Indonesia Incorporated : Konektivitas Pariwisata
“Harmoni dan sinergi bukanlah pilihan, tapi keharusan.”
TIDAK terasa triwulan pertama tahun 2017 telah kita lalui. Seperti biasa, kita selalu melewati setiap triwulan dengan mengadakan Rakornas untuk menyelaraskan dan mensinergikan program-program kita dengan stakeholder terutama kementerian atau lembaga terkait, daerah maupun industri. Rakornas kita minggu lalu fokus untuk mengkoordinasikan program prioritas kita yang paling utama yaitu konektivitas.
Saya sadar betul bahwa critical success factor untuk mengejar target tahun 2017 dengan 15 juta wisman itu ada di air connectivity, karena 80% wisman mengunjungi Indonesia melalui penerbangan. Seats capacity kita masih defisit 4 juta tahun ini. Jika faktor kritis ini tidak dibereskan tahun ini juga, mustahil kita bisa mencapai target tersebut.
Celakanya, masalah konektivitas ini tidak bisa ditangani sendiri oleh Kemenpar. Karena itu, perlu sinergi antar kementerian dan lembaga. Industri pariwisata merupakan satu kesatuan ekosistem yang harus diorkestrasi secara harmonis dan sinergis.
Saya ingin membangun pariwisata secara bergotong royong, berbagi peran, dan maju
bersama dalam kebersamaan. Ibarat bermain simponi orkestra, kita akan menghasilkan
nada yang indah, jika dimainkan bersama-saman dalam satu kesatuan. Kapan celo dan
violin digesek, kapan piano dimainkan, kapan klarinet dan saksofon ditiup, semuanya
diatur dan diselaraskan oleh sang conductor.
Nah, orkestra pariwisata Indonesia akan
menghasilkan “nada indah” jika diharmonisasikan dan disinergikan dengan cantik. Oleh karenanya tema Rakornas Pariwisata kali ini adalah “Indonesia Incorporated : Synergies For Better Tourism Connectivity”, kata kuncinya adalah Indonesia
Incorporated.
Kajian UNWTO
Dalam hal konektivitas udara, hasil kajian UNWTO (United Nation World Tourism
Organization) bisa menjadi bahan referensi yang sangat baik.
Laporan yang dikeluarkan pada tahun 2014 itu menyimpulkan bahwa “jembatan udara” memiliki dampak yang sangat signifikan dalam pengembangan pariwisata di suatu negara, apalagi untuk negara kepulauan seperti Indonesia. Ada tiga pelajaran penting yang bisa kita petik dari studi yang berjudul, “Air Connectivity and its Impact on Tourism in Asia and the Pacific”.
Pertama, harus ada deregulasi yang mendasar dalam penerbangan nasional. Permudah izin slot, dibuka lebih banyak bandara, yang ada destinasi level dunia dibuat international airport, lengkapi seluruh fasilitas yang terkait dengan syarat menjadi bandara internasional, dan jangan dipersulit. Ada tiga poin yang harus disentuh: Air Service Agreement, Airport Development, dan Multiple Brand Strategy for Legacy Carriers.
Banyak contoh kerjasama bilateral antar negara dalam air service yang secara signifikan mendongkrak angka kunjungan wisatawan di negara-negara tersebut. Kerjasama bilateral antara Jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1998 misalnya, langsung menaikkan inbound tourism hingga 33% dan menambahkan seats capacity 10%. Lalu kerjasama Korea Selatan dan Amerika Serikat juga sama, menaikkan kunjungan pariwisata sebesar 26.2% dan menambah kapasitas angkut hingga 26%.
