Incar Pos Basah, Polisi ‘’Kapal Keruk’’ Rajin Setor ke Atasan
Mabes Polri di Trunojoyo, Blok M, Jakarta Selatan, pada, 25 Juni 2013 geger. Berembus kabar di telinga wartawan yang ngepos di Polri, demi jabatan strategis dua perwira menengah (pamen) Polri ditangkap tim penyidik Tindak Pidana Korupsi Bareskim Polri.
Saat diamankan keduanya membawa uang cash Rp 200 juta yang diduga akan digunakan sebagai pelicin kepada oknum pejabat di Mabes Polri. Kedua pamen ditangkap di lift Gedung Utama Mabes Polri, atau gedung sisi barat persis di seberang Lapangan Bhayangkara.
Kabar penangkapan dua pamen itu sengaja dibocorkan internal Polri yang gerah atas praktik lacung yang terus terjadi di tubuh Polri. Ironisnya, praktik tercela itu seolah diamini sebagai hal wajar dan cenderung berpola tahu sama tahu.
Kadiv Humas Polri, saat itu, Irjen Ronny F Sompie membenarkan penangkapan dua pamen tadi bernama AKBP ES, anggota Polda Jateng dan Kompol JAP anggota Biro SDM Polda Metrojaya . Ternyata keduanya ditangkap Jumat, 21 Juni 2013. Kedua pamen tadi pernah sama sama berdinas di Polres Karangnganyar, Jateng.
Petugas Dit Tipikor Bareskim Polri saat itu curiga gerak gerik dua pamen yang datang sebagai tamu di Mabes Polri. ES membawa tas hitam mencurigakan. Sebelum masuk lift, petugas minta ES membuka koper. Alamak! Ternyata tas berisi dua bundel uang cash Rp 200 juta dalam pecahan Rp 100 ribu. ES berkelit saat ditanya kegunaan uang itu.
Intinya uang tadi dicegah diserahkan siapa pun. Kalau mau bisa menunggu uang tadi diserahkan kepada pelaku lalu ditangkap. Kalau itu terjadi banyak pihak yang terseret. Karena dicegah kasus ini belum berkategori tindak pidana. Baik pidana suap, gratifikasi, atau pun korupsi.
Belakangan ES diganjar hukuman disiplin, gagal naik pangkat jadi Komisaris Besar (Kombes) setingkat Kolonel. Sedangkan JAP yang menemani ES dimutasi dari SDM Polda Metro Jaya. Uang Rp 200 juta dikembalikan kepada ES. Kini AKBP ES masih berdinas di Polda Jateng, sedangkan JAP di Polda Metro Jaya. ‘’Dosa’’ keduanya diampuni.
Padahal kuat dugaan uang ratusan juta itu hendak disetor ke oknum petingi Polri agar memberikan antensi khusus kepada si pemberi uang yang mengincar pangkat dan posisi tertentu. Meski itu dibantah.
Pelaku suap di lingkungan polisi tak hanya menyuap untuk kenaikan pangkat dan jabatan basah, budaya setor juga ditempuh mereka yang ingin lolos agar bisa sekolah sebagai pembinaan karier. Baik untuk bisa sekolah di SIP, Sespimmen (Sekolah dan Staf Pimpinan Menengah) atau pun Sespimti (Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi) .
Suap juga dilakukan orang yang berminat jadi polisi. Akibatnya, proses rekrutmen pun dijadikan ladang mengeruk uang sejumlah oknum polisi nakal. Buktinya, Maret 2017 lalu ada delapan orang termasuk perwira menengah (pamen) Polda Sumatra Selatan (Sumsel) diperiksa Provost. Mereka diduga menikmati uang sogok Rp 4, 7 miliar saat rekrutmen bintara Polri 2016 di lingkungan Polda Sumsel.
Dugaan pelanggaran disiplin awalnya terungkap dari hasil penyelidikan Propam Mabes Polri. Suap menyuap di lingkungan Polda Sumsel terungkap sebulan sebelum jelang rekrutmen Polri yang digelar April 2017.
Penangkapan dua pamen yang membawa Rp 200 juta di Mabes Polri yang diduga akan disetorkan ke oknum petinggi Polri maupun kasus sogok dalam rekrutmen bintara di lingkungan Polda Sumsel senilai Rp 4,7 miliar ibarat kasus basi.Modus itu sudah lama dan sama sama diketahui di internal polisi. Celakanya praktik culas kerap dimaklumi sebagai hal lumrah.
Jauh hari, tepatnya 2004 Budi Mulyanto yang berstatus mahasiswa PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) sudah membuka borok penyimpangan di lingkungan SDM POlri.
Dia meneliti rekrutmen penerimaan bintara di Polda Meto Jaya dalam skripsi berjudul ‘’Penerimaan Bintara Polisi pada Polda Metro Jaya’’ sebagai syarat lulus dari PTIK.
