Indonesia Disebut Berpotensi Jadi Penengah Rusia-Ukraina
Saat ini dunia dihebohkan dengan invasi Rusia ke Ukraina. Presiden Jokowi merespons dengan menyerukan penghentian perang tersebut. Presiden menyampaikan respons tersebut melalui akun twitter resminya, @jokowi.
Dalam unggahan tersebut, Presiden menyebut perang menyengsarakan manusia dan membahayakan dunia.
"Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia. Rivalitas dan ketegangan di Ukraina harus dihentikan sesegera mungkin. Semua pihak yang terlibat harus menahan diri dan kita semua harus berkontribusi pada perdamaian. Perang tidak boleh terjadi," cuit Presiden.
"Saatnya dunia bersinergi dan berkolaborasi menghadapi pandemi. Saatnya kita memulihkan ekonomi dunia, mengantisipasi kelangkaan pangan, dan mencegah kelaparan," imbuhnya.
Di sisi lain, menurut ahli, Indonesia berpotensi menjadi penengah konflik Rusia dan Ukraina. Pasalnya, diperlukan pihak netral untuk menengahi dan menghentikan perang itu. Riza Noer Arfani, pakar hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut Indonesia mampu menjadi penengah lantaran ada di Presidensi G20.
"Perang ini adalah permukaan paling atas dari masalah-masalah Rusia-Ukraina yang menumpuk tidak terselesaikan. Dialog konstruktif gagal dirancang. Perang sudah terjadi. Yang diperlukan adalah pihak di luar AS dan sekutunya. Apakah China, India, atau Indonesia. Indonesia, menurut saya, bisa karena ada di Presidensi G20,” kata Riza seperti dikutip Detik.com.
Dalam Presidensi G20 sendiri di dalamnya ada Rusia, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Prancis, dan negara besar lain yang berkepentingan dengan ketertiban dunia.
Langkah Indonesia Mengambil Peran
Sementara, pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana membeberkan cara yang dapat diambil Indonesia. Menurut dia, Indonesia bisa mengusulkan penyelesaian secara damai melalui Majelis Umum PBB.
"Satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui Majelis Umum PBB. Tentu proses di Majelis Umum PBB harus diinisiasi oleh sebuah negara anggota PBB dan Indonesia dapat mengambil peran ini. Indonesia juga memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia," ungkap dia seperti dikutip dari Kompas.com.
Hikmahanto melanjutkan, Presiden dapat mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy. Yaitu dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden Majelis Umum dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.
"Menlu juga perlu melakukan pembicaraan dengan menlu berbagai negara di Asia Afrika Eropa Timur hingga Amerika Latin mengingat bila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal Perang Dunia III," tegas Hikmahanto.
Senada dengan Hikmahanto, mantan duta besar RI untuk Ukraina Yuddy Chrisnandi menyatakan hal serupa. “Yang paling utama adalah menghentikan serangan dan peperangan. Kalau dibawa ke majelis umum akan memiliki peluang, lebih dari 164 negara itu mendukung Ukraina dan menentang okupasi Rusia di Krimea, termasuk Indonesia berada di dalamnya,” kata Yuddy.
Yuddy menganggap Indonesia dalam momentum yang strategis. Sehingga bisa mengirim misi diplomasi berbarengan dengan misi kemanusiaan untuk Ukraina.
“Indonesia berada dalam momentum sangat strategis untuk memainkan perannya sebagai mediator perdamaian dunia yang jelas-jelas serangan sedang mengancam dunia,” ujar Yuddy.
Dampak ke Indonesia
Di sisi lain, perang Rusia-Ukraina berdampak di bidang ekspor Indonesia. Sebab, ekspor terbesar Indonesia adalah kelapa sawit di mana lebih dari 90 persen dikirim ke pelabuhan laut terbesar di Ukraina. Pelabuhan tersebut merupakan satu-satunya hub laut untuk perekonomian dari negara-negara lain masuk wilayah pasar Ukraina dan Eropa Barat.
