Indonesia Mampu Hadapi Ancaman Populisme, Kata Indonesianis
Fenomena populisme semakin marak di dunia. Amerika Serikat, Eropa, India, Myanmar mengalami hal ini. Tak terkecuali Indonesia sebagai negara demokratis.
"Hal itu merupakan sebuah ancaman di Indonesia, terutama bagi Islam Nusantara dan cita-cita politik dan kultur Indonesia yang inklusif di tengah multiras dan agama," kata Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Boston, Amerika Serikat Robert W Hefner.
Meskipun demikian, ia tetap yakin bahwa Indonesia mampu bertahan dari ancaman tersebut. Hal itu bukan berarti lepas begitu saja darinya.
"Indonesia akan tahan. (Tapi) Tidak berarti bebas dari ancaman populis. Itu pasti akan berlangsung sebagai salah satu bagian dari demokratisasi," kata Hefner.
"Ujian ini akan dirasa terus-menerus karena fenomena umum terutama negara yang mau demokratis. Kita akan terus melihat fenomena yang sama," kata Hefner.
Indonesianis asal Amerika ini, mengisi kuliah umum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jalan Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta, belum lama ini. Diskusi yang dipandu Ahmad Suaedy, dosen Pascasarjana Unusia ini juga dihadiri oleh Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia Mastuki HS, Ulil Abshar Abdalla, dan para dosen Unusia.
Hefner masih percaya diri, Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan akan tetap berlangsung. Namun, ia juga mengingatkan bahwa para peserta dan masyarakat pada umumnya juga harus merasa percaya diri juga.
"Ujian ini akan dirasa terus-menerus karena fenomena umum terutama negara yang mau demokratis. Kita akan terus melihat fenomena yang sama," terangnya.
Populisme, jelas Hefner, tidak berarti populer. Ia juga tidak berasal dari harapan rakyat sendiri. Justru sebaliknya, populisme menghancurkan kultur, nilai, dan institusi masyarakat yang memiliki jiwa hidup bersama.
"Populisme adalah sebuah strategi mobilisasi yang diterapkan oleh tokoh politik tertentu," ujar pria yang telah meneliti Indonesia sejak lebih dari 30 tahun lalu itu.
Penulis buku Civil Islam itu menyebutkan dua ciri populisme, yakni strategi mobilisasi dengan menciptakan musuh dan penganggapan diri sebagai tokoh. Ia menjelaskan bahwa penciptaan musuh itu dilakukan guna membuat ancaman sosial bagi semua. Dari situlah, politikus menarik dukungan mereka melalui imbauan yang sengaja dibuat selaras dengan aspirasi mereka.
"Harus ada perubahan untuk pekerjaan normatif, menemukan hal yang bisa dieksploitir untuk menciptakan musuh," terangnya.
Lebih lanjut, Direktur the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA) itu juga menegaskan bahwa penciptaan musuh itu juga guna membuat sang politikus itu menjadi tokoh. Tanpa memiliki basis massa yang kuat, dengan berdasar pada penciptaan musuh itu, ia ditampilkan menjadi sosok baru.
Hal itulah, katanya, yang dilakukan oleh Donald Trump dalam upayanya untuk menjadi orang nomor satu di negerinya. Trump, jelas Hefner, menciptakan banyak musuh. Dua di antaranya adalah imigran Amerika Latin dan komunitas Muslim.
Populisme, menurutnya, menciptakan ketegangan di antara masyarakat sipil. Ketegangan itu dibuat melalui kabar tak berdasar. Hal itulah yang menghancurkan hubungan mereka. "Lewat fakta-fakta yang sebetulnya tidak berdasar," terangnya.
Lebih terang, ia mencontohkan Polandia. Negara yang hampir tidak ada penduduk Muslimnya itu menjadikan Islam sebagai suatu ancaman. Masyarakatnya yang taat ke gereja itu juga dibuat memusuhi liberal. (adi)