Ilusi Kekaisaran Nusantara?
Polisi pada 5 Mei 2021 menilang mobil nomer polisi SN-45-RSD di jalan toll Cawang karena tanda nomernya aneh dan illegal. Mobil tersebut milik “Kekaisaran Sunda" (KS) yang dideklarasikan pada awal 2020.
“Kekaisaran Sunda" pernah ditindak secara hukum, tetapi ternyata masih eksis. Gerakan serupa dengan nama Kedaton Sejagat Agung (KSA) dideklarasikan di Purworejo Jawa Tengah pada waktu yang hampir bersamaan. KSA juga mengandung frasa yang sama yakni Kekaisaran atau Raja Diraja. Kondisinya tidak jauh berbeda.
Munculnya kembali gerakan yang pernah ditindak secara hukum itu menimbulkan pertanyaan, latar belakang dan motivasinya. Keduanya patut diduga sebagai gerakan sosial kultural yang berbasis mesianik yang percaya akan datangnya Ratu Adil untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Saya menduga di balik gerakan tersebut ada afinitas politik terselubung.
Gerakan politik terselubung pernah terjadi pada era Presiden Soeharto saat Sawito mengaku mendapat wangsit memimpin Nusantara. Gerakan berbau mistik-kultural itu juga menggunakan jargon mesianistik, kedatangan Ratu Adil. Bedanya, gerakan sekarang dibumbui klaim pendanaan internasional untuk menunjukkan seolah olah ada dukungan global.
Persamaan nama, moment deklarasi dan tata protokol upacara deklarasi kedua kekaisaran tersebut menunjukkan adanya kemiripan, sehingga timbul pertanyaan siapa “Arsiteknya“.
Iming iming dana dan elemen budaya datangnya Ratu Adil dan disertai ramalan “Sabda Palon dan Noyo Genggong“: sebagai daya pikat dan justifikasi kultural-historis untuk mendapatkan dukungan publik. Selalu gerakan semacam itu muncul pada saat ada gejala keresahan sosial masyarakat dalam hal ini kerawanan sosial ekonomi sebagai dampak perang dagang dan pandemi Covid-19.
Drama kekaisaran tersebut dalam bahasa pewayangan masih dalam babak “menuju goro-goro“. Terlalu prematur melihat jauh ke depan. Yang jelas, dunia modern dunia Republik, bukan dunia para raja raja. Yang penting juga, kita waspada, sampai terungkap siapa arsiteknya?
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, tinggal di Jakarta.