In Memoriam Titah Rahayu: Pemimpin Redaksi Sederhana dan Ulet
Oleh Djoko Pitono
“Selamat jalan Jeng Titah Sri Rahayu, kembali pulang ke haribawaan Allah SWT. Kita pernah monorehkan sejarah sastra Jawa ketika bersama Khrisna Miharja, Y Sarwono Suprapto, Christanto P. Raharjo, A.A. Nugroho membangun Komunitas Roro Jonggrang di Terban, Taman, Jogjakarta (13 Juni 1982),” kata Prof Dr. Andrik Purwasito, Guru Besar UNS Solo.
Kata-kata professor itu ditulis di akun Facebook begitu mendengar teman lamanya Titah Rahayu, pengarang sastra Jawa dan Pemimpin Redaksi Majalah Jaya Baya, meninggal dunia Senin malam, 13 April 2020.
Prof Andrik pun melanjutkan: “Bersama dengan Pak Tamsir AS, Mas Tiwik, membangun Sanggar Triwida, merintis OPSJ dan Anda terakhir Titah melanjutkan cita-cita Mbak Toti, menjadi Pemimpin Redaksi di Majalah Jawa, Jaya Baya. Saya menjadi koresponden untuk Jogjakarta. Semua pasti tercatat. Semoga ada saja yang sedia melanjutkan. Semoga di sorgaNYA Anda menemukan kedamaian abadi. Amin2 YRA (Kusertakan kebersamaan tahun 1982 yang masih tercatat di buku harianku).”
Beberapa waktu sebelumnya Senin, Titah Rahayu, 57 tahun, dikabarkan meninggal dunia karena sakit infeksi pembuluh darah.
“Kalau mau takziyah monggo. Ini bukan karena (virus) Corona, tapi infeksi pembuluh darah yang menuju langsung ke otak, “ kata suami Titah, Bambang Edi Santoso, mantan wartawan Surabaya Post.
Informasi meninggalnya Titah Rahayu segera menimbulkan rasa duka mendalam di kalangan teman-teman almarhumah. Terutama di kalangan media, para pengarang sastra dan budaya Jawa. Apalagi tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya.
“Masya Allah Mbak Titah, Allah yarham. Kulo ndherek sungkawa. Mugi Mbak Titah kondur kasedan jati sumare wonten ngarsanipun Gusti Allah SWT,” kata Sunudyantoro, redaktur senior Majalah Tempo, yang juga pelahap karya-karya sastra Jawa.
Pemimpin Umum dan Direktur Jaya Baya, Sudirman, juga kaget ketika mendapat informasi meninggalnya Titah. Dia pun langsung meluncur ke rumah almarhumah di kawasan Balongsari, Tandes, Surabaya untuk takziyah.
“Ibu Titah itu potret seorang ibu yang ulet dan tekun. Kalau waktunya deadline, Bu Titah pulang hingga larut malam,” kata mantan wartawan senior Jawa Pos tersebut. “Meski selalu kerja keras dan banyak karyanya, namanya terkenal, tapi tidak banyak omong. Beliau memang pendiam,” tambah Sudirman.
Pakar sastra Jawa, Dr Suharmono, juga terkejut atas kabar tersebut. “Sebulan lalu ketika saya ke kantor Jaya Baya, ia bercerita bahwa di Trenggalek, dekat daerah kebun kopi yang mewarnai guritannya, ia ikut kakek dan neneknya. Sedang orangtuanya tinggal di Kediri,” kata Suharmono, yang dihubungi Selasa pagi.
Menurut Suharmono, yang juga dikenal sebagai pengarang sastra Jawa dan dosen FBS Universitas Negeri Surabaya, semenjak kemunculan Titah Rahayu di sastra Jawa, banyak yang berharap ia bisa menjadi penerus pengarang wanita selepas Lesmaniasita. “Pada saat masih mahasiswa di Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), itulah puncak produktivitasnya. Oleh karena itu, ia dulu banyak beraktivitas di Jogja,” kata Suharmono.