Untuk melihat dampak positif kerjasama antar negara di bidang air services silahkan lihat tabel berikut. Kedua, pembangunan airport, perluasan terminal, perpanjangan runway, memiliki dampak sangat signifikan terhadap kunjungan turis. Di Jepang misalnya, pembangunan bandara dan infrastruktur pendukungnya telah menaikkan kunjungan turis hingga 50-60% dalam 2 tahun pasca pembangunan, luar biasa. Ini bukan kata Arief Yahya lho, bukan kata saya, tapi data UNWTO yang berbicara. Saya selalu berusaha menghindari subjektifitas kata-kata, biarlah angka dan data yang bicara.
Ambil contoh Bandara Narita International Airport di Tokyo. Sejak pembangunan runway bandara ini pada tahun 2012-2013, kunjungan wisata ke Jepang naik signifikan dari 8 juta wisatawan, naik 13 juta (2014), dan sekarang sudah mencapai 20 juta. Hal yang sama juga terjadi pada pembangunan Kuala Lumpur International Airport-2 tahun 2014, terminal penumpang-2 utama Incheon Seoul Korea tahun 2011, Changi Int Airport Singapore 2008, pembangunan runway Suvarnabhumi Bangkok dan re-opening Don Mueang 2009 di Thailand.
Ketiga, multiple brand strategy yaitu dengan cerdas melakukan segmentasi ulang dan kemudian meluncurkan sub-brand baru untuk memperluas pasar. Saya contohkan Singapore Airlines. SQ awalnya hanya melayani segmen segmen full services. Namun ia melihat potensi di segmen-segmen lain sangat menjanjikan. Maka kemudian SQ meluncurkan beragam sub-brand baru untuk mengisi segmen-segmen yang menganga tak terlayani. SQ sendiri bermain di full services, jarak jauh (long haul), Silk Air jarak menengah dan full services.
Kemudian Tiger Air yang narrow body dan Scoot Air yang wide body, dua-duanya untuk LCC. Rintisan multiple brand strategy yang dijalnkan SQ ini kemudian diikuti oleh maskapai lain di Asia. Jepang punya All Nippon Airway (full service), Air Japan (chartered airlines), ANA Wings (domestik), Air Do (LCC Domestik), Vanilla Air (LCC International). Juga Thailand yang memiliki Thai Airlines untuk yang full service dan Thai Air serta Nok Air untuk LCC.
Belajar dari Jepang
Sengaja saya utarakan pengalaman berharga dari banyak negara di dalam studi UNWTO agar kita terbuka pikiran dan dari pengalaman tersebut kita bisa banyak belajar. Ingat, mereka bisa mencapai sukses itu setelah melalui exercise dan eksperimen yang panjang dan proses jatuh bangun berdarah-darah. Inilah untungnya benchmarking, yang babak-belur cukup mereka, kita jangan sampai babak-belur.
Seperti pernah disinggung dalam CEO Message 17 tentang Indonesia Incorporated, saya selalu percaya dengan resep NIH (not invented here) dari Jack Welch. Kita tak perlu memulai dari nol, karena banyak negara-negara lain sudah sukses melakukannya. Tinggal kita pelajari secara mendalam kasus di negara-negara tersebut, kemudian kita lakukan ATM: Amati, Tiru, dan Modifikasi.
Untuk permasalahan konektivitas udara dan pariwisata, kita bisa belajar dari kisah sukses Jepang. Beberapa tahun terakhir kenaikan wisman ke Jepang itu menakjubkan. Pertumbuhannya bergerak eksponensial nyaris double, dari 10 juta turis pada tahun 2013 melonjak hampir 20 juta di 2015 dan kemudian melonjak lagi menjadi 24 juta pada tahun 2016.
Padahal proyeksi awal mereka angka itu baru akan tercapai di tahun 2023 atau sepuluh tahun kemudian. Bagi Jepang ini adalah rekor pencapaian tertinggi untuk pertama kalinya dalam 45 tahun. Pertanyaannya, mengapa bisa melompat double seperti itu? Inilah rahasianya. Pertama, Jepang agresif melakukan deregulasi meluncurkan relaxation of visa rule.
Mereka membebaskan Visa Kunjungan dari originasi China dan ASEAN sejak 2013. Mereka tahu, bahwa sumber pelanggannya berada di negara-negara terdekat dimana travelling cost murah. Selaras dengan apa yang dilakukan Jepang, kita juga sudah membuat kebijakan yang sama yaitu membebaskan Visa Kunjungan dari 15 negara menjadi 169 negara.
Kedua, mereka melakukan depresiasi mata uang Yen tahun 2013. Artinya, mereka menaikkan price competitiveness. Secara cermat harga dibuat murah dan mereka menciptakan affordability agar wisman tertarik berkunjung ke Jepang. Di bidang price competitiveness kita beruntung karena dalam hal ini kita unggul.
Menurut data indeks daya saing pariwisata World Economic Forum posisi kita cukup baik masuk lima besar dunia. Namun kita terus mencoba mendorong price competitiveness ini dengan memperkenalkan konsep more for less tourism.
Ketiga, mendorong berkembangnya LCC untuk mendorong turis lebih banyak datang
ke Tokyo.
Menurut Japan National Tourism Organization (JNTO), dengan membaiknya konektivitas ini jumlah wisman ke Jepang naik 47% tahun 2015. Bagan di bawah ini merangkumkan upaya-upaya sistematis yang dilakukan Jepang di sisi bandara, pengaturan lalu-lintas udara, dan maskapai penerbangan untuk mendongkrak kunjungan wisman.
Harmoni dan Sinergi
Di luar tiga faktor di atas, ada satu faktor yang menurut saya justru paling krusial, yaitu menyangkut koordinasi dan kelembagaan. Tidak seperti di sini, di Jepang tidak diperlukan lagi “incorporated” bahkan tidak perlu rakornas triwulanan dengan lembaga dan kementerian lain. Kenapa? Karena menteri yang mengurusi “incorporated” itu ada di satu atap sehingga koordinasinya seamless dan super cepat. Namanya Minister of Land, Infrastructure, Transport and Tourism yang sekarang dijabat Keichii Ishii.
Karena semua urusan berada dalam satu atap kementerian, maka semua kebijakan bisa diputuskan dengan cepat, tanpa banyak birokrasi. Terus terang saya ngiri dengan apa yang terjadi di Jepang. Mestinya kita bisa meniru hal yang sama mengingat sektor pariwisata memang harus dibangun dengan pendekatan holistik seperti terjadi di Jepang.
Untuk di Indonesia, peran strategis itu sebaiknya bisa mainkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman yang secara koordinatif bisa mengorkestrasi Kementerian Pariwisata, PUPR, Perhubungan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BUMN, Agraria, Energi dan Sumber Daya Mineral. Dengan satu komando, maka pekerjaan rumah soal “incorporated” itu bisa dilalui lebih mudah, cepat, dan terintegrasi dalam satu misi.
Kasus Jepang membuat saya optimis. Kalau Jepang bisa mencapai target double kunjungan wisman hanya dalam waktu tiga tahun, kenapa kita tidak bisa. Pengalaman Jepang membuat kita optimis bisa mencapai target 20 juta wisman tahun 2019 nanti.
Kuncinya adalah harmoni dan sinergi di antara seluruh unsur pentahelix dalam kerangka Indonesia Incorporated.
Dalam buku Great Spirit, Grand Strategy, saya menulis bahwa untuk menjadi yang terbaik seorang pemimpin harus bisa menciptakan harmoni dan sinergi dalam praktek kepemimpinannya. Apalagi pemimpin di Kemenpar dimana sukses pariwisata ditentukan oleh orkestrasi dari seluruh stakeholders yang ada.
Karena alasan itu melalui CEO Message ini saya ingin menegaskan bahwa: harmoni dan sinergi bukanlah pilihan, tapi sebuah keharusan. Harmoni dan sinergi adalah survival kita. Harmoni dan sinergi adalah kunci sukses kita. Salam Pesona Indonesia!!!
*) Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc., Menteri Pariwisata