Imam Abu Hanifah Membela Perempuan, Kisah Hikmah yang Mendebarkan
(Seorang teman perempuan pernah mendengar dan membaca cerita KH Husein Muhammad di bawah ini. Ia pun memintanya bercerita lagi)
“Engkau tak pernah berhenti menghancurkan moral perempuan dan begitu sibuk ingin membersihkan jiwanya. Alangkah baiknya jika engkau membersihkan dirimu sendiri melalui dia ketimbang melaluimu. Bersihkanlah dirimu melaluinya dan datanglah kepadanya. Serahkan saja padanya segala maumu, meski menurutmu tak mungkin”. (Mawlana Rumi: Fihi Ma Fihi).
Syeikh Abu Zahrah, ulama besar dan terkemuka Al Azhar Kairo, dalam buku biografi Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab fiqh rasionalis, menulis:
"Abu Hanifah masih tetap kritis terhadap pemerintah Dinasti Abasiah dan tetap mencintai keluarga nabi (Ahli Bait). Khalifah Manshur (Abu Ja’far) berusaha mendekati dan memberikan penghormatan padanya. Khalifah acap memberinya hadiah-hadiah besar, tetapi Abu Hanifah selalu menolak dengan sejumlah alasan yang tak melukainya."
Suatu hari, relasi Khalifah dengan isterinya terganggu, saban hari tengkar. Ini gara-gara Khalifah ingin menikahi perempuan lain (poligami). Sang isteri meminta ada orang lain menengahi kasus ini (mediator), dan menyelesaikannya. Khalifah menyambut baik, sambil mengatakan: “Siapa yang akan kamu minta menjadi mediator untuk menyelesaikan persoalan di antara kita ini?”. “ Abu Hanifah”, jawab isterinya. Al-Manshur setuju dan segera mengundangnya ke istana. Abu Hanifah tiba di istana dan disambut dengan penuh penghormatan.
Dialog Menarik
Lalu terjadi dialog antara Al Manshur dan Abu Hanifah.
Al Manshur: Abu Hanifah, ada seorang perempuan merdeka melawanku, tolong anda tengahi soal ini”.
Sang Imam berharap Khalifah melanjutkan persoalannya.
“Berapakah batas seorang laki-laki berhak menikahi perempuan dalam satu waktu?, kata al Manshur
“Empat”.
“Berapa dia boleh menikahi budak perempuan?.
“Terserah, seberapa saja dia mau”.
“Apakah boleh seseorang menentang pandangan anda ini?.
“Tidak”. Tegas Abu Hanifah
Khalifah seolah mendapat dukungan sang Imam itu mengatakan kepada isterinya: “kamu sudah mendengarnya kan?.
Tetapi Abu Hanifah segera melanjutkan: “Itu hanya boleh bagi orang yang bisa berlaku adil, jika tidak atau dimungkinkan tidak bisa, dia hanya boleh satu saja. Tuhan sudah mengatakan:”Jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil, maka satu saja. Seyogyanya kita mengikuti etika Tuhan dan mengambil pengetahuan dari kata-kata-Nya”. Apakah itu bisa?.
Khalifah diam, tak bisa berkata apa-apa, lama sekali. Ia memahami benar, pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, menunjukkan ketidaksetujuannya atas poligami.
Sesudah mengatakan itu, Abu Hanifah segera minta pamit, pulang. Manakala sampai di rumahnya, isteri khalifah al-Manshur mengutus seseorang untuk menemui sang Imam sambil membawakan sejumlah hadiah; uang, pakaian bagus, pembantu perempuan dan kendaraan (himar).
Tetapi Imam Abu Hanifah menolak semuanya, sambil menitipkan salam kepadanya. Kepada utusan tersebut dia bilang: “Aku membela agamaku dan aku melakukannya hanya karena Allah. Aku tidak menghendaki benda-benda itu. Aku melakukannya karena ingin mengikuti aturan Dia dan bukan karena kepentingan duniawi”.(Abu Zahrah, Abu Hanifah; Hayatuhu wa ‘Ashruhu, wa Ara-uhu wa Fiqhuhu, Dar al Fikr al Arabi, Kairo, h. 39).
Demikian catatan KH Husein Muhammad. (28.01.23/HM)
Advertisement