Imam Al-Qusyairi, Ar-Risalah: Penjaga Kemurnian Tauhid
Oleh: Ady Amar
Ar-Risalah, nama kitabnya. Tentu bukan satu-satunya karya yang ditulisnya. Namun tidak dipungkiri, kitab ar-Risalah adalah karya monumentalnya, yang dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam kajian tasawuf.
Dialah Imam Al-Qusyairi An-Naisaburi, nama penulisnya. Dan nama kitab itu kemudian disandingkan dengan namanya, Risalah Qusyairiyah.
Al-Qusyairi, dilahirkan di Ustwa, Nisapur (Nisabur/Naisabur) pada tahun 376 H/986 M, dan wafat pada tahun 465 H/1073 M. Wafat dalam usia 87 tahun.
Al-Qusyairi, yatim sejak kanak-kanak. Ayahnya sudah dipanggil-Nya sebelum ia bisa mengenal ayahnya dengan baik. Karenanya, oleh keluarganya, ia dititipkan pada ulama yang dekat hubungan dengan keluarganya, Abul Qasim al-Yamany, yang mengajarkan bahasa Arab dan sastra. Setelah itu, al-Qusyairi berguru pada ulama-ulama Nisapur lainnya.
Saat itu Nisapur merupakan kota keilmuan dan budaya terpenting. Maka di kota itu berkumpul guru-guru terkenal, semisal Abu Bakr Muhammad ath-Thusi, al-Baqillani, dan lainnya. Pada merekalah al-Qusyairi belajar ilmu fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa (lughoh), dan ilmu-ilmu lahiriah lainnya.
Lalu perjalanan selanjutnya, al-Qusyairi kepelincut pada majelis yang diasuh oleh Abu Ali al-Hasan ad-Daqqaq, seorang ulama Nisapur terkemuka. Tidak saja itu, ad-Daqqaq disebut pula sebagai ulama yang luas dan dalam ilmunya, pun akhlaknya terpuji. Ia merupakan imam panutan pada zamannya.
Sejak itu al-Qusyairi memutuskan berguru pada ad-Daqqaq. Ia merasakan pengajaran yang lain, yang belum didapatnya dari guru-guru sebelumnya.
Ad-Daqqaq banyak bicara tentang jiwa, kotoran-kotoran yang menyelimutinya, dan metode penyucian jiwa, juga tentang intuisi, dan masalah-masalah berkenaan dengan ruhaniah.
Al-Qusyairi lalu menjadi cakap dalam ilmu pada bidang lahiriah, yang ia dapatkan dari guru-guru sebelumnya, dan ilmu batiniah/ruhaniah, yang ia dapatkan dari ad-Daqqaq.
Dalam kitab Risalah al-Qusyairiah, Imam al-Qusyairi mengatakan, bahwa majelis ad-Daqqaq lah yang mengubah perjalanannya semula menuju perjalanan spiritual (tasawuf).
Bahkan, al-Qusyairi menyebut dengan satu sebutan, yang mengisyaratkan bahwa perjalanan sufistiknya bersama gurunya, itu sebagai awal perjalanan spiritualnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan tasawuf.
Al-Qusyairi menjadi murid kesayangan ad-Daqqaq, dan lalu dinikahkan dengan anak perempuannya, Fatimah.
Jadilah al-Qusyairi bukan saja sebagai murid, tapi juga menantu dari gurunya, ad-Daqqaq. Dan pada usia tiga puluh tahun, al-Qusyairi mulai mengajar dua kali sepekan di masjid di mana sang guru ad-Daqqaq biasa memberikan pengajian. Bahkan jika ad-Daqqaq berhalangan, maka al-Qusyairi lah yang lalu menggantikannya.
Ar-Risalah, Penjaga Kemurnian Tauhid
Jika saja kalangan sufi sebelumnya mengenal kitab al-Luma', karya Abu Nashr as-Sarraj, dan at-Ta'aruf, karya al-Kalabadzi, yang berbicara tentang para "penyusup" busuk yang masuk ke dunia Tasawuf, dan itu menyebabkan citranya menjadi buruk.