Tak sampai di situ, bursa saham yang saat ini jatuh menyebabkan harga minyak naik di atas 105 dolar AS per barel. Harga bahan energi gas pun naik. Jika dibiarkan lama-lama akan menjadi sebuah krisis energi dunia.
“Jadi, krisis yang akan dihadapi oleh dunia ini tidak perlu menunggu waktu lama. Terlebih apabila dunia membiarkan tindakan Rusia menyerang Ukraina ini berlarut-larut. Jadi, harus ada sebuah tindakan multilateral yang dilakukan untuk segera menghentikan perang ini,” kata Yuddy.
Setali tiga uang, pakar hubungan internasional Universitas Gadjah Mada, Riza Noer Arfani mengamini ucapan Yuddy. Riza menyebut dampak perang di Eropa Timur bisa terasa sampai Indonesia. Khususnya sektor minyak dan energi.
Perbedaan Narasi Rusia-Ukraina
Mengkutip Kantor Berita Antara, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyebut, ada dua narasi berbeda antara Rusia dan Ukraina. Dalam perspektif Rusia, operasi militer yang dilancarkan adalah dalam rangka kerja sama pertahanan antara Rusia dengan dua republik yang baru saja mendapatkan pengakuan dari Rusia atas kemerdekaannya dari Ukraina. Yaitu Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk.
Hikmahanto mengatakan Presiden Putin mendalilkan operasi militer tersebut berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Di mana di dalamnya berisi memberi hak negara untuk membela dirinya baik secara individual maupun kolektif melalui pakta pertahanan.
"Bagi Rusia, dua republik yang diakui tersebut sedang mendapat serangan dari militer Ukraina," katanya.
Sementara narasi dari pihak Ukraina, lanjut dia, Rusia dengan pengakuan terhadap dua republik yang selama ini dianggap sebagai gerakan separatis telah mengganggu integritas wilayah Ukraina. Akibatnya Ukraina tidak ingin tinggal diam terhadap pelaku separatis. Karenanya mereka menindak para pemberontak.
Presiden Ukraina pun menyatakan bila Rusia terlibat dalam perang dalam skala besar maka tidak ada pilihan bagi Ukraina untuk membalasnya berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB.
"Ukraina paham bila militer mereka berhadapan dengan Rusia maka akan sulit untuk memukul mundur Rusia. Di sinilah dalam beberapa minggu belakangan Ukraina berkeinginan untuk bergabung dengan NATO. Bila ada di dalam NATO, maka serangan terhadap satu anggota NATO berarti serangan terhadap semua anggota NATO," kata Hikmahanto.
Respons Dunia
Serangan yang dilancarkan Presiden Vladimir Putin ke Ukraina mendapat tanggapan dari berbagai negara di dunia. Salah satunya Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan mengutuk serangan Rusia ke Ukraina. Presiden Biden juga menyebut telah menghubungi Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Presiden Biden lantas mendesak para pemimpin dunia menentang agresi Rusia dan mendukung warga Ukraina. Biden juga menyatakan ia akan bertemu dengan para pemimpin negara G7. Tak hanya itu, Amerika Serikat dan sekutunya berencana memberikan sanksi berat untuk Rusia.
Sama halnya dengan respons negeri paman sam, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin menghentikan perang. Selain itu, meminta Putin membawa pasukannya kembali ke Rusia.
Guterres memperingatkan Putin bahwa tindakan militer Rusia tidak hanya dapat menghancurkan Ukraina, tetapi berdampak ke ekonomi global.
"Pada saat kita bangkit dari Covid, begitu banyak negara berkembang benar-benar perlu memiliki ruang untuk pemulihan. Akan sangat, sangat sulit dengan harga minyak yang tinggi, dengan ekspor gandum dari Ukraina dan dengan kenaikan suku bunga disebabkan oleh ketidakstabilan di pasar internasional," katanya dikutip CNN International.
"Peristiwa ini bisa menjadi perang terburuk sejak awal abad ini. Oleh karena itu, konflik ini harus dihentikan sekarang," tegasnya.