Batik Ecoprint, Kerajinan Sampingan di Kala Pandemi
Salah satu hobi yang bisa dicoba di tengah pandemi covid-19 adalah membatik ecoprint. Batik ini ramah lingkungan lantaran terbuat dari bahan-bahan alami. Proses pembuatannya cukup mudah dan tidak memerlukan biaya mahal.
Di Jombang, hobi ini sudah menjadi penghilang penat dan stres di saat pandemi corona. Sayyidah J Rodliyah, guru mata pelajaran Kimia di salah satu sekolah menengah atas di Jombang merintis batik eciprint ini sejak pertengahan Maret 2020.
Ia tertarik dengan batik ecoprint sebagai eksplorasi keingintahuan akan warna. Bak sekali mendayung dua pulau terlampaui, perempuan yang akrab disapa Ida atau Say itu juga menggunakannya sebagai media pembelajaran.
“Saya memang tertarik mengungkap misteri warna dengan percobaan sendiri. Selain itu bisa digunakan sebagai media pembelajaran dan menyalurkan hobi. Hasilnya subhanallah cantik sekali,” kata Say kepada Ngopibareng.id pada Kamis 18 Juni 2020.
Sebenarnya keinginan untuk bereksperimen dengan warna alami dari tumbuhan sudah terpendam sejak lama. Namun, lantaran kesibukannya sebagai pendidik, Say baru memiliki waktu semenjak sekolah ditutup lantaran wabah.
Ibu tiga anak itu terinspirasi dari pembatik paruh baya asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengetahui ratusan jenis warna dari akar pun daun.
“Saya sebenarnya sudah sejak dulu ingin mengeksplor warna tetapi baru kesampaian sejak adanya covid-19. Sang menginspirasi saya perempuan tua asal NTT yang hafal ratusan warna dari akar tumbuhan dan daunnya,” katanya.
Proses Membatik Dua Hari
Di ruang berukuran 3 meter yang dulunya digunakan sebagai garasi disulap menjadi ruang berkarya. Di atas keramik berwarna oren itu tersedia alas plastik berukuran dua meter dan di atasnya tersaji kain katun berwarna putih.
Katun ini sudah direndam selama semalam untuk menghilangkan zat kimia dari pabrik. Fungsinya agar serat dan pori-pori kain terbuka, sehingga mudah untuk dibentuk batik.
Kain ini nantinya digunakan Say sebagai medium untuk meletakkan daun-daun yang ingin dibentuk.
Sebelum digunakan daun lebih dulu direndam selama kurang lebih satu jam di air dengan tingkat power of hydrogen (PH) yang berbeda. Tujuannya agar warna yang dihasilkan daun tajam.
Sementara itu, jika menginginkan warna cerah, daun direndam di larutan cuka berPH asam. Sedangkan, untuk warna gelap atau tua dibutuhkan air kapur yang memiliki PH basa. Daun yang sudah direndam lalu ditata sesuai keinginan.
“Saya biasanya setiap akhir pekan membatiknya. Ini masih dalam tahap belajar, biasanya naruh daun-daunnya sesuka hati saya” katanya.
Daun tersebut diletakkan di atas kain, kemudian di atasnya terdapat satu lapisan kain sifon sebagai cermin. Daun yang sudah ditata lalu dipukul secara perlahan menggunakan martil kayu hingga struktur daun terlihat jelas. Daun dipukul (pounding) satu per satu secara manual.
Setelah itu, kain digulung bersamaan dengan daunnya dan dibungkus kertas. Kain tersebut dijemur dibawah terik matahari selama dua hingga tiga hari. Terakhir, kertas gulungan tersebut dibuka dan dipisahkan dari daun. Batik Ecoprint pun jadi. Jika ingin memberi pewarna, kain bisa dicelupkan air rebusan secang dan daun jambu atau teh hingga tiga kali pencelupan.
“Prosesnya dua sampai tiga hari, saya menggunakan teknik yang di angin anginkan. Selain itu, dari hasil pukulan martil, warna yang dihasilkan lebih pekat, tekstur detail daunnya juga terbentuk jelas. Kalau mau nambah warga lagi pakai air rebusan secang atau teh,” ujarnya.
Peluang Bisnis
Setelah mencoba pertama kali dan hasilnya berhasil, Say selalu tertantang dan menjadi semangat untuk menghasilkan lebih banyak kain batik ecoprint. Meskipun belum diniatkan untuk dijual, hingga saat ini ada delapan kain batik dengan bermacam ukuran yang telah dihasilkannya. Pengetahuan ini diperolehnya dari membaca literatur penemuan dosen di IPB dan beberapa tutorial di Youtube.
Saat melakukan proses dari awal hingga akhir, Say mengaku sangat bersuka cita. Meskipun tenaganya cukup tersita. Ibu asli Jombang itu bisa mengekspresikan dirinya melalui seni batik ecoprint. Selain itu membatik bisa menghilangkan rasa penatnya.
“Walau capek tapi saya sangat senang, hasilnya bagus sekali. Rasa bosan dan capek karena aktivitas rutinitas pun sirna,” katanya.
Kendati masih belajar, ke depannya Say berencana mengembangkan dirinya untuk membuka bisnis batik ecoprint. Menyadari kekurangannya, dia bersiap mempelajari ilmu yang harus dikuasainya sebelum terjun menjadikan batik ecoprint sebagai ladang penghasilannya.
“Berkah covid, sekarang ini kan masih untuk seni dan kegemaran saja. Tapi ke depannya mau dibuat bisnis meskipun harus belajar lagi banyak hal. Saya sudah niatan arahnya ke situ memang,” katanya.
Advertisement