Mahasiswa PTIK angkatan 39- A ini menulis. ‘’Ada kerja sama antara pendaftar dengan petugas polisi sehingga menimbulkan asas timbal balik. Keluarga calon siswa memberikan sejumlah uang kepada petugas polisi. Besarnya bervariatif, ’’
Budi menemukan ada kasus dimana korbannya (sekaligus pelaku penyuap) mengaku setor Rp 35 juta kepada oknum polisi. Lalu ada kasus lain dimana korban menyertor Rp 42 juta. Macam macam besarnya uang yang disetor.
‘’Si Ibu itu memohon kepada saya, tolonglah Pak dibantu. Tolong lah Pak dibantu.. kasihan anak saya. Dari dulu pinginnya jadi polisi. Berapa pun yang dibutuhkan saya bisa bayar kok, asalkan anak saya jadi polisi,’ tulis Budi mengutip informannya yang merupakan polisi bintara di lingkungan Polda Metro Jaya.
Rekan Budi di PTIK juga menulis suap di internal polisi yang ingin mendapatkan promosi pangkat dan jabatan strategis.
Skripsi Budi dkk sebenarnya sudah bocor ke media. Itu membuat gerah Mabes Polri pada 2004 silam. Hanya saja kisah anyir itu menguap begitu saja setelah muncul beberapa hari di media.
Tentu saja Kapolri saat itu Jendral Polisi Dai Bachtiar serta jajaranya membantah. Meski praktik culas ini berakibat rusaknya organisasi Polri. Tapi sepertinya kurang ada pembenahan serius.
Kombes (pur) Bambang Widodo Umar pernah menulis artikel soal suap di lingkungan polisi. Judulnya ‘Polisi, Korupsi, dan Kekuasaan (Kompas.com 2/07/2013). Bambang juga mengutip skripsi mahasiwa PTIK Angkatan 39-A yang melakukan penelitian tentang gejala korupsi di lingkungan Polri.
Hasilnya, menunjukkan , ada korelasi antara korupsi dan kekuasaan dalam satu jabatan. Saat hendak diwawancarai penulis buku ini, Bambang yang kini mengajar di Universitas Indonesia mengaku tak menyimpan hasil penelitian mahasiswa PTIK tahun 2013 silam.
Praktik uang semir untuk ngeplot jabatan yang dikehendaki oleh oknum polisi--tentu melebihi profil gaji bulanan itu tentu didapatkan dengan cara illegal atau melanggar hukum. Seperti pungli, main kasus 86.
Berdasar Peraturan Pemerintah (PP) No 32 tahun 2015, seorang anggota polisi berpangkat paling rendah (tamtama berpangkat Bhayangkara Dua) memperoleh gaji pokok Rp 1.565. 200/ per bulan.
Dan yang tertinggi , jendral bintang empat (Kapolri) bergaji pokok Rp 5.646.100 per bulan. Tapi belum termasuk tunjangan dan remunerasi. Jika dengan tunjangan dan remunerasi take home pay bisa sekitar 3-4 kali gaji pokok.
Bandingkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2017 untuk Pemprov DKI Jakarta mencapai Rp 3.355.750/bulan
Sementara berdasar PP No 73 tahun 2010, tunjangan kinerja (remunerasi) paling rendah di Polri sebesar Rp 553.000/bulan untuk grading I (tamtama) dan tertinggi sebesar Rp 21.305.000/bulan untuk pejabat eselon IA atau bintang empat.
Gaji cupet, pas dan kecil ini lah tantangan terbesar Asisten SDM Polri Irjen Arief Sulistyanto untuk membenahi internal agar seorang polisi tidak tergoda melakukan korupsi dan pungli.
Bagaimana berharap polisi bekerja maksimal jika anaknya sakit, atau perlu biaya sekolah. Kondisi ini tentu menggoda anggota mencari tambahan pendapatan dengan berbagai cara. Termasuk mempermainkan hukum dengan alasan paling halus diskresi sampai memeras dan pungli.
‘’Hanya kita harus berfikir kembali, kalau kurangnya gaji sebagai alasan curang, sebagai excuse, maka saya yakin masalah tidak pernah selesai. Kita harus melihat kemampuan negara memberikan gaji kepada kita. Kalau negara hanya mampu memberi gaji seperti saat ini, lalu apa itu menjadi alasan pemaaf untuk melakukan korupsi, penyimpangan, yang akhirnya mengorbankan profesional kita?’’ tanya Arief beretorika.
Kembali ke praktik uang semir untuk mengeplot jabatan, ngerinya uang semir yang disetor harus disesuaikan jabatan yang diinginkan. Istilahnya ada ‘’daftar menunya’’ alias daftar harganya. Ada harga, ada rupa.
