Imam Ghazali: Pendidikan Akhlak adalah Jiwa yang Mantap
Faktanya di Indonesia atau di negara-negara lain krisis moral terjadi di berbagai lini mulai dari anak-anak, dewasa bahkan orang tua. Mulai orang yang berpendidikan rendah sampai orang yang berpendidikan tinggi. Memang zaman tidak bisa dilawan.
Kemajuan teknologi yang menyebabkan berbagai perubahan kebiasaan nampaknya mulai terasa efeknya. Semua orang mendapatkan informasi dengan mudah akan tetapi informasi tersebut tidak lantas disaring sesuai dengan tuntutan norma.
Entah siapa yang harus disalahkan. Begitu pun hendaknya pemerintah mengambil tindakan yang tepat agar krisis moral atau akhlak di Indonesia ini dapat teratasi.
Pendidikan di Indonesia harusnya lebih menekankan pada pendidikan akhlak meninjau kenyataan ataupun tantangan yang ada di era moderen ini.
Pendidikan akhlak kebanyakan ditekankan pada lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan saja, karena memang tujuan puncak
dari agama adalah terciptanya akhlak yang baik. Meskipun begitu setiap lembaga pendidikan Islam pun tidak semuanya maksimal dalam
mendidik akhlak peserta didiknya.
"Seharusnya lembaga pendidikan umum pun juga harus memperhatikan tentang pentingnya pendidikan akhlak agar krisis akhlak yang terjadi di negeri ini dapat teratasi," tutur Muhammad Rifqi Munif, dari IAIN Salatiga.
Dimensi afektif yang dipaparkan Imam al-Ghazali merupakan sebuah pemikiran yang berlandaskan hadits Nabi Muhammad SAW:
Dari Nu'man bin Basyir dia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa menghindar dari yang samar maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Barang siapa jatuh dalam hal yang samar maka dia terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada di dekat pagar milik orang lain dikhawatirkan dia masuk kedalamnya. Ketahuilah setiap raja memiliki pagar (aturan). Aturan-aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika dia baik
maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati. (H.R. Bukhari dan Muslim) (Bukhari, t.t. :21).
Pekerti atau akhlak, menurut Imam al-Ghazali bukanlah pengetahuan tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi'l), yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap, sebagaimana dijelaskan Quasem.
Menurut Imam al-Ghazali perlu adanya media diantara pengetahuan dan pengamalan agar berbuah menjadi tindakan yang sesuai dengan tuntutan syariat.
Menurut al-Ghazali “Akhlak berarti suatu kemantapan jiwa yang mengahasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sedemikian. Sehingga menghasilkan amal-amal yang baik-yaitu amal yang terpuji menurut akal dan syariat- maka disebut dengan akhlak yang baik. Jika amal-amal yang tercelalah yang muncul dari keadaan kemantapan itu, maka dinamakan akhlak yang buruk”.
Menurut Imam al-Ghazali perubahan dan peningkatan akhlak akan nyata sepanjang ia melalui usaha dan latihan moral yang sesuai. Menurut alGhazali fungsi agama yang utama ialah membimbing manusia memperindah akhlak.
Advertisement