Maka, Risalah Qusyairiah dianggap sebagai kitab yang mempertahankan kemurnian tauhid, akidah yang benar, yang bersandar pada hukum-hukum syariat. Menurut al-Qusyairi, itu syarat mutlak memasuki tasawuf.
Risalah Qusyairiah sekaligus menepis anggapan sebagian orang, yang secara buruk menuduh, bahwa tasawuf ajaran yang penuh dengan bid'ah, khurafat dan bahkan syirik.
Imam al-Qusyairi menyatakan, bahwa tasawuf seharusnya bertumpu pada al-Qur'an dan Sunnah, serta memegang teguh akidah dan syariat.
Kitab Risalah Qusyairiah, ini menjadi menarik, disebabkan penguasaan penulisnya pada ilmu-ilmu penunjang, ilmu lahiriah atau rasional: fiqh, ushul fiqh, sejarah, sastra, dan tentu tafsir dan hadis.
Kitab ar-Risalah ditulis saat Imam al-Qusyairi berusia 61 tahun. Usia yang dianggap matang, baik secara intelektual dan emosional sekaligus.
Tidak itu saja, kitab ar-Risalah juga memuat ajaran psikologi dan pendidikan. Itu bisa dilihat saat al-Qusyairi membahas tentang definisi jiwa, mimpi, dan hubungannya dengan kesadaran alam bawah sadar.
Juga bagaimana saat Imam al-Qusyairi mengungkap dasar-dasar pendidikan dan nasihat-nasihatnya pada para muridnya. Nasihat dengan lembut dan dengan bahasa sejuk, yang menggugah perasaan. Inilah yang disebut bangunan dasar psikologi komunikasi antara guru dan murid.
Ujian yang Menimpa Imam Al-Qusyairi
Imam al-Qusyairi disebut sebagai Mahaguru, karena popularitas dan majelisnya yang dipenuhi para jamaah, yang dahaga akan ilmu ruhaniah.
Dan itu menyebabkan kedengkian kalangan mutakallimin Mu'tazilah pada Imam al-Qusyairi. Kalangan ulama Mu'tazilah yang saat itu dekat dengan penguasa Khurasan, mulai melancarkan agitasi dan tuduhan-tuduhan pada al-Qusyairi, sebagai penganut faham sesat. Sultan yang berkuasa saat itu mempercayai tuduhan provokatif jahat itu.
Maka al-Qusyairi dan beberapa ulama Sufi lainnya, ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Inilah ujian terberat yang dialami al-Qusyairi. Sampai pada saatnya, sahabat yang juga sekaligus muridnya membebaskannya.
Maka, Imam al-Qusyairi meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan anak dan istrinya menuju Baghdad. Saat itu Baghdad dipimpin Amirul Mukminin al-Qa'im Bi Amrillah, seorang yang alim, wara' dan zahid. Al-Qa'im menerima kedatangan al-Qusyairi dengan senang, dan memberi privilage berdakwah di masjid-masjid besar di Baghdad.
Di Baghdad itu pula, al-Qusyairi membina majelis Imla' Hadits. Ia mendapat tempat di hati warga Baghdad, sebagaimana disebutkan al-Khatib, sejarawan,
"Ketika Imam al-Qusyairi datang ke Baghdad, kemudian memberi ceramah di sana, kami menulis semua apa yang diutarakannya. Beliau seorang alim, terpercaya, sejuk nasihatnya, dan tajam isyaratnya."
Begitu pula Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy, memujinya, bahwa al-Qusyairi amat indah nasihat-nasihatnya.
"Seandainya batu itu dibelah dengan nasihatnya, pasti batu itu akan meleleh. Seandainya iblis bergabung di majelis pengajiannya, ada kemungkinan iblis lalu bertobat..." (Ibnu Asakir, dalam Tabyiin Kadzil Muftari).