Ujungnya hal ini menjadi lingkaran setan. Uang lebih berbicara daripada prestasi dan sistem merit. Para perwira idealis, potensial, dan berprestasi kerap tersisih karena tak punya koneksi, akses, dhuwit. Atau tak mau setor ke makelar jabatan. Ujung ujungnya mereka yang idealis bisa frustasi.
Soal sistem merit pernah disentil Asisten SDM Polri Arief Sulistyanto, ‘’Sistem pembinaan kita itu harusnya berdasar merit sistem tapi ada yang kepleset system married. Dia anaknya siapa? Dia menantunya siapa?. Itu yang menentukan.’’
Akibat jangka panjang, praktik culas di tubuh Polri berdampak pada demoralisai semangat kerja dan menggangu soliditas di tubuh Polri. Praktik ini menciptakan api dalam sekam. Polisi yang idealis bisa apatis karena kalah langkah dengan rekannya yang bersaing secara tidak fair tadi.
Disisi lain mereka yang menghalalkan segala cara tentu tidak akan berhenti menjadi model polisi ‘’kapal keruk’’ atau ‘’lencang kanan lencang kiri’’ atau sibuk mencari setoran di jabatan baru. Maka, bukan barang aneh kalau pada masa itu (sebelum Irjen Arief menjabat Asisten SDM Polri) yang bisa mendapatkan promosi umumnya mereka yang selama ini memang sudah duduk di pos basah.
Sudah menjadi masalah klasik di tubuh Polri, jika anak buah ‘’tidak peduli ‘’ dengan atasan maka peluang mereka untuk sekolah, naik pangkat, atau dimutasi ke pos strategis akan sirna, minimal meredup.
Padahal yang punya sangu untuk disetor ke pejabat lingkungan SDM, atau pejabat yang lebih atas tentu hanya mereka yang selama ini sudah di pos basah. Misalnya, fungsi Lantas, Reserse, atau SDM yang memang bersentuhan dengan pelayanan masyarakat.
Sehingga segalanya bisa dicairkan jadi uang. Baik dengan modus peras atau damai alias 86. Bukan mereka yang duduk di staf , di markas, atau di pasukan seperti Brimob yang relatif kering.
Makanya jangan heran, setiap terbit mutasi telegram kerap terdengar gerutuan karena yang muncul hanya nama nama itu itu saja. Padahal, prestasi mereka biasa saja. Tapi, nama mereka terus dipromosikan setiap muncul mutasi telegram.
Saat naik jabatan atau pangkat di pos baru juga basah itu, polisi golongan ini tentu cenderung ‘main main’ lagi supaya balik modal lagi. Akibat praktik ini lah sampai sampai ada istilah di SDM POlri itu pembinaan karier bukan berdasarkan best of the best melainkan berdasarkan manajemen jendela. Maksudnya, hanya mereka yang ‘terlihat’ karena sering menghadap atasan (baca setor) yang mendapat promosi. Ini jelas mencederai kaderisasai di tubuh POlri.
Praktik culas ini menciptakan iklim saling curiga diantara sesama anggota polisi. Soliditas internal gampang koyak karena saling menggunting dalam lipatan. Padahal, pasti ada diantara mereka yang mendapat promosi sebagaian benar benar murni prestasi, tidak setor. Golongan polisi yang pintar, idealis, atau sekedar ikut arus tapi anti sogok yang jumlahnya banyak tentu risih. Sebab, bila dapat promosi bisa terkena stigma polisi ‘’kapal keruk’’ tadi.
Seorang mantan Asisten SDM Polri yang diwawancarai penulis buku ini Januari 2018 membenarkan adanya praktik kotor tersebut. ‘’ Mohon maaf. Bukannya meremehkan tapi yang gitu gitu itu sudah lama terjadi. Bukan barang baru lagi. Tapi, memang susah untuk membabat habis. Pada masa Pak Arief harus bisa lebih tegas dibabat karena Pak Kapolri juga komit.
Jadi, itu lebih enak. Seharusnya Pak Arief lebih bisa banyak berbuat dan jangan sampai bisa ditembus. Sekali bisa ditembus ya susah kalau mau percaya lagi,’’ katanya yang meminta namanya tidak disebut. Penulis buku ini juga berupaya melakukan wawancara dengan mantan asisten SDM Polri lainnya, tapi umumnya mereka tidak merespon.
Sistem kotor dan korup di lingkungan Polri yang sudah membudaya ini lah yang hendak ditebas Asisten Polri Irjen Arief Sulistyadi yang selama ini dikenal bersih dan tak pandang bulu. Bahkan Arief sudah menciptakan, mengawasi sistem bebas suap setahun lalu di lingkungan SDM Polri sejak dirinya diangkat menjadi Asisten Polri bulan Februari 2017 lalu. (Bahari/bersambung)