Indonesia Terancam Radikalisme: Fakta atau Mitos? (1)
“Saya ngeri sekali. Akhir-akhir ini Indonesia kok mengerikan. Saya tidak lagi mengenal Indonesia yang seperti dulu. Indonesia tidak lagi toleran. Kerukunan antar umat beragama bersobek-sobek. Indonesia berubah total dari bangsa yang moderat menjadi bangsa yang radikal. Kini Indonesia berada di ambang kahancurannya”.
Demikian sekilas pernyataan seorang peserta diskusi di sebuah universitas di Jerman. Hadir di acara itu beberapa Professor, mahasiswa/mahasiswi jurusan studi ASEAN. Diskusi di moderatori Ketua jurusan studi ASEAN. Beliau orang asli Jerman yang pernah menetap di Makassar beberapa tahun.
Ustadz Imam Shamsi Ali menjadi pembicara dalam diskusi itu. Berikut penuturan Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, AS:
Tema yang saya bawakan di acara diskusi umum itu adalah “Posisi Islam dalam perpolitikan modern di Indonesia”. Tentu sebuah tema yang faktual dan sedang ramai diperbincangkan di mana-mana, termasuk di luar negeri.
Sejujurnya saya mengakui bahwa tema itu cukup berat dan menantang. Berat karena memang bukan spesialisasi saya. Menantang karena saya pribadi tidak terlalu tertarik untuk membahas isu-isu politik. Walau saya cukup sadar politik.
Tapi saya terima karena memang menjadi bagian dari misi perjalanan saya ke Eropa. Yaitu ingin menyampaikan salah satunya, bahwa di negara Indonesia agama (baca Islam) dan demokrasi saling bergandengan tangan.
Sebagai negara Muslim terbesar dunia, Indonesia patut berbangga bahwa ketika Islam dituduh anti demokrasi, justeru Indonesia membuktikan sabaliknya dengan realita. Karena Indonesia sekaligus adalah demokrasi terbesar ketiga dunia.
Saya memulai pemaparan saya sebagaimana biasanya dengan menyampaikan sejarah kehadiran Islam di bumi Nusantara. Bahwa tidak seperti pada beberapa negara lainnya, Islam hadir di Nusantara dengan cara damai. Bahkan melalui penetrasi perilaku sosial manusia dan kultur.
Ini yang menjadikan praktek sosial Islam di Indonesia secara mendasar sangat damai. Tapi juga tidak mengeliminir budaya-budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama.
Penjelasan saya ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Karena sejatinya memang secara sosial kemanusiaan ketika Islam hadir di sebuah tempat tidak mengganti budaya orang. Justeru hal-hal yang telah baik dikonfirmasi dan diafirmasi.
Mungkin dalam bahasa Islam yang lebih populer, Islam hadir tidak untuk menghapus dan mengganti praktek budaya dan nilai sosial masyarakat setempat. Melainkan hadir untuk menyempurnakan (li itmaam).
Itulah yang pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Akhlak manusia itulah yang terpatri pada nilai sosial dan praktek budayanya. Perilaku sosial dan budaya manusia Nusantara terwakili dalam perilaku Keindonesiaan yang santun, sopan, ramah, gotong royong, tatakrama, mudah senyum, rendah hati, mudah bergaul, dan seterusnya.
Presentasi saya sebenarnya berusaha menghindari isu-isu mutakhir yang cukup kontroversial sekaligus sensitif bagi sebagian orang. Saya menghindari membicarakan pilpres yang baru saja berlalu. Bahkan saya menghindari membicarakan isu “212” yang pernah dihebohkan beberapa waktu lalu.
Namun demikian dalam sesi tanya jawab semua itu tidak lagi bisa dihindarkan. Beberapa peserta misalnya bahkan tidak setuju dan menganggap jika Islam dikatakan masuk ke bumi Nusantara secara damai itu sebuah mitos. (Bersambung)