Indonesia Sudah Bisa Produksi Obat COVID-19?
Beredar indormasi bahwa salah satu perusahaan farmasi di Indonesia, Dexa Medica, mampu memproduksi obat bagi penderita COVID-19.
Informasi ini muncul setelah Direktur Komersial PT. Dexa Medica V. Hery Sutanto memberikan bantuan obat-obatan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 serta kepada sejumlah rumah sakit rujukan pada 7 April.
Setelah penyerahan bantuan itu, menyebarlah informasi yang menyebut Dexa Medica mampu memproduksi obat bagi pasien COVID-19.
Benarkah? Ternyata tidak.
Dalam siaran persnya, Dexa Medica menjelaskan bahwa bantuan obat-obatan yang diserahkan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan sejumlah rumah sakit rujukan itu adalah obat-obatan hydroxychloroquine, azithromycin, dan chloroquine.
"Obat-obatan itu, khususnya hydroxychloroquine dan chloroquine sangat ditunggu-tunggu oleh para dokter dan pasien COVID-19. Bahan bakunya sangat sulit didapat karena seluruh dunia juga berebut untuk mendapatkan bahan baku obat itu," kata Hery.
Namun, hydroxychloroquine, azithromycin, dan chloroquine bukanlah obat tunggal yang benar-benar dapat menyembuhkan COVID-19.
Institut Kesehatan Nasional AS (HIH), dalam siara pers yang dipublikasikan pada 9 April 2020, menyebut hydroxychloroquine menjadi obat yang berpotensi membantu pengobatan pasien COVID-19.
"Bagaimanapun, kami sangat membutuhkan data uji klinis untuk mengukur apakah hydroxychloroquine itu efektif dan aman untuk pengobatan COVID-19," kata Direktur Divisi Penyakit Paru-paru Institut Jantung, Paru-Paru, dan Darah Nasional AS.
Sementara dalam jurnal yang dipublikasikan oleh David N. Juurlink dari Departments of Medicine and Pediatrics, University of Toronto, chloroquine, hydroxychloroquine dan azithromycin disebut sebagai obat untuk merawat pasien dan mencegah COVID-19 meskipun bukti efektivitas obat-obat itu sangat lemah.
Dalam jurnal yang dipublikasikan di Canadian Medical Association Journal pada 8 April itu, Juurlink mengatakan paramedis dan pasien harus berhati-hati terhadap efek obat yang mengancam kondisi fisik meskipun itu jarang ditemukan.
"Di luar optimisme (dalam beberapa hal, bahkan antusiasme) atas potensi chloroquine atau hydroxychloroquine dalam pengobatan COVID-19, sedikit pertimbangan telah diberikan bahwa obat-obat itu mungkin berdampak negatif dalam penyembuhan penyakit," kata Juurlink.
Dexa, dalam rilis mereka, juga menyebut obat-obatan yang didonasikan itu merupakan obat keras.
"Penggunaannya hanya untuk pasien yang sakit, bukan untuk pencegahan," demikian keterangan tertulis dari Dexa. (Ant/Rtr)