantangan kita adalah bagaimana melepas individualisme kita dengan tidak terpaku pada media sosial dan sebagainya, tapi harus menjadi orang yang produktif. Serta, jangan sampe kita tidak mencoba hal baru karena banyak dari kita yang takut kegagalan. Kita harus terus mau mencoba hal baru itu dengan semangat walaupun ada kegagalan," ujarnya.