Kemudian... sampailah kabar bahwa kepemimpinan Sultan di Khurasan telah berganti. Aib Arsalan, Sultan yang baru adalah seorang Sunni yang taat dalam beragama dan bijaksana. Aib Arsalan lalu mengembalikan Nisapur sebagai kota pengetahuan dan budaya. Sedang ulama dari kalangan Mu'tazilah disingkirkan dari sekeliling istana.
Imam al-Qusyairi pun akhirnya kembali ke tanah kelahirannya, hidup bersama keluarganya yang sekitar lima belas tahun ia tinggalkan.
Karya-karyanya
Dalam pembukaan kitab ar-Risalah, Imam Qusyairi memulai dengan:
"Zaman di mana para Syekh yang bisa dijadikan guru telah berlalu. Pun para pemuda yang hidup dan aktivitasnya yang bisa dicontoh sudah sulit ditemukan. Sifat wara' hampir sirna, sementara sifat tamak merajalela. Marwah syariat telah hilang dari kalbu, agama tidak lagi menjadi pola hidup, halal dan haram menjadi campur aduk, ibadah wajib tidak lagi dijalankan, dan lomba menuju kemaksiatan dan mengumbar hawa nafsu diperturutkan."
Itulah kegelisahan Imam al-Qusyairi, melihat kondisi yang ada, dan lalu ia meneruskan ungkapannya,
"Aku merasa iba pada kalbu-kalbu itu. Mereka mengira bahwa dosa kehidupan itu dibangun di atas pondasi sesat itu, di mana para pendahulu hidup dengan cara yang ditirunya. Maka, kuhadirkan ar-Risalah ini untuk kalian, agar mendapat kehormatan dari Allah."
Risalah Qusyairiah bukanlah satu-satunya kitab yang ditulis Imam al-Qusyairi. Ada sekitar 29 kitab dan risalah yang ditulisnya. Tidak semua karya yang ditulisnya berkenaan dengan kajian tasawuf, tapi memang lebih banyak karya-karya tasawuf.
Misal, Imam al-Qusyairi juga menulis kitab dalam kajian hadis, al-Arba'in fil Hadits. Juga menulis tafsir, at-Taisir fi 'Ilmit-Tafsir, disebut juga at-Tafsirul Kabir. Menurut Ibnu Khalikan, Tajuddin as-Subky dan Jalaluddin as-Suyuthy, sepakat menyebut tafsir tersebut sebagai salah satu tafsir terbaik.
Nahwul Qulub, karyanya yang lain. Ditulis sebagai cara agar dapat dan mudah mengucapkan perkataan terpuji ( al-Qashdu ila hamid al-Qaul bi al-Qalb). Itulah yang dimaksud dialog manusia dengan Allah (al-Haqq) melalui bahasa kalbu.
Kitab Nahwul Qulub, ini menggabungkan tata bahasa dan tasawuf. Melihat aspek tasawuf dari gramatika Arab. Kitab ini dianggap satu-satunya kitab tasawuf yang membahas tasawuf dari aspek linguistik.
Tapi dari semua karyanya itu, tentu Risalah Qusyairiah yang dianggap paling menonjol, dan merupakan kitab utama di bidang kajian tasawuf.
Imam al-Qusyairi sendiri amat mencintai karyanya ini, dan berniat menerjemahkannya sendiri dalam bahasa Persia, tapi takdir berkata lain. Ia keburu wafat sebelum keinginannya terwujud.
Risalah Qusyairiah, diterbitkan dalam banyak bahasa dunia, Persia, Inggris, Perancis, dan dalam bahasa Arab tentunya. Dalam edisi Indonesia, diterjemahkan dengan begitu indahnya oleh KH. Muhammad Luqman Hakim, dengan judul Risalah Qusyairiah: Induk Ilmu Tasawuf (Penerbit Risalah Gusti).
Dalam khazanah tasawuf, Risalah Qusyairiah, memang dianggap sebagai induk ilmu tasawuf. Karenanya, pemberian anak judul itu bukanlah pemanis sekadarnya, tapi menemui kebenarannya... Wallahu a'lam.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement