ADA aksioma yang menyebutkan persoalan dan kesulitan yang dihadapi bangsa Indonesia setelah 72 tahun merdeka, sumbernya hanya satu - yakni sikap para elit pemimpin yang tidak pernah mau berhenti ‘berkelahi’. Jumlah mereka jika diukur dari total penduduk Indonesia, secara prosentase dan proporsional, relatif sangat kecil. Tetapi pengaruh yang ditimbulkan oleh ulah mereka yang tak pernah mau ‘berdamai’, cukup besar. Selain itu, enerji positif yang hilang akibat ‘perkelahian’ elit tersebut menggerogoti potensi bangsa. Lihat saja nasib dan kondisi reformasi. Berbagai sistem yang tidak disukai di zaman Orde Baru, hampir semuanya sudah direformasi. Semenjak rezim Orde Baru tak lagi berkuasa dimulai Mei tahun 1998, kita sudah melakukan Pemilihan Umum sebanyak empat kali : 1999, 2004, 2009 dam 2014. Tidak ada lagi pemimpin (Presiden) yang dipilih berdasarkan kehendak segelintir elit yang ada di lembaga legislatif. Melalui empat kali Pemilu tersebut, di atas kertas, reformasi antara lain melahirkan sistem politik yang baru dan lebih demokratis. Tetapi kenyataannya setelah sudah hampir 20 tahun reformasi terjadi, kehidupan politik dan demokrasi tidak serta merta membuat situasi politik Indonesia berubah ke tingkat yang lebih baik. Yang ada politik dan demokrasi Indonesia seperti masuk dalam lingkaran setan, berputar-putar tanpa ujung. Atau seperti benang kusut yang sulit diurai, agar benang tersebut bisa dimanfaatkan. Kondisi perekonomian juga kurang lebih sama. Indikator yang paling mudah dilihat adalah perkembangan nilai tukar rupiah. Mata uang kita sudah masuk kategori alat bayar yang tak punya posisi tawar. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing utama seperti dolar Amerika atau Yen Jepang, tetap lemah. Hal mana cukup bisa mencerminkan posisi tawar dan martabat bangsa kita terhadap bangsa-bangsa lain, sangat lemah. Dua puluh tahun lalu, kita masih punya rasa bangga menyeberang dari Batam ke Singapura, walaupun hanya mengantongi rupiah. Karena perusahaan penukaran mata uang (money changer) di negara pulau itu, masih dengan senang hati menerima, menukar rupiah dengan dolar Singapura. Tapi coba hal serupa anda lalukan hari ini, besok atau pekan depan. Anda akan ditertawakan oleh orang Singapura, ditambah dengan cibiran sinis. Jadi betapa merosotnya ‘harga diri’ bangsa kita, hanya dari sisi mata uang saja. Memang mata uang kita belum separah dolar Zimbabwe. Tetapi bukan mustahil, nasibnya bisa menjadi seperti mata uang Zimbabwe. Dimana untuk membeli sebutir telor ayam harganya mencapai puluhan ribu dolar Zimbabwe, tetapi jika dikonversi ke mata uang dolar Amerika, hanya setara dengan bilangan sen. Yang cukup menarik sekaligus menimbulkan tanda tanya besar, kita punya banyak ahli moneter jebolan universitas-universitas terkemuka di dunia. Tapi tak satupun, yang mampu memberi solusi atau mengatasai persoalan nilai tukar ini, sekalipun keadaannya sudah berlangsung selama 20 tahun. Menurut rekaman saya, krisis moneter terjadi pada 31 Juli 1997. Berawal dari jatuhnya nilai tukar mata uang Thailand, Baht. Satu dolar Amerika yang saat itu setara dengan Rp. 1,500,- tiba-tiba goyah, goncang sampai terpuruk hingga Rp. 16.000,-. Coba renungkan, semenjak 31 Juli 1997 sudah lima Presiden yang menggantikan Jenderal Soeharto. Tapi tak satupun ahli moneter yang “dipercaya” oleh para Presiden untuk menagani maslaah krisis moneter yang mampu mengembalikan “martabat” rupiah tersebut. Dan anehnya, semua pura-pura lupa atau mencoba menyalahkan pihak lain seperti prilaku George Soros, konspirasi global yang tak terlihat atau alam yang tidak bersahabat dengan Indonesia. Tapi saya terpaksa harus buruh-buru katakan, krisis moneter, krisis rupiah ini, tidak berdiri sendiri. Sehingga krisis ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada para ahli moneter. Krisis moneter ini merupakan imbas dari krisis politik, krisis yang tercipta akibat ‘perkelahian’ tanpa akhir antar elit. ‘Perkelahian’ mana menguras pikiran dan enerji. Dan pada akhinya kita tidak mampu bekerja secara produktif. Hasilnya menyisakan sebuah realita – kita telah tertinggal oleh beberapa negara yang dulu berada di belakang posisi kita. Keadaan negara kita sangat berbeda dengan yang terjadi dengan negara sekitar seperti Korea Selatan, RRT ataupun Jepang. Korea Selatan yang hingga pertengahan tahun1980-an, sejumlah warganya masih menjadi buruh kasar, membangun kilang-kilang minyak dan infrastruktur di Timur Tengah, tapi di tahun 2000-an tiba-tiba melesat sebagai sebuah negara semi-industri. Menjadi pesaing terdekat Jepang, yang sudah masuk tingkat negara industri sejak 30 tahun lalu. Berbagai produk berteknologi tinggi, elektronik dan otomotif asal Korea Selatan, merajai pasar dunia. Korea Selatan, mampu merubah peta persaingan bisnis secara global. Dalam perjalanannya menuju ke situasi mapan dan makmur seperti sekarang, Korea Selatan juga mengalami turbulensi politik yang sama parah dengan Indonesia. Di sana ada pembunuhan Presiden, juga ada Presiden yang bunuh diri. Tapi negara yang sejak tahun 1945, tak pernah aman dari gangguan kekuatan komunis dari Korea Utara, pada akhirnya mampu melejit sebagai sebuah negara maju dan modern di dekade ini. Di dunia olahraga, Korsel mampu menjadikan cabang seperti sepakbola dan golf sebagai sebuah industri. Pesepakbola Korsel direkrut oleh berbagai klub di Liga Eropa. Pegolf wanitanya, tahun-tahun terakhir ini, merajai kejuaraan ternama. Sama halnya di dunia kebudayaan : musik dan film. K-pop mampu mensejajarkan industri musik di negara Barat yang melahirkan pemusik kaliber The Beatles, The Rolling Stones atau Celine Dion. Di dunia diplomasi, Korea Selatan juga bisa melahirkan seorang diplomat Ban Kee Moon untuk menjadi Sekretaris Jenderal PBB untuk masa bhakti selama 10 tahun. Jadi semua kendala yang disebutkan di atas, tidak membuat para elit yang tetap ‘berkelahi’ lalu lupa membangun bangsa dan negaranya. Coba bandingkan dengan negara kita yang pernah melahirkan Gerakan Non-Blok, jurudamai sejumlah konflik dunia seperti di Timur Tengah, Afrika dan Asia Tenggara, Indochina khususnya, tetapi hasilnya kita nyaris tak punya pengaruh sama sekali di pelbagai fora internasional. Perbandingan lain, RRT. Negara komunis ini puluhan tahun tercatat sebagai salah satu negara miskin di dunia. Baru tahun 1978 ia membuka diri bagi masuknya modal asing. Tertinggal 10 tahun dengan kita yang mengundang investor asing sejak tahun 1968. Namun tak begitu lama setelah RRT membuka diri, perkembangannya menjadi sebuah negara yang ekonominya kuat, terjadi demikian pesat. RRT lebih hebat lagi. Di dekade sekarang, telah berubah menjadi sebuah negara komunis yang mengadopsi sistem liberal, tapi kemudian mampu mengungguli negara liberal – yang ekonominya sudah lebih dulu maju – yakni Amerika Serikat. Ibarat dalam kejuaraan lari