Iman dan Akal, Sumber Ilmu Menurut Imam Jafar Shadiq
Pada Jumat, 17 Rabiul Awal 83 H (702), dunia dihiasi oleh kelahiran seorang manusia suci dan penerus risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam (SAW). Pada hari yang bertepatan dengan wiladah Rasulullah Saw ini, lahirlah Imam Jafar Shadiq Radhiyallahu anhu di kota Madinah.
Cucu Rasulullah SAW generasi kelima ini akan menghidupkan dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran murni kakeknya. Hingga usia 12 tahun, Imam Shadiq Radhiyallahu anhu diasuh oleh kakek beliau, Imam Sajjad as, dan kemudian berada di bawah bimbingan ayah beliau, Imam Muhammad Baqir as selama 19 tahun kemudian.
Imam Shadiq Radhiyallahu anhu hidup di masa ketika Dinasti Bani Umayah sedang mengalami kemunduran dan Dinasti Bani Abbasiah mulai merebut kekuasaan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh beliau untuk menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang murni. Selama 34 tahun dari umur beliau, 65 tahun, Imam Shadiq as memikul tanggung jawab besar sebagai Imam dan pemimpin umat.
Periode Imam Shadiq Radhiyallahu anhu merupakan era pemikiran dan munculnya berbagai aliran dan mazhab. Situasi ini telah menyulitkan masyarakat Islam untuk menemukan ajaran-ajaran Islam yang benar dan menyeret mereka kepada jalan sesat. Namun cahaya petunjuk Imam Shadiq Radhiyallahu anhu yang terang benderang telah menyinari sudut-sudut kegelapan pikiran.
Semua mazhab Islam sepakat bahwa beliau adalah pelopor dan terkemuka di berbagai ilmu seperti kalam, fikih, tafsir, akhlak dan berbagai bidang ilmu lainnya. Empat ribu orang dengan semua perbedaan yang mereka miliki, telah menimba ilmu kepada Imam Shadiq Radhiyallahu anhu dan menulis berbagai karya.
Demi Persatuan Islam, alangkah baiknya kita menyinggung pesan-pesan penting dan berharga Imam Shadiq as. Beliau menilai persatuan, konvergensi dan solidaritas di antara umat Islam sebagai prinsip terpenting Islam, terutama di masa beliau ketika berbagai aliran dan keyakinan menyimpang menyebar luas di kalangan masyarakat.
Imam Shadiq Radhiyallahu anhu menyebut kaum Muslimin sebagai saudara satu sama lainnya, dan mereka tidak boleh bersikap saling memusuhi. Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa “Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Seorang Muslim adalah cermin dan panduan Muslim lainnya. Seorang Muslim tidak akan pernah mengkhianati, menipu dan menindas Muslim lainnya, dan tidak berbohong kepadanya serta tidak mengghibahnya.” (Ushul Kafi, Juz 2, Halaman 166).
Imam Shadiq Radhiyallahu anhu selalu berpesan kepada para pengikut Ahlul Bait untuk menjalin hubungan baik dengan para pengikut mazhab lainnya. Perilaku, perbuatan dan perkataan beliau telah menarik perhatian para pemimpin dan para pengikut berbagai mazhab lainnya. Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmu beliau telah menarik perhatian Abu Hanifah dan para pemimpin mazhab Ahlus Sunnah lainnya sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi beliau untuk memanfaatkan kekayaan ilmu cucu Rasulullah SAW ini.
Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi hadir di kelas-kelas Imam Shadiq as selama dua tahun. Terkait hal ini, ia mengatakan, “Kalau bukan karena dua tahun, maka Nu`man (Abu Hanifah) telah celaka.” Malik bin Anas, pemimpin mazhab Maliki mengenai Imam Shadiq as berkata, “Belum ada mata yang melihat dan belum ada telinga yang mendengar serta belum ada manusia yang hadir dalam hati yang lebih baik dari Imam Jafar Shadiq as dari sisi keutamaan, ilmu, ibadah, wara` dan ketakwaannya.”(IbnShahr Ashoob, Manaqib Al Abi Thalib, Juz 3, Hal 372)
Perhatian terhadap ilmu di masa kehidupan Aimmah Ahlul Bait khususnya di masa Imam Shadiq as sangat besar. Beliau hidup di masa yang bertepatan dengan perubahan di bidang ilmu dan budaya. Masuknya berbagai pemikiran dan budaya mencerminkan vitalitas perkembangan ilmu di dunia Islam. Imam Shadiq as yang melanjutkan misi kakeknya, Nabi Muhammad Saw, adalah penggagas aktivitas-aktivitas ilmiah baru.
Dalam pergerakan ilmiahnya, beliau menegaskan pentingnya masalah pemikiran dan penalaran dalam agama dan pengenalan kebenaran dan realitas. Beliau juga mengenalkan alat-alat dan sumber untuk mencapai ilmu pengetahuan.
