Indonesia Tidak Boleh Gagap Hadapi Radikalisme dan Terorisme
Bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Hal inilah yang harus diperkokoh sebagai "mietsaaqon ghaliedzaa" (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia.
"Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian," tegas Prof Dr Moh. Mahfud MD dalam Sarasehan dan Buka Bersama Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) DIY di Bale Raos, Keraton Yogya, Kamis (7/6).
Sarasehan bertajuk "Antisipasi dan Mencegah Gerakan Terorisme: Apa yang Harus Dilakukan?" ini digelar bekerjasama dengan Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY).
Selain Mahfud MD, sarasehan juga menghadirkan tokoh-tokoh mulai Ketua ICMI DIY Herry Zudianto, Rektor Universitas Widya Mataram Edy Suandi, Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Hadi Utomo dan Prof Dr Syafaatun Almirzanah, peneliti fundamentalisme agama dari UIN Sunan Kalijaga Yogya.
Dalam acara yang dipandu Budayawan ICMI Achmad Charis Zubair ini, turut hadir Rektor Universitas Sanata Dharma, Johanes Eka Priyatma, dan mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Nandang Sutrisna.
Mahfud yang baru tiba dari Jakarta langsung ke lokasi acara, bicara paling akhir. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini dalam paparannya secara tegas menolak ide khilafah.
"Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia," tandas Mahfud.
Mahfud juga menceritakan dinamika sejarah yang melibatkan tokoh-tokoh Islam dalam menyusun negara. Tokoh-tokoh yang sangat paham dengan ajaran Islam. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia, kata Mahfud, menyatakan bahwa negara Pancasila merupakan pilihan final. Dan tidak bertentangan dengan syariah.
Mahfud juga menegaskan gerakan radikalisme adalah gerakan yang berusaha menggantikan tatanan yang sudah ada secara ekstrem. Beberapa di antaranya yang berupaya "mengagamakan negara" dengan khilafah, mengganti hukum dengan hukum Islam dan menerapkan perda-perda syariah.
Mahfud MD berpendapat, memperjuangkan semua ide pembentukan hukum di Indonesia harus diolah di dalam proses legislasi. Dalam proses legislasi itu bertemulah ide Kejawen, ide Jawa, ide Hindu dan lain-lain lalu muncullah hukum nasional.
Artinya, sebenarnya memperjuangkan hukum syariah boleh-boleh saja melalui proses legislasi tadi. Karenanya, tidak boleh ide-ide itu, termasuk hukum syariah, berdiri sendiri tanpa melalui proses legislasi.
"Bernegara itu wajib hukumnya karena untuk melaksanakan perintah agama dengan baik orang harus punya negara. Kalau ingin beribadah dengan baik tapi tidak ada negara, tidak bisa. Sehingga bernegara itu wajib sebagai syarat awal, tapi sistemnya itu tidak diajarkan. Artinya sistemnya beda-beda boleh," kata Mahfud.
Sedangkan Ketua ICMI DIY Herry Zudianto melihat, saat ini Indonesia masih tergagap-gagap mengambil langkah-langkah antisipasi menghadapi radikalisme. Namun, ia menekankan, ini merupakan pekerjaan rumah bagi semua elemen bangsa Indonesia.
"Kita semua punya tanggung jawab ketika bicara radikalisme maupun terorisme," kata mantan wali kota Yogyakarta tersebut.
Rektor UWM Yogyakarta, Edy Suandi Hamid berpendapat, antisipasi sebenarnya harus bisa dilakukan sejak dini baik di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun di rumah. Untuk itu, perlu dibuka ruang dialog bagi mereka yang tengah mencari jati diri.
"Jadi ketika masuk (lembaga-lembaga pendidikan) langsung kita edukasi, nilai-nilai luhur Indonesia kita masukkan sebelum paham-paham lain masuk ke pola pikir mereka," ujar Edy.
Untuk itu, ia merasa ruang-ruang diskusi harus sudah dibuka dari awal dan dari banyak aspek. Tujuannya, agar orang-orang yang tengah mencari jati diri tidak merasakan satu inferioritas dan menafikan siapa saja yang tidak sejalan.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Syafaatun Almirzanah, yang tengah menulis buku tentang Sayyid Qutub merasa, penanggulangan bisa dimulai dengan memahami akar-akar terorisme sendiri. Hal itu dilakukan demi melihat titik-titik radikal yang ada di dalam pola pikir.
Selain itu, ia merasa belakangan komunitas Muslim belum banyak memberikan pemahaman tentang bentuk-bentuk jihad. Artinya, pemahaman bentuk-bentuk jihad yang begitu luas yang dimiliki orang terbilang terbatas.
"Kita harus kembangkan apa yang disebut artistik jihad, yang mungkin akan membantu teman-teman memahami kalau ada makna-makna jihad yang lain," katanya.
Dirreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo melihat, pembentukan Densus 88 sudah menunjukkan pentingnya penanganan terorisme. Terlebih, Densus 88 memiliki 25 Kasatgasus yang ada di seluruh Indonesia.
Pembentukan Satgas itu sendiri ditentukan kegentingan satu daerah. Artinya, pemisahan Satgas di DIY dan Jawa Tengah yang tadinya satu, menunjukkan pula kegentingan terorisme yang ada baik di DIY maupun Jawa Tengah.
"Kami bersyukur, Alhamdulillah, walau belum ada nomornya, saat ini sudah ada (draft UU Terorisme). Nanti saat berbuka, doakan ya agar segera dapat nomor," seloroh Hadi sembari menunjukkan lembaran draft UU Terorisme.
Hadi Utomo juga mengungkap kegamangan pihak kepolisian yang menangani kasus terorisme tanpa payung hukum yang jelas. Hadi juga menceritakan bagaimana polisi menelusuri sikap netizen yang memberikan tanggapan pada penanganan kasus terorisme.
"Kita punya sistem sendiri. Ternyata kalau kita telusuri, kita runut, netizen yang berkomentar negatif terhadap langkah Polri, sering merupakan pendukung teroris. Datanya kita punya," tandasnya. (Erwan Widyarto)