Indahnya ‘Salju’ di Bromo Tanpa Wisatawan
Seperti pertengahan tahun 2019 lalu, fenomena alam berupa embun beku (frozen dew) tahun ini kembali terjadi di kawasan Laut Pasir (Kaldera) Gunung Bromo sejak beberapa hari lalu. Disayangkan keindahan alam tersebut tanpa disaksikan wisatawan akibat pandemi Covid-19.
“Seperti tahun lalu, Kaldera Gunung Bromo mirip hamparan salju di Eropa, hanya saja tidak wisatawan yang datang karena wisata Bromo masih ditutup hingga kini karena Covid-19,” ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Probolinggo, Digdoyo P. Djamaludin, Senin, 27 Juli 2020 malam.
Yoyok, panggilan akrab Digdoyo P. Djamaludin menambahkan, pelaku wisata di kawasan Gunung Bromo “tiarap” sejak sekitar lima bulan lalu. Dimulai pemberlakukan program Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS), Car Free Month (CFM), 23 Januari-25 Februari 2020.
CFM atau Bromo Bebas Ranmor mengakibatkan tingkat kunjungan wisatawan anjlok selama sebulan. “Disambung Hari Raya Nyepi, kemudian diteruskan pandemi Covid-19 hingga sekarang, terhitung sekitar lima bulan pelaku wisata istirahat panjang,” katanya.
Kembali ke fenomena “salju” di Bromo, Yoyok mengatakan akibat cuaca dingin yang terjadi sejak Kamis lalu, 23 Juli 2020. “Sejak Kamis lalu, mulai pukul 22.00 udara sangat dingin antara 2-4 derajat Celcius. Bahkan pada pukul 03.00-04.00 sampai minus 2 derajat Celcius,” katanya.
Embun beku yang di kalangan warga Tengger di sebut “mbun upas” itu mencair pada sekitar pukul 07.00. “Sekarang kalau siang, sinar matahari terasa terik, sehingga pada pukul 07.00 embun beku sudah mulai mencair. Sebaliknya kalau malam, dinginnya luar biasa,” kata Yoyok.
Selain berupa hamparan “salju”, embun beku juga menempel di dedaunan, bentuknya mirip kristal-kristal putih. Sebagian remaja di Bromo mengabadikan (memotret) kristal embun di dedaunan dan di Kaldera Bromo.
Pemilik Hotel Yoschi di Desa Wonokerto, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo menambahkan, cuaca dingin itu membuat warga di lereng Gunung Bromo ramai-ramai mencari kayu bakar dan arang untuk membuat perapian.
“Sejak beberapa hari ini kayu bakar dan arang laring manis diburu warga untuk ‘gegenen’, menghangatkan badan,” kata Yoyok.
Hal senada diungkapkan Supoyo, sesepuh Tengger di Kabupaten Probolinggo. “Memang akhir Juli hingga Agustus kemarau panjang, cuaca sangat dingin di Bromo,” katanya.
Warga Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura itu mengatakan, pada puncak musim dingin, warga Tengger biasa membuat perapian setiap hari terutama di malam hari. Hal itu untuk menepis hawa dingin sekaligus sebagai wahana ngobrol bersama mengelilingi pagenen.
“Setiap malam, tungku atau pagenen biasa dikerubuti anggota keluarga, juga kerabat lain. Ngobrol bersama sambil ngopi bareng,” kata anggota DPRD Kabupaten Probolinggo itu.
Disinggung kapan objek wisata Gunung Bromo dibuka sehingga wisatawan bisa menyaksikan “salju” di Bromo, Supoyo mengatakan, agar wisatawan bersabar. “Gunung Bromo, bahkan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru belum dibuka, tunggu saja, masih dipersiapkan pihak Taman Nasional dan empat kabupaten di sekitarnya,” katanya.
Advertisement