Imam Masjid Ini Habiskan 15 Tahun Hidupnya di Penjara Pasca 9/11
Bagi Yassin M Aref, peringatan 20 tahun serangan 9/11 adalah kenangan menyedihkan. Selama 15 tahun hidupnya dihabiskan di penjara Amerika, gara-gara 9/11.
Aref, 51 tahun, seorang pria Kurdi dan mantan imam masjid di Masjid As-Salam di Albany, ibu kota negara bagian New York, ditangkap pada 2004 atas tuduhan konspirasi yang ditutudhkan oleh FBI dalam operasi penyergapan. Dia dituduh membantu terorisme berdasarkan bukti yang rahasia. Bukan bukti nyata.
Kasusnya menuai kritik dari American Civil Liberties Union dan kritik lainnya terhadap kebijakan kontraterorisme pasca-9/11 di Amerika Serikat.
Aref adalah korban hidup dari Islamofobia dan ujaran kebencian setelah serangan 11 September 2001, yang menewaskan hampir 3.000 orang, yang kemudian digunakan sebagai dalih oleh pemerintahan George W Bush untuk menyerang Afghanistan dan Irak.
Saat dunia memperingati ulang tahun ke-20, tahun ini menjadi unik karena pasukan AS dan koalisi telah ditarik dari Afghanistan dan dijadwalkan meninggalkan Irak pada akhir tahun ini, sebagai akhir dari perang global melawan terorisme.
Aref dideportasi ke wilayah Kurdi di Irak utara pada 2019 setelah pembebasannya. Dia kini tinggal di rumah mungilnya di distrik Chamchamal di daerah Garmian, Provinsi Sulaimaniyah, di wilayah Kurdi di Irak utara. Aref dan istrinya, Zuhur. Sedang empat anak mereka, dua laki-laki dan dua perempuan, belajar di AS.
Pada tanggal 2 Juli lalu dia menerbitkan sebuah buku dalam bahasa Kurdi. Buku tebal lebih dari 1.000 halaman yang bercerita secara rinci saat penangkapannya dan kehidupannya selama di penjara. Son of Mountains adalah versi bahasa Inggris dari memoar yang diterbitkan di AS pada tahun 2008.
“Saya berusia 34 tahun ketika saya ditangkap. Dan pada usia 49 saya meninggalkan penjara. Selama 15 tahun yang saya habiskan di penjara, saya kehilangan semua tujuan hidup saya termasuk menyelesaikan PhD saya dan membangun diri saya secara budaya dan finansial, ”kata Aref kepada wartawan Al Jazeera yang mewawancarainya, di rumahnya.
Aref diangkat sebagai imam Masjid As-Salam setahun setelah kedatangannya di AS. Sebagai seorang imam, ia berpartisipasi dalam beberapa kampanye anti-perang untuk memprotes invasi pimpinan AS ke Irak, negaranya, pada tahun 2003.
"FBI mengarang tuduhan untuk mendakwa saya. Dalam proses pengadilan, tidak ada bukti nyata terhadap saya," kata Aref. “Intelijen Amerika tidak dapat menangkap saya karena pandangan politik atau kegiatan sipil saya, melainkan FBI membuat cerita fiktif untuk menangkap saya atas tuduhan konspirasi.”
Pada bulan Juni 2003, militer Amerika menemukan nama Yassin M Aref, alamat Masjid Albany, dan nomor telepon di buku catatan yang ditulis dalam bahasa Kurdi saat menyerang sebuah kamp musuh di Rawah, Irak. Itu membuat FBI menjadikannya sebagai target.
"FBI awalnya mengklaim bahwa pada buku catatan itu tertulis kata 'komandan' di sebelah nama saya. Tetapi saya menyangkalnya. Dan ketika seorang hakim meminta pemerintah untuk memberikan halaman buku catatan itu, FBI mengakui bahwa ada kesalahan terjemahan," kata Aref.
“Padahal kata yang dimaksud itu adalah ‘kak’, yang berarti saudara dan digunakan sebagai istilah umum untuk menghormati, dalam bahasa Kurdi. Jadi bukan kata ‘komandan’,” tambahnya.
Aref mengatakan pemerintahan Bush memperkuat kasusnya untuk keuntungan politik ketika Wakil Jaksa Agung James B Comey dalam konferensi pers di Washington, DC mengumumkan penangkapannya dengan mengatakan, "Kami mendapat ikan besar."
