Indeks Demokrasi Kian Merosot Imbas Cawe-cawe Pemerintah
Indeks demokrasi Indonesia turun 3 peringkat dari tahun sebelumnya, yakni menjadi 6.44. Aspek 'kultur politik' dan 'kebebasan civil' mendapat skor terendah. Skor kultur politik di Indonesia hanya 5.00 dan kebebasan sipil hanya 5.29.
Demikian terungkap dalam kegiatan Workshop 'Kebijakan Publik dan Demokrasi' pada Sabtu, 22 Maret 2025. Workshop ini diselenggarakan selama dua hari di Sekretariat AJI Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Indonesia Corruption Watch (ICW) Indonesia.
Pada hari pertama, hadir Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, dan Peneliti di Institute of Social Studies, University of Tartu Estonia Muhammad Okky Ibrohim sebagai narasumber.
Titi mengungkapkan pada 2024, indeks demokrasi Indonesia turun 3 peringkat dari tahun sebelumnya, yakni menjadi 6.44. Aspek 'kultur politik' dan 'kebebasan civil' mendapat skor terendah. Skor kultur politik di Indonesia hanya 5.00 dan kebebasan sipil hanya 5.29.
Indikator demokrasi
Titi menyebut ada anomali yang terjadi di 2024. Biasanya, tahun-tahun Pemilu indeks demokrasi biasanya naik. Sebab, pemilu merupakan salah satu indikator demokrasi berjalan secara prosedural. Namun, pada 2024, hal itu tak berlaku. Padahal, di tahun tersebut Indonesia tetap menyelenggarakan Pemilu.
Titi menilai ini dipengaruhi oleh implementasi Pemilu yang suram. Hal ini ditandai dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023 tentang aturan syarat usia minimal presiden dan wakil presiden.
Putusan ini mengantarkan anaknya Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi), yaitu Gibran Rakabuming Raka menjadi Wapres RI terpilih, mendampingi Prabowo Subianto.
"Pemilu 2024 menjadi anomali, malah membuat turun indeks demokrasi. Ini ga terlepas dari Politik dinasti dan politisasi aturan/pengadilan," kata Titi.
Pengajar Hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) itu menambahkan malpraktik Pemilu di Indonesia ini bukan hanya lewat manipulasi aturan, melainkan juga manipulasi pemilih dan perolehan suara.
Manipulasi pemilih dilakukan sengan cara mengintimidasi, memengaruhi pemilih dengan uang dan atau bantuan sosial, politisasi aparatur, serta menyebarkan disinformasi.
Titi berpendapat permasalahan terbesar dalam Pemilu adalah cawe-cawe kekuasaan. Menurut Titi malpraktik Pemilu itu semuanya dilakukan untuk mempertahankan status quo orang-orang elit.
"Pemilu jadi kesempatan untuk memperkuat pemusatan kekuasaan," ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti juga menyoroti kemerosotan indeks demokrasi Indonesia. Salah satunya, berkaitan dengan kebebasan sipil. Mulai dari kebebasan berpendapat, hingga beragama dan berkeyakinan.
Bivitri menjelaskan semua kebebasan tersebut merupakan hak setiap orang. Dengan status Republik, negara wajib memberikan hak tersebut untuk seluruh warganya.
"Hak itu harus dipenuhi, dihormati dan dilindungi. Haknya, hak semua orang. Yang bertugas memenuhi, menghormati dan melindungi adalah negara," ucap dia.
Sementara itu, peneliti di Institute of Social Studies University of Tartu Estonia Muhammad Okky Ibrohim menggarisbawahi hubungan AI dan tugas jurnalis dalam meliput isu ujaran kebencian (hate speech).
Berdasarkan hasil penelitiannya, dia mengelompokkan ujaran kebencian bisa menyangkut agama, kepercayaan, ras, suku dan etnis. Selain itu, ujaran kebencian juga bisa menyangkut ejekan fisik, gender dan orientasi seksual.
Adapun tingkatannya dibagi menjadi tiga level. Pertama, level ringan. Biasanya berupa makian yang berfokus pada individu. Kedua, level sedang. Biasanya ujaran kebencian pada level ini sudah mengarah ke konflik hingga pertengkaran di media sosial. Ketiga, level berat, yaitu sudah terdapat provokasi.
Okky mengatakan jurnalis bisa memanfaatkan Open AI untuk mengecek atau memastikan kalimat yang ditulis apakah mengandung ujaran kebencian atau tidak. Ini penting, mengingat peran jurnalis sangat penting menyangkut itu tersebut.
Pasalnya, kata Okky, dampak ujaran kebencian tak main-main. "Ujaran kebencian bisa jadi diskriminasi, bisa meningkat konflik sosial. Kemudian, bisa menyebabkan kerugian materiil dan mengancam nyawa. Level parahnya adalah genosida," jelas dia.
Workshop ini diikuti oleh puluhan jurnalis dan akan dilanjutkan pada Minggu, 23 Maret 2025 pukul 10.00 WIB. Pada hari kedua, akan hadir Aktivis Hak-Hak Perempuan dan ahli politik Siti Musdah Mulia dan perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai narasumber.
Advertisement