Indonesia Kecam Keras AS Yang Mengakui Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel
Pemerintah Indonesia mengecam keras keputusan Pemerintah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang akan memicu guncangan stabilitas keamanan dunia.
"Indonesia mengecam keras pengakuan sepihak Amerika Serikat terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis 7 Desember 2017.
Indonesia, lanjut Presiden Jokowi, meminta AS mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.
"Keputusan itu telah melanggar berbagai resolusi di PBB yang AS menjadi anggota, dan ini bisa mengguncang stabilitas keamanan dunia," kata Presiden Jokowi.
Sebelumnya Presiden Donald Trump, Rabu (6/12) tiba-tiba membalikkan kebijakan yang telah dianut Amerika Serikat selama berpuluh-puluh tahun, dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Langkahnya itu memicu kemarahan Palestina dan menunjukkan bahwa ia tidak menghiraukan peringatan soal kerusuhan yang ditimbulkannya di Timur Tengah dengan mengeluarkan pernyataan tersebut.
Pernyataan terhadap pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel itu dikeluarkan Trump ketika ia menyampaikan pidato di Gedung Putih.
Ia mengatakan bahwa pemerintahannya akan memulai proses untuk memindahkan kedutaan besar AS di Tel Aviv ke Yerusalem.
Relokasi tersebut diperkirakan akan membutuhkan waktu beberapa tahun. Para presiden pendahulunya menghindari langkah itu agar tidak menimbulkan ketegangan.
Status Yerusalem, yang merupakan tempat suci bagi para penganut Islam, Yahudi dan Kristen, merupakan salah satu masalah paling tajam yang harus dihadapi dalam upaya mewujudkan kesepakatan perdamaian antara Israel dan Palestina.
Selama ini, masyarakat internasional tidak mengakui kedaulatan Israel di seluruh Yerusalem dan meyakini bahwa status kota tersebut harus diselesaikan dengan jalan perundingan.
"Saya sudah menetapkan bahwa sudah saatnya untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata Trump.
"Walaupun presiden-presiden (Amerika Serikat, red) sebelumnya telah membuat janji saat kampanye, mereka tidak bisa melaksanakannya. Hari ini, saya melaksanakan (janji saya, red)."
Keputusan Trump itu membahayakan peranan historis Amerika Serikat sebagai penengah dalam konflik Israel-Palestina, juga menimbulkan kericuhan terhadap hubungan dengan sekutu-sekutu Arab, yang diandalkan Washington untuk membantunya melawan Iran dan memerangi kalangan milisi Islamis Sunni.
Israel menganggap Yerusalem sebagai ibu kotanya yang abadi dan tak terbagi serta menginginkan semua kedutaan asing ditempatkan di sana.
Pada saat yang sama, Palestina menginginkan Yerusalem menjadi ibu kota negara Palestina merdeka di masa depan.
Kota itu direbut Israel dalam perang pada 1967 dan kemudian diduduki Israel. Pencaplokan oleh Israel itu terus ditentang oleh dunia internasional, demikian laporan Reuters.
Sementara itu Kanselir Jerman Angela Merkel tidak mendukung keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, menurut keterangan juru bicaranya, Rabu 6 Dosember.
Pemerintah Jerman “tidak mendukung sikap ini karena status Yerusalem hanya dapat dirundingkan dalam kerangka solusi dua negara,” ujar juru bicara kanselir Jerman Steffen Seibert di Twitter.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengatakan ia khawatir keputusan Trump akan memicu “eskalasi baru dalam konflik antara Israel dan Palestina.”
Keputusan tersebut berisiko memperkeruh situasi, ujarnya kepada stasiun televisi ARD.
“Kami berharap kekhawatiran kami bisa… reda. Namun, hal ini sudah menjadi masalah besar.”
Keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang merupakan pergeseran besar terhadap kebijakan diplomatik AS, menuai kecaman dari berbagai kalangan.
Sedang Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, hari Rabu 6 Desember kemarin dengan tegas memperingatkan Amerika Serikat (AS) untuk tidak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mengatakan bahwa langkah itu hanya akan membantu kelompok teror.
“Langkah tersebut hanya akan membangkitkan kelompok teror,” ujar Erdogan dalam konferensi pers gabungan di Ankara setelah berunding dengan Raja Yordania Abdullah II.
“Langkah keliru itu... akan mendorong kemarahan publik di seluruh dunia Islam, meruntuhkan perdamaian dan memicu ketegangan baru serta bentrokan di kawasan kami,” katanya.
Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv, sebuah rencana yang menimbulkan kekhawatiran di dunia Islam dan sekitarnya.
Sebelumnya, pihak kepresidenan Turki mengatakan bahwa Erdogan menyerukan KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), badan pan-Islam utama, di Istanbul pada 13 Desember untuk mendiskusikan langkah tersebut.
Raja Abdullah, yang secara pribadi diberi tahu oleh Trump tentang rencana itu via telepon, mendukung peringatan Erdogan dan mengatakan bahwa Yerusalem Timur harus menjadi ibu kota negara masa depan Palestina.
“Tidak ada alternatif bagi solusi dua negara,” ujar Abdullah, yang berbicara dalam bahasa Inggris. (ant/afp)
Advertisement