Aref mengatakan, FBI meyakinkan seorang informan yang menghadapi hukuman penjara yang lama dan deportasi karena penipuan, untuk mendekatinya melalui temannya, Mohammed Mosharref Hossain, warga negara AS yang berasal dari Bangladesh dan pemilik toko pizza di Albany.
Informan yang akrab disapa Malik itu diam-diam merekam percakapannya dengan Aref dan Mohammed Mosharref Hossain. Dalam percakapan tersebut, Malik menawarkan untuk meminjamkan 50.000 Dolar AS kepada Mohammed Mosharref Hossain dan menyuruhnya untuk mencuci uang itu yang disebutkan hasil dari penjualan rudal yang ditembakkan dari bahu.
Juri di Pengadilan Distrik AS di Albany memutuskan Aref dan Mohammed Mosharref Hossain bersalah pada tahun 2006 atas pencucian uang dan mendukung terorisme, dengan hukuman 15 tahun penjara bagi keduanya.
“Saya tidak tahu tentang terorisme atau teroris atau penembakan atau pengeboman. Saya tahu berapa pon tepung yang saya gunakan untuk membuat pizza,” kata Mohammed Mosharref Hossain kepada hakim setelah dia dijatuhi hukuman.
Little Gitmo
Aref menghabiskan hampir dua setengah tahun di sel isolasi, dan beberapa tahun di fasilitas keamanan maksimum di Terre Haute, Indiana, yang dijuluki "Little Gitmo".
“Di Terre Haute, saya telah mengalami penyiksaan psikologis. Dan ini bertentangan dengan hukum AS. Karena terlalu jauh, keluarga dan anak-anak saya hampir tidak bisa mengunjungi saya. Bahkan kunjungan keluarga adalah siksaan bagi saya,” kata Aref.
“Saya tidak diizinkan untuk memeluk atau mencium anak-anak saya. Kami boleh menerima panggilan telepon di kedua sisi jendela plastik tebal. Mereka menggunakan setiap teknik untuk membuatmu pingsan secara psikologis.”
Aref mengatakan dia berharap bukti yang dikatakan "rahasia" yang digunakan oleh FBI, akan dirilis di beberapa tempat sehingga dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
“Ketidakadilan yang saya derita di AS menghapus pandangan saya tentang Amerika Serikat sebagai tempat demokrasi dan hak asasi manusia,” katanya.
“Sejak 9/11, AS terus mundur dalam hal mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, dan AS telah menjadi bangkrut secara moral. Saya menjadi korban kebijakan yang salah oleh Bush dan perasaan Islamofobia setelah 11 September,” tambah Aref.
Pengacara Aref, Kathy Manley, juga mengatakan tidak ada bukti serius yang memberatkannya. “Yassin Aref jelas menjadi korban Islamofobia pasca-9/11. Dia dihukum karena ketakutan umum terhadap Muslim dan karena hakim mengatakan kepada juri, FBI punya alasan bagus untuk menargetkannya,” kata Kathy Manley, juga kepada Al Jazeera.
“Tuduhan-tuduhan hanya didasarkan pada bukti rahasia yang tidak boleh kami lihat, dan kemudian diketahui bahwa itu salah. Kasusnya sangat terkenal dan digunakan oleh pemerintahan Bush dalam berbagai cara. Kasus-kasus ini cenderung digunakan untuk tujuan politik, ”katanya.
Ben Friedman, direktur kebijakan Prioritas Pertahanan yang berbasis di Washington, DC, mengatakan “Islamofobia AS tumbuh pesat setelah 11 September. Dan itu tetap pada tingkat tinggi sebagai hasil dari upaya para politisi, terutama Trump, untuk menggunakan ketakutan itu untuk menjadikan Muslim sebagai ancaman dan memenangkan dukungan untuk perang, pembatasan imigrasi, dan kebijakan lainnya,” kata Ben Friedman.
Hebatnya, Aref mengatakan dia tidak marah pada AS meskipun dia mengalami cobaan berat. “Sejak kedatangan saya kembali ke wilayah Kurdistan, Irak, saya telah menjadi pembela AS,” katanya. “Saya percaya bahwa sampai batas tertentu masih ada Islamofobia di AS. Tetapi tidak diragukan lagi dibandingkan dengan waktu penangkapan saya, situasinya berubah dan lingkungan di Amerika sana sekarang jauh lebih baik,” kata Yassin M Aref. (Dana Taib Menmy/Al Jazeera)