Indonesia Harus Belajar Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura
Pandemi COVID-19 kembali mengalami lonjakan kasus di beberapa negara tetangga. Satu di antaranya Singapura yang penduduknya sangat disiplin protokol kesehatan. Meski secara umum cakupan vaksinasi di negara ini mencapai 84 persen, namun pada kategori lanjut usia, capaiannya rendah atau bahkan belum tervaksinasi. Akibatnya,tingkat kematian pada kategori ini meningkat.
“Angka kasus di Singapura mencapai hampir 2.000 kasus, ini sangat tinggi mengingat jumlah penduduk Singapura tidak besar, sehingga jumlah 1.000 kasus saja sudah dikategorikan kritis,” ungkap Dubes Indonesia untuk Singapura Suryo Pratomo melalui siaran YouTube yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).
Pemerintah Singapura sendiri memprediksi penambahan 100 hingga 200 kasus per hari. Namun pada kenyataannya jauh lebih tinggi. Menurut Suryo, penambahan kasus disebabkan oleh masuknya varian baru diiringi tingkat penularan lokal yang signifikan. Dengan wilayah kecil padat penduduk, rumah warga Singapura cenderung sempit dan dihuni banyak orang, sehingga transmisi sangat mudah terjadi.
Padahal, ujarnya, tingkat kedisiplinan protokol kesehatan masyarakat sangat baik. Pemerintah juga menetapkan denda atau hukuman penjara bagi pelanggaran. Penduduk yang keluar rumah harus memiliki surat telah lengkap vaksin. Pemerintah Singapura juga mengawal dan mengawasi penduduk dengan memanfaatkan teknologi dalam upaya pengendalian penularan.
“Di Singapura, para lansia merasa aman karena tidak ke mana-mana, jadi mereka belum mau divaksin. Kematian COVID-19 di Singapura biasanya terjadi pada lansia dan yang belum divaksin,” kata Suryo.
Suryo mengemukakan, belajar dari lonjakan kasus di Singapura, diketahui bahwa masuknya varian baru akan sangat menyulitkan penanganan COVID-19. Karena itu, antisipasi dengan cara pengetatan pintu masuk merupakan langkah tepat untuk mencegah peningkatan kasus.
Advertisement