In memoriam Djaduk Ferianto; Jadikan Jazz Musik Ummat
Tulisan Nadia Makhya Azhari ini menggambarkan bagaimana almarhum Djaduk Ferianto membumikan jazz. Juga bagaimana generasi baru dibuat terkesan dengan karya-karyanya.
AKU memang bukan anak penikmat seni hardcore yang paham betul arti sebuah goresan kuas warna-warni di sebuah kanvas kosong.
Tapi aku cukup bisa menikmati seni karena aku memiliki kesempatan mengenal seniman seniman kawakan di lingkaran pertemanan ayah dan ibuku.
Kemarin pagi, aku terbangun dengan kabar duka dari group Whatsapp keluarga. 'Djaduk Ferianto meninggal dunia, selamat jalan,Bung!'
Terduduk aku dari baringku pagi ini, secepat kilat mencari informasi dari jejaring sosial.
Postingan 'Sugeng tindak, Djaduk' bertebaran di mana-mana. Cerita-cerita kenangan, pertemuan terakhir, obrolan terakhir, dan pentas terakhir mewarnai linimasa.
Mata berkaca, otak mencoba mengingat waktu waktu yang dihabiskan dengan sosok seniman keren ini.
Makan kambing ngisor talok di Bantul.
Waktu itu hujan membasahi sebagian Jogja, aku mengantar ayah bertemu dengan teman-teman. Salah satunya Om Djaduk. Tadinya aku gelisah karena momen seperti ini akan memakan waktu cukup lama, karena pikiranku ada di tempat lain.
Tapi kegelisahan sirna saat Om Djaduk mengajakku masuk dalam pembicaraan yang bahkan tidak aku pahami. Hingga akhir pembicaraan, aku dengan seksama menyimak dan ikut bersenda gurau, terlarut dalam candaan.
Sejak saat itu, aku tidak pernah ragu lagi ketika diajak untuk sowan Om Djaduk di Jogja. Pasti menyenangkan dan aku pasti bisa dapat banyak insight tentang dunia kesenian. Juga belajar bagaimana sebuah karya seni dihasilkan hanya dari obrolan obrolan ngisor talok atau di angkringan.
Tidak hanya sekali aku berjumpa dan menonton Om Djaduk ketika pentas. Tinggal di Jogja selama 6 tahun membuatku bebas dan gratis menikmati karya-karya seniman kawakan sekelas Djaduk Ferianto dan Butet Kertaradjasa.
Teater atau pertunjukan musik keduanya selalu membuatku merinding dan standing ovation.
Perlu dicatat, aku bukan anak penikmat seni hardcore, beberapa karya seni bahkan aku tidak mengerti maksudnya apa. Tapi, menonton karya Om Djaduk, bisa membuat hati dan otakku tergerak untuk belajar menikmati seni apapun itu bentuknya. Karya-karyanya memang ajaib.
Sepanjang aku mengenal Almarhum, setahuku beliau juga punya misi untuk membumikan kesenian. Om Djaduk menjadi penggagas dari hajatan jazz yang bisa dinikmati semua lapisan umat. Tidak hanya orang penikmat jazz yang selama ini ada di benak kita semua: orang kelas atas, parlente dan punya akses ke konser-konser jazz mahal.
Di tangan Om Djaduk, Ngayogjazz yang tahun ini sudah ke 13 kalinya, bisa jadi hajatan yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Yogyakarta, bahkan sekarang, kalau jadwal Ngayogjazz sudah keluar, tiket pesawat dan kereta ke Yogya akan sold out dan mahal seketika.
Orang dari luar kota berbondong-bondong ingin menikmati jazz yang dipadukan dengan musik-musik kearifan lokal dan biasanya digelar di desa-desa agak remote di Yogyakarta. Benar-benar ide yang brilian dan berani.
Tak hanya Ngayogjazz, Jazz Gunung yang sudah ke tujuh kalinya per tahun ini, adalah pertunjukan Jazz yang dikemas dengan atmosfer mistis Gunung Bromo. Dingin menusuk hingga ketulang tidak menghalangi penikmat Jazz untuk datang ke gelaran Jazz Gunung. Semakin tahun penikmat bertambah, padahal gelaran diadakan saat Bromo lagi dingin-dinginnya. Sekali lagi, ide ini keluar dari otak brilian sang maestro.
Kini sang maestro dipanggil Tuhan, berpulang ke tempatnya berasal. Meninggalkan kami yang haus akan seni berkualitas, teater dan musik yang bisa dinikmati semua orang, bahkan aku yang bukan benar-benar penikmat seni.
Dari Om Djaduk lah aku belajar bahwa membuka diri untuk memahami seni penting untuk kebutuhan spiritual dan emosi manusia. Dari seni, kita bisa ambil hikmah, bisa refreshing dan keluar sejenak dari rutinitas yang membosankan, bahkan bisa mengasah otak untuk menemukan makna yang terselubung dari sebuah karya seni.
Terima kasih Om Djaduk, tugasmu di dunia mungkin telah usai, tapi semangatmu akan selalu disebarkan di dunia melalui buah pikiran orang-orang yang sudah kau sentuh hatinya dengan karya-karya brilianmu.
Rest in peace.
Jakarta, 13 November 2019
*) Nadia Makhya Azhari adalah alumnus UGM yang kini menjadi pekerja profesional corporate di Jakarta.
Advertisement