Ilmuwan ITS Teliti Dampak SRM Geoengineering
Solar Radiation Management (SRM) atau solar geoengineering merupakan ide yang sangat kontroversial dengan melakukan pemantulan terhadap sebagian sinar matahari agar menjauhi bumi, untuk mengurangi risiko perubahan iklim di bumi.
Pada tahap awal penelitian, SRM memiliki potensi sangat membantu atau sangat merusak bagi orang-orang dan spesies yang paling terancam oleh perubahan iklim, serta sangat tidak jelas apa dampaknya.
Oleh sebab itu, beberapa ilmuwan di negara maju di dunia sedang gencar melakukan penelitian terkait SRM Geoengineering. Tak terkecuali salah satu ilmuwan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Heri Kuswanto yang juga melakukan penelitian dampak SRM Geoengineering tersebut.
Ketua Progam Pascasarjana Departemen Statistika ITS ini menjelaskan, jika proyek yang sedang ia kerjakan bertujuan untuk mempelajari dampak dari SRM. Proyek ini akan menyelidiki bagaimana temperatur dan curah hujan akan berubah setelah penerapan SRM di masa yang akan datang.
Dalam penelitian ini, Heri tak sendiri. Tim dari Indonesia yang diketuai Heri tersebut beranggotakan dua dosen muda dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) yang juga alumni ITS dan satu orang peneliti dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
"Tim kami akan mengkaji mengenai Heat Stress Index (Indeks Tekanan Panas), yaitu batas kemampuan makhluk hidup tertentu dalam menerima tekanan akibat daripada cuaca yang panas," jelas Heri, