Wapres: Indonesia Jadi Konsumen dan Tukang Stempel Produk Halal
Wapres KH Ma'ruf Amin menegaskan, pasar halal global saat ini juga diminati negara berpenduduk non-muslim selain oleh negara berpenduduk mayoritas muslim.
Sebagai contoh, berdasarkan laporan Global Islamic Economic Report tahun 2019, Brazil merupakan eksportir produk makanan dan minuman halal nomor satu di dunia dengan nilai USD5,5 miliar yang disusul oleh Australia dengan nilai USD2,4 miliar.
"Oleh karena itu, untuk menjadikan Indonesia menjadi pusat produsen produk halal dunia, Indonesia memerlukan langkah strategis yang dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan terkait, secara simultan dan kolaboratif," ungkap Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma'ruf Amin saat memberikan keynote speech pada acara Webinar Strategis Nasional “Indonesia Menuju Pusat Produsen Halal Dunia” di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta Pusat, Sabtu 24 Oktober 2020.
Menurut wapres, permintaan produk halal oleh konsumen muslim global pun mengalami peningkatan setiap tahunnya. Melansir data dari the State of Global Islamic Economy Report 2019/2020, besarnya pengeluaran konsumen muslim dunia untuk makanan dan minuman halal, pariwisata ramah muslim, halal lifestyle, serta farmasi halal mencapai USD2,2 triliun pada tahun 2018, dan diproyeksikan akan mencapai USD3,2 triliun pada tahun 2024.
Dengan perkiraan penduduk muslim yang akan mencapai 2,2 milliar jiwa pada tahun 2030, maka angka perekonomian pasar industri halal global akan terus meningkat dengan pesat.
Hal ini merupakan potensi yang sangat besar yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia dengan memenuhi kebutuhan global melalui ekspor produk halal dari Indonesia.
Kata wapres, sebagai negara berpenduduk 267 juta jiwa dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai 87 persen dari total populasinya, Indonesia merupakan pasar yang sangat menentukan dalam perdagangan produk halal dunia.
Namun sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih berperan sebagai konsumen produk halal dunia, bahkan menjadi yang terbesar di antara negara-negara mayoritas muslim lainnya. Di tahun 2018 saja Indonesia membelanjakan 214 miliar US Dollar untuk produk halal, atau mencapai 10 persen dari pangsa produk halal dunia.
"Indonesia masih banyak mengimpor produk-produk halal dari luar negeri. Indonesia selama ini hanya menjadi konsumen dan “tukang stempel” untuk produk halal yang diimpor," ungkapnya.
Untuk itu, pada kesempatan ini wapres mengajak berbagai pemangku kepentingan untuk bersungguh-sungguh bergerak menjadikan Indonesia tidak lagi sebagai konsumen tetapi sebagai produsen dan eksportir produk halal terbesar di dunia.
Adapun beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan, menurut wapres: pertama, menguatkan industri produk halal melalui pembentukan kawasan-kawasan industri halal maupun zona-zona halal di dalam kawasan industri yang sudah ada, sehingga kapasitas produksi produk halal Indonesia bisa meningkat secara signifikan dan terintegrasi, semakin berkualitas, serta berdaya saing global.
"Kawasan industri halal (KIH) yang tumbuh dan berkembang diharapkan akan menarik perhatian investor global untuk menjadikan Indonesia sebagai global hub produk halal dunia," harapnya.
Terkait hal ini, terbitnya regulasi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) no.17 tahun 2020 Tentang Tata Cara Memperoleh Surat Keterangan Dalam Rangka Pembentukan Kawasan Industri Halal, menurut wapres merupakan langkah awal yang baik untuk berkembangnya kawasan industri halal terpadu di Indonesia. Di mana seluruh layanan yang berhubungan dengan kehalalan produk berada dalam satu atap atau one stop service.
Sampai saat ini sudah ada dua kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan industri halal oleh Kementerian Perindustrian yaitu Modern Cikande Industrial Estate di Serang, Banten dan SAFE n LOCK Halal Industrial Park di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. "Selain dua kawasan industri halal tersebut, saya menerima laporan bahwa sudah ada 6 kawasan lagi yang mengajukan permohonan penetapan kawasan Industri halal" lanjutnya.
Kemudian langkah strategis kedua adalah membangun data perdagangan Industri Produk Halal yang terintegrasi. Melalui penyatuan database dan kodifikasi untuk mensinergikan data sertifikasi produk halal dengan data perdagangan dan ekonomi, diharapkan statistik data perdagangan dan penganggaran APBN untuk pengembangan industri produk halal dapat terlaksana dan termonitor dengan baik.
"Saat ini data-data produksi maupun nilai perdagangan produk halal Indonesia belum terefleksi dengan jelas dalam management information system (MIS) yang terintegrasi," katanya.
Untuk itu, wapres meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengkoordinasikan hal ini dengan memaksimalkan peran Kementerian dan Lembaga seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Pusat Statistik, MUI dan BPJPH untuk bekerjasama dalam upaya kodifikasi produk halal Indonesia.