jarak jauh, Amerika yang posisinya sudah sulit dikalahkan, akhirnya bisa terkejar oleh RRT. Jepang juga tak berbeda banyak dengan RRT dan Korea Selatan. Tahun 1945, negara ini bertekuk lutut kepada Amerika Serikat setelah dihukum Washington dengan bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Secara martabat, jati diri, bangsa ini dihancurkan oleh bangsa lain, Amerika Serikat. Tapi kehancuran atau penghancuran itu, tak membuat Jepang menjadi bangsa yang kerdil dan tak percaya diri. Dia terus menyatukan kekuatannya, dan para elitnya, tidak terjebak dalam ‘perkelahian’. Hasilnya, setelah 20 tahun, tepatnya tahun 1965, industrinya sudah bergerak. Ditandai dengan kebangkitan industri otomatif dan elektronik serta tekstil. Artinya waktu dua puluh tahun dimanfaatkannya untuk konsolidasi kekuatan. Jepang tidak mau larut dengan stigma kekalahan dalam Perang Pasifik di tahun 1945. Negara ini mampu keluar dari label sebagai negara pecundang. Terhadap Indonesia pun, negara yang pernah dijajahnya, Jepang bahkan sanggup membayar kleim kerugian lewat apa yang disebut Pampasan Perang. Artinya ada beban ekstra yang ditanggungnya, di saat harus melakukan rekonstruksi – pembangunan kembali. Jepang benar-benar menjadi negara yang melihat kesulitan sebagai sebuah peluang. Sebab walaupun dia harus membayar Pampasan Perang kepada Indonesia, tetapi hal ini tidak dilihatnya sebagai beban. Justru dijadikannya sebagai pintu masuk untuk menguasai perekonomian Indonesia melalui investasi secara massif di negara kita. Sementara kita yang dibantu lewat Pampasan Perang, hanya mendapatkan sisa-sisa bantuan seperti Gedung Wisma Nusantara, sebuah gedung Pencakar Langit di pusat kota Jakarta. Kita, Indonesia, tidak pernah mengalami krisis seperti Korea Selatan, Jepang dan RRT. Bahkan tidak lama setelah merdeka di tahun 1945, kita bisa memanfaatkan semua warisan perusahaan Belanda. Perusahaan yang masih menghasilkan banyak keuntungan. Artinya dari segi permodalan, sebagai negara yang baru merdeka, kita langsung punya asset dan kekuatan. Perusahaan-perusahaan eks Belanda antara lain bergerak di bidang perkebunan, minyak, transportasi dan hasil-hasil bumi lainnya. Namun kita boros dan salah dalam mengelolah semua perusahaan milik negara itu. Korupsi justru banyak terjadi di sana dan satu persatu, perusahaan itu gulung tukar. Masih ada yang tersisa seperti Pertamina dan Garuda. Tapi keadaannya tidaklah menggembirakan. Pertamina kalah jauh dengan Petronas, Malaysia, sekalipun Pertamina lebih dulu menjadi pemain dunia – melalui keanggotaan Indonesia di OPEC. Garuda apalagi. Kalah telak dengan Singapore Airlines, perusahaan yang baru berdiri di awal tahun 1970. Kita bahkan melakukan reformasi pada tahun 1998, tanpa ada perang saudara. Tapi sudah mau 20 tahun reformasi terjadi, keadaan negara tidak memperlihatkan tanda-tanda, bisa melejit seperti Korea Selatan, Jepang dan RRT. Lantas apa yang salah, siapa yang salah atau siapa yang harus disalahkan ? Saya tidak mau menyebut nama. Tetapi cukup ciri-cirinya saja. Yang pasti kesalahannya bersifat kolektif. Yaitu para elit penguasa atau yang merasa memiliki kekuasaan. Para elit ini kemudian terlibat ‘perkelahian’ dan itulah yang menyebabkan negara kita dikelolah oleh segelintir orang yang hanya ingin ‘berkelahi’ supaya bisa menjadi penguasa. *) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta Kemerdekaan RI Refleksi Kemerdekaan