Kreatif Sejak Muda
Titah Rahayu, anak pertama dari empat bersaudara ini, adalah putri dari pasangan Soekidjo (Trenggalek) dan Muliah Dwi Purwanti (Mojokerto).
Dalam buku Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa Modern (Balai Bahasa Yogyakarta, 2004), disebutkan, penulis perempuan yang sering menggunakan nama samaran Ayu, Anggie Melati, atau Estri Sekar Pratiwi ini lahir di Mojokerto pada 19 September 1963. Titah memiliki tiga saudara, yaitu Nanang Pribadi, Titah Wahyunani, dan Fajar Rahmanto.
Pendidikan formal yang telah ditempuh Titah: TK (1967 –1968) dan SD (1968 – 1974) di Kediri,SMP (1975 –1977), SMA IPA (1978 – 1981) di Trenggalek, dan FMIPA Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1981--1986).
Titah Rahayu dinikahi Bambang Edi Santosa pada 1989 dan dikaruniai dua putra, yaitu Pandu Gilas Anarkhi dan Pandu Bagus Pramudita. Sejak tinggal di Surabaya ia membantu majalah Jaya Baya dan mengelola rubrik sastra bersama Yunani.
Keseriusannya dalam dunia pendidikan dibuktikan dengan diraihnya gelar Pelajar Teladan I Tingkat Kabupaten Trenggalek saat duduk di bangku SMA. Aktif menulis sejak dipercaya mengasuh majalah dinding di SMA.
“Cerita tentang Mbak Titah memang menarik. Sejak masih SMA, misalnya, tulissan-tulisannya sudah menggegerkan sekolah. Dan tulisan-tulisannya sangat khas, Nggalek banget,” kata Basuki Widodo,” pengarang sastra Jawa terkemuka dan Redpel Jaya Baya.
Aktivitas tersebut terus berlanjut sampai saat ia kuliah di UGM. Meskipun jurusan yang ditekuninya tidak berkaitan dengan sastra Jawa, Titah ternyata setia menggeluti dunia sastra Jawa.
“Bersama Andrik Poerwasito (sekarang profesor, dosen UNS), J. Suprapto, J. Sarwono dari Trenggalek, Khrisna Miharja, Christanto P. Raharjo, dan A.A. Nugroho, ia mendirikan Sanggar Sastra Rara Jonggrang dan mengelola buletin berbahasa Jawa, Rara Jonggrang.
Mereka yang kenal baik dengan Titah mengamati, ia mampu menulis berkat kebiasaannya membaca sejak kecil. Kebetulan bacaan yang tersedia di rumahnya adalah majalah berbahasa Jawa. Tulisan pertama terbit di majalah Jaya Baya dalam rubrik remaja “Karang Taruna” dan tanpa diberi imbalan. Bakatnya semakin berkembang karena ia kemudian bergabung dengan Sanggar Triwida.
Dalam perkembangan proses kreatifnya, ia mencoba pula menulis dalam media massa berbahasa Indonesia. Karangan Titah telah tersebar di berbagai media, seperti Jaya Baya, Parikesit,Panjebar Semangat, Liberty, Suara Karya, Surabaya Post, Mingguan Guni, Anita Cemerlang, Panasea, Kuncup, dan Taruna pada kurun waktu 1978 hingga 1993.
Karya-karyanya yang telah dibukukan, antara lain, Kembang Cengkeh (Pusat Kesenian Jawa Tengah, 1982) dan Wong Lanang Aran Ghafar dalam antologi Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS,2001), Dheweke Layar dalam Drona Gugat (Parade Seni WR Supratman, 1995), Kliwat Tengah Wengi, Epitaf I, dan Epitaf II (Taman Budaya Jawa Timur), dan Pakansi , Ing Terminal Jombang, serta Wawan Rembug dalam Negeri Bayang-Bayang (Festival Seni Surabaya, 1996).
Selamat jalan Mbak Titah Rahayu.
* Djoko Pitono, veteran jurnalis dan editor buku.
Advertisement