Indonesia Terancam Radikalisme: Fakta atau Mitos? (2)
“Saya ngeri sekali. Akhir-akhir ini Indonesia kok mengerikan. Saya tidak lagi mengenal Indonesia yang seperti dulu. Indonesia tidak lagi toleran. Kerukunan antar umat beragama bersobek-sobek. Indonesia berubah total dari bangsa yang moderat menjadi bangsa yang radikal. Kini Indonesia berada di ambang kahancurannya”.
Demikian sekilas pernyataan seorang peserta diskusi di sebuah universitas di Jerman. Hadir di acara itu beberapa Professor, mahasiswa/mahasiswi jurusan studi ASEAN. Diskusi di moderatori Ketua jurusan studi ASEAN. Beliau orang asli Jerman yang pernah menetap di Makassar beberapa tahun.
Ustadz Imam Shamsi Ali menjadi pembicara dalam diskusi itu. Berikut penuturan Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, AS:
Ada pula yang menganggap gerakan 212 sebagai bentuk “intoleransi sekaligus arogansi” mayoritas atas minoritas. Bahkan dalam pemahamannya harusnya kata itu (mayoritas-minoritas) dihapus tatanan demokrasi ditiadakan.
Tapi yang menarik perhatian saya, sekaligus menjadikan saya tertarik membahasnya kali ini adalah pemaparan pembuka (Opening statement) dari seorang Professor ahli ASEAN yang menyimpulkan bahwa Indonesia saat ini memang berada dalam ancaman radikalisme yang sangat berbahaya.
Tidak tanggung-tanggung mengutip beberapa pernyataan dari beberapa orang yang berafiliasi ke organisasi-organisasi besar yang punya otoritas keislaman di Indonesia. Disebutkan antara lain Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama.
Kesimpulan itu tentu bagi saya tidak saja sangat mengejutkan. Tapi juga sangat mengganggu dan meresahkan. Mengejutkan karena data-data yang dipakai adalah pernyataan oknum-oknum yang kebetulan berafiliasi dengan organisasi-organisasi nasional Islam.
Mengganggu dan meresahkan karena saya yakin pendapat dan pernyataan oknum tidak logis, apalagi dalam pemaparan yang diakui “ilmiah” untuk dijadikan basis dalam menilai sebuah institusi.
Lebih dari itu juga mengganggu dan meresahkan karena terjadi “penyempitan” makna radikalisme agama dengan “Islam” semata. Seolah di negara ini yang berpendapat atau berperilaku radikal hanya dari kalangan Umat Islam.
Padahal kenyataannya, bahkan sejarah pun berkata demikian, bahwa pada semua komunitas ada “tetesan darah” pada tangannya. Bahkan ketika saya berkeliling di tujuh negara Eropa, ada dua kejadian kekerasan yang menimpa komunitas Muslim. Hanya saja kedua peristiwa ini hilang begitu saja dari permukaan bumi.
Yang pertama adalah penusukan seorang muazzin di Inggris. Dan yang kedua adalah penembakan di sebuah kota kecil di Jerman bernama kota Hanau. Pada peristiwa itu ada 11 orang Islam yang terbunuh.
Kedua hal itu nampaknya tidak terlalu penting bagi dunia dan berlalu begitu saja. Bandingkan misalnya jika hal itu, bahkan jika saja ada seorang Muslim yang karena dicurigai akan melakukan (belum melakukan) tindakan teror tertangkap di sebuah kota di Amerika. Anda bisa membayangkan bagaimana respon masyarakat luas dan media khususnya.
Sejujurnya sejarah juga menjadi saksi atas “apa dan bagaimana” toleransi para pemeluk agama di masa lalu. Saya di sini tidak mengingkari adanya “kesalahan-kesalahan” yang pernah dilakukan oleh umat Islam masa lalu. Sekali lagi, semua Komunitas punya darah di tangannya yang perlu dibersihkan.
Tapi kalau saja kita jujur dalam melihat sajarah, anda dapat membedakan siapa yang lebih toleran dan siapa yang lebih intoleran kepada umat lain. Mungkin contoh terkecil saja. Bandingkan rumah-rumah ibadah agama masing-masing, sebelum dan sesudah penaklukkan.
Bumi Syam (Suriah, Jordan, Palestina) itu dulu menjadi bagian dari Kerajaan Romawi. Sementara beberapa negara Barat itu dulu menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Bagaimana anda mendapatkan rumah-rumah ibadah masing-masing Umat sebelum dan sesudah pergantian kekuasaan?
Di tanah Syam hingga saat ini anda masih akan menemukan gereja-gereja tua nan megah berdiri dan dijaga oleh penguasa Islam dari zaman dulu hingga kini. Satu hal yang mungkin mengejutkan banyak orang adalah fakta sejarah toleransi yang dilakukan oleh Umar, Khalifaf Rasyidah kedua. Beliaulah yang mengundang kembali warga Yahudi untuk kembali menetap di Jerusalem dan bebas menjalankan agamanya.
Sebaliknya, di negara-negara Eropa termasuk Spanyol, masjid-masjid ketika terjadi pergantian kekuasaan, kalau tidak menjadi night club, dijadikan gereja-gereja. Hingga kini jika anda ke Seville Spanyol misalnya, ada beberapa gereja megah yang di dalamnya masih ada tulisan-tulisan kaligrafi. Karena dulunya gereja-gereja itu memang masjid yang dijadikan gereja pasca kejatuhan kekuasaan Islam di Eropa.
Itulah sebabnya saya cukup terganggu dan resah ketika label radicalisme cenderung dialamatkan hanya kepada Umat ini. Padahal semua pengikut agama punya titik-titik kelam dalam perjalanan sejarahnya masing-masing.
Kembali kepada isu awal, benarkah Indonesia saat ini berada diambang ancaman radikalisme yang berbahaya? Benarkah bahwa negeri ini berada di ambang kehancurannya, bagaikan Irak dan Suriah? Apakah itu sebuah asumsi, bahkan mitos atau fakta?
Dallas, 1 Maret 2020
* Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation USA.
Advertisement