Indonesia adalah Sebuah Komitmen
OLEH Eep Saefulloh Fatah
Ambon 2011. Saya masih mengingat dengan jelas pertanyaan pendeta itu.
"Apakah sebetulnya Indonesia itu? Apakah Indonesia adalah sebuah tempat di mana saya dan kelompok minoritas lainnya harus menerima kehidupan yang tertekan, menjadi objek sementara kelompok mayoritas menjadi subjek atau penentu? Apakah Indonesia adalah sehuah kesatuan yang di dalamnya kesenjangan, ketidakadilan dalam berbagai bentuk, termasuk di antara minoritas seperti kami dengan mayoritas seperti Anda, dibiarkan atau bahkan dilembagakan? Mohon kami diberi kejelasan tentang makna Indonesia bagi Anda supaya kita tahu di manakah kita berdiri saat membicarakan masa depan Tanah Air seperti hari ini kita lakukan."
Bahasanya tertata. Isinya menohok. Pertanyaannya tajam menghunjam. Cakupan persoalan yang diangkatnya sangat mendasar. Sebuah pertanyaan yang bukan cuma penting tapi juga genting.
Sayangnya saya lupa nama pendeta itu. Tentu, seperti biasa dalam setiap diskusi saya sebetulnya punya kertas catatan yang menerakan di atasnya nama penanya, isi pertanyaan dan coretan-cepat arah jawaban saya. Tapi entah di mana kertas-kertas catatan dari peristiwa diskusi yang sudah cukup lama lewat itu.
Yang saya ingat benar adalah peristiwanya -- diskusi itu.
Pdt. DR. John Chr. Ruhulessin, Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) mengundang saya menjadi pembicara kunci dalam pertemuan tahunan Sinode GPM 2011 di sebuah Gereja di Ambon, Maluku. Saya satu forum dengan dua pembicara lain: Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe, (Ketua Persekutuan Gereja-Gereja se-Indonesia atau PGI periode 1994-1999 dan 2004-2009) dan Wakil Menteri Perindustrian waktu itu, sang Putera Maluku, Alex Retraubun.
Kami bertiga mengisi acara pembukaan dari perhelatan besar itu. Kami diminta berbicara kurang lebih tentang "Agama, kebhinekaan, kebangsaan dan masa depan kita".
Yang hadir dalam acara tahunan terbesar Sinode GPM itu adalah para wali gereja dan pendeta se-provinsi Maluku dan Maluku Utara. Ruang pertemuan penuh sesak. Saya tak sempat menghitung jumlah persis hadirin, tapi jelas jumlahnya ratusan.
Saya sudah lupa redaksi kata per kata dan kalimat per kalimat jawaban saya untuk sang pendeta itu. Tapi saya tak mungkin lupa substansi jawaban saya. Sebab, yang saya sampaikan adalah apa yang saya yakini sejak lama, hasil pencarian identitas diri sejak saya dilahirkan pada 13 November 1967 di sebuah kampung bernama Babakan, di kecamatan Cibarusah, di pelosok Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Berikut ini adalah kurang lebih jawaban saya untuk pertanyaan bernas dan bermutu sang pendeta itu.
Bagi saya, pertama-tama dan terutama, Indonesia itu bukan tempat atau lokasi. Indonesia juga tidak ditandai oleh simbol-simbol semacam bendera, lambang negara, atau pemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paspor. Bagi saya, Indonesia adalah sebuah komitmen.
Indonesia adalah komitmen untuk hidup berdampingan dan menyatu dalam keragaman. Indonesia adalah komitmen untuk saling toleran pada beragam bentuk perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan atau agama yang amat mendasar. Indonesia adalah komitmen untuk mengakui bahwa kebenaran bisa dimiliki siapapun -- bukan hanya milik "kami" tapi bisa juga dimiliki "mereka"; bahwa kebenaran menyebar di antara "kita".
Indonesia adalah komitmen untuk saling hormat dan jaga. Mayoritas menghormati dan menjaga minoritas. Minoritas melakukan yang sebalinya. Indonesia adalah komitmen bahwa di atas banyak keragaman yang kita miliki kita dipersatukan oleh kesamaan posisi dan peranan kita dalam peradaban dunia yakni sebagai manusia.
Indonesia adalah komitmen untuk berjalan bergenggaman tangan menjemput cita-cita agung bersama sebagai sebuah bangsa. Sebuah cita-cita untuk membangun bersama kemanusiaan yang berketuhanan, keragaman yang mempersatukan, demokasi atau prinsip kerakyatan yang menyejahterakan, dan kemajuan yang berkeadilan.
Identitas Indonesia kita tidaklah ditandai dengan pemilikan KTP atau paspor. Kecintaan kita pada Indonesia tidaklah ditandai dengan prosesi mencium bendera atau mengikuti upacara bendera secara berkala. Kesiapan kita ber-Indonesia tidak ditandai dengan janji-janji manis dari mulut seperti yang sering kita dengar dari atau podium atau panggung tempat berpidato.
Identitas Indonesia kita ditandai oleh seberapa jauh kita mampu menjaga komitmen-komitmen tadi. Kecintaan kita pada Indonesia ditandai oleh keikhlasan kita untuk terus menerus hidup rukun "sauyunan" di tengah perbedaan dan kemajemukan. Kesiapan kita ber-Indonesia ditandai dengan kesigapan kita untuk menjaga dan menegakkan prinsip keadilan bagi semua.
Karena itu, Indonesia absen pada mereka yang membangun kesenjangan, diskriminasi dan ketidakdilan atau bahkan yang sekadar membiarkannya. Indonesia absen pada siapapun yang mempraktekkan pemaksaan apalagi penindasaan dari kalangan mayoritas kepada kaum minoritas. Indonesia binasa pada orang atau pihak yang dengan pongah menggunakan kekuasaan atau pengaruh yang ia miliki untuk menyakiti orang atau pihak lain dalam hubungan sebagai pelaku dan korban.
Menghadirkan Indonesia adalah memelihara komitmen untuk tetap majemuk dalam kesatuan dan persatuan. Menghadirkan Indonesia adalah menjaga penghormatan atas sesama serta penghormatan lintas-kelompok dan golongan. Menghadirkan Indonesia adalah menjaga keselamatan bersama di tengah keragaman kepentingan.
Maka, bagi Muslim seperti saya, ber-Indonesia sesungguhnya bisa dirumuskan dalam satu kalimat sederhana: Berkomitmen pada Islam sebagai berkah atau rahmat bagi sekalian alam, bagi semesta -- rahmatan lil 'alamin.
*) Eep Saefulloh Fatah adalah pemikir, budayawan, yang juga konsultan politik.
Advertisement