Imam Shadiq Radhiyallahu anhu berkata, “(dari sahabat-sahabat kami) barang siapa yang tidak berpikir dalam agamanya, maka ia tidak memiliki nilai. Jika salah satu sahabat kita tidak berpikir dan tidak mencari dalam agamanya serta tidak memahami berbagai persoalan dan hukum-hukumnya, maka dia akan membutuhkan orang lain (musuh-musuh kita), dan setiap saat dia membutuhkan mereka, mereka akan mengantarkannya ke jalan yang menyimpang dan sesat, sementara ia sendiri tidak mengetahui dan menyadarinya.” (Ushul Kafi, Juz 1, Halaman 25)
Menurut Imam Jafar Shadiq Radhiyallahu anhu, wahyu adalah salah satu alat dan sumber pengetahuan. Ratusan ayat dalam al-Quran menyinggung wahyu sebagai sumber besar ilmu pengetahuan. Bahkan tidak hanya dalam Al-Quran saja, semua kitab Samawi dan para pengikut agama-agama Samawi memperkenalkan wahyu sebagai sumber terpenting ilmu dan makrifat, sebab wahyu bersumber dari ilmu tak terbatas Allah Swt.
Terkait dengan wahyu yang membantu manusia untuk mengenal kebenaran, Imam Shadiq Radhiyallahu anhu mengatakan, Allah SWT telah menjelaskan segalanya dalam Al-Quran, dan aku bersumpah demi Allah, apa yang dibutuhkan masyarakat telah ada supaya tidak ada orang yang berkata seandainya persoalan tertentu itu benar pasti telah diturunkan dalam Al-Quran.
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Imam Shadiq Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak ada hal yang diperselisihkan oleh dua orang kecuali untuk menyelesaikannya ada dalam Al-Quran, tetapi akal manusia tidak mencapainya.” (Ushul Kafi, Juz 1, Hal. 60).
Salah satu sumber lainnya untuk memperoleh ilmu pengetahuan adalah akal dan kekuatan berpikir manusia. Untuk mencapai sebuah ilmu, manusia membutuhkan proses analisa, dan analisa itu sendiri adalah pekerjaan akal. Akal adalah alat untuk memahami sesuatu hal. Dengan demikian kemajuan masyarakat dan individu tentunya tidak terlepas dari pemanfaatan dari kemampuan akal dan pikiran.
Dalam sirahnya, Imam Shadiq Radhiyallahu anhu meyakini bahwa berpikir memiliki nilai yang sangat tinggi. Oleh karena itu, menurut beliau, perkataan terindah dan paling ekspresif adalah perkataan tentang nilai-nilai akal dan pemikiran. Imam Shadiq as berkata, “Pilar keberadaan manusia adalah akal. Akal adalah petunjuk dan pencerah manusia serta pembuka pintu-pintu ilmu dan kesempurnaan kepada manusia. Manusia akan sempurna di bawah perlindungan akal.” (Ushul Kafi, Juz 2, Hal. 25)
Indera manusia adalah alat dan sumber lain untuk mencapai sebuah pengetahuan. Indera memberikan pemahaman luas tentang alam semesta kepada manusia. Sumber ini memberikan pengetahuan awal dan paling dangkal kepada manusia tentang keberadaan. Jika setiap dari indra ini tidak berfungsi, maka pengetahuan khususnya terkait keberadaan akan hilang. Orang yang kehilangan indrawi-nya maka seakan-akan ia telah kehilangan ilmunya.
Jika seseorang tidak mempunyai mata dan buta sejak lahir, maka ia tidak akan memiliki ilmu pengetahuan dan pemahaman khusus terkait dengan penglihatan. Imam Shadiq Radhiyallahu anhu mengungkapkan bahwa lima indera manusia sebagai sumber pengetahuan, namun lima sumber ini tidak bisa sempurna dalam memberikan ilmu dan informasi kepada manusia kecuali dibarengi dengan petunjuk akal dan bergerak dalam cahaya petunjuk akal.
Ketika menjawab pertanyaan Abu Shakir tentang kelima indera manusia, Imam Jafar Shadiq Radhiyallahu anhu berkata, “Anda mengatakan bahwa lima indera manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, padahal indera-indera ini tanpa petunjuk akal tidak akan memiliki peran dalam pengetahuan manusia, seperti halnya kegelapan yang tidak akan berakhir tanpa cahaya.”(al-Amaali Sheikh Shaduq, hal. 351)
Imam Shadiq Radhiyallahu anhu telah menjelaskan berbagai ilmu tentang Tuhan kepada salah satu muridnya bernama Mufadhal, yang dikenal dengan “Tauhid Mufadhal.” Terkait hal ini, beliau menggunakan metode yang sangat menarik untuk menjelaskan makrifatullah. Menurut beliau, ketidak-pahaman manusia terhadap alam semesta menjadi salah satu faktor munculnya keraguan tentang keberadaan Tuhan. (khadijah alaydrus)