Warga Jatim Bahagia, tapi Keluarga Tak Harmonis
Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh artis Vena Melinda menjadi gunung es kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Indonesia. Dalam banyak kasus, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berbuntut laporan polisi menjadi awal perceraian dalam rumah tangga. Namun, apakah kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi faktor paling dominan dalam kasus perceraian di Indonesia.
KDRT Bukan Faktor Dominan Penyebab Perceraian di Jatim
Jika memotret kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian perkawinan di Jawa Timur, ternyata bukan menjadi faktor yang dominan. Faktor yang dominan penyebab kasus perceraian di Jawa Timur justru perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Asumsinya, dalam rumah tangga terjadi konflik tanpa diikuti oleh kekerasan.
Indeks kebahagiaan tak berkorelasi dalam kasus perceraian
Uniknya, berdasarkan, penelitian yang dilakukan oleh Ghina Salsabila dan Abdur Rofi dari Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada yang dimuat dalam jurnal.ipb.ac.id, yang dipublikasikan Januari 2022, (https://bit.ly/3CILENM) menyebut jika angka perceraian terjadi di Jawa Timur tak berkorelasi dengan indeks kebahagiaan di Jawa Timur.
Data yang diambil adalah berdasarkan data indeks kebahagiaan Jawa Timur dari tahun 2014 hingga 2017. Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 ini menyebut terjadi peningkatan indeks kebahagiaan di Jawa Timur dari angka 68,7 menjadi 70,77 persen. Indeks kebahagiaan ini bahkan lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yaitu 70,69 persen.
Keharmonisan di Jatim Rendah
Namun demikian, jika dilihat lebih dalam di salah satu komponen penyusun indeks kebahagiaan yakni pada sub dimensi keharmonisan keluarga, Jawa Timur masih berada di bawah rata-rata nasional yaitu 79,42 persen dibandingkan 80,05 persen (BPS, 2019).
Data tahun-tahun sebelumnya juga menyebutkan fenomena yang sama. Data dari Komisi Nasional Perempuan menyebutkan bahwa angka perceraian di Jawa Timur pada tahun 2016 paling tinggi disebabkan oleh ketidakharmonisan sebanyak 21.599 kasus, kemudian diikuti oleh faktor ekonomi sebanyak 20.989 kasus, dan tidak ada tanggung jawab sebanyak 17.975 kasus.
"Informasi tersebut turut mendukung bahwa keharmonisan keluarga di Jawa Timur masih cukup rendah," ujar Ghina Salsabila dan Abdur Rofi dari Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, seperti dikutip dalam laporan penelitian itu.
Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor sosial ekonomi yang memiliki hubungan signifikan dengan tingkat perceraian di Jawa Timur. Faktor sosial ekonomi yang dimaksud adalah rata-rata lama sekolah dan persentase penduduk miskin.
Perceraian memiliki hubungan positif dengan rata-rata lama sekolah dan hubungan negatif dengan persentase penduduk miskin. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin makmur masyarakat di suatu wilayah, semakin besar tingkat perceraiannya.
"Berdasarkan temuan ini, peneliti merekomendasikan cara mengurangi tingkat perceraian di Jawa Timur yang dilakukan tidak hanya dengan memperbaiki tingkat pendidikan dan kemakmuran penduduk, tetapi juga memperbaiki kualitas pendidikan dan mendorong dekonsentrasi pendidikan dan kemakmuran," ujar mereka.