Implementasi Salah dalam Menegakkan Konstitusi
Wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diusulkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo. Menyangkut kedudukan MPR dalam negara.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berkesempatan menyampaikan tanggapannya, usai acara peringatan HUT ke-78 RI di Kemenko Polhukam, Jakarta, berikut:
Negara harus memiliki komitmen menegakkan konstitusi. Bila kita tidak punya komitmen menegakkan konstitusi, menjaga ideologi, maka amendemen apa pun seperti yang sudah-sudah, begitu selesai diamendemen dikritik lagi. Selesai diamendemen dikritik lagi.
Wacana amendemen UUD 1945 itu tidak salah. Namun, perlu diingat bagi para politisi dan pimpinan negara bahwa Indonesia telah berkali-kali mengalami perubahan konstitusi. Mulai dari UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949, UUD Sementara 1950, Dekrit Presiden tahun 1959, hingga masa reformasi.
Pada tahun 1999-2002 (masa reformasi) itu kita melakukan amendemen. Jadi sudah amendemen berkali-kali tetapi selalu saja dalam implementasinya sering terjadi penyimpangan.
Bila mau melakukan amandemen harus disadari bahwa sesudah nanti jadi, lalu semua dianggap selesai.
Catatan:
Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengusulkan adanya amendemen UUD 1945 dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu kemarin.
Ada sejumlah aturan yang perlu direvisi melalui amendemen konstitusi. Salah satunya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri, saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu.
Dengan kedudukannya saat ini, MPR tak dapat membuat ketetapan untuk melengkapi kekosongan dalam konstitusi.
Padahal, ada persoalan-persoalan negara yang belum mampu terjawab oleh Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya, apabila terjadi bencana alam yang berskala besar, pemberontakan, peperangan, pandemi, atau keadaan darurat lain yang menyebabkan pemilu tak dapat digelar sebagaimana perintah konstitusi.
Dalam situasi demikian, menurut Bamsoet, tidak ada presiden dan wakil presiden yang terpilih dari produk pemilu. Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum?
“Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?” katanya lagi.
Sebelum konstitusi diubah, MPR dapat menerbitkan ketetapan yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kekosongan konstitusi.
Namun, setelah amendemen UUD 1945, masalah-masalah itu belum ada jalan keluar konstitusionalnya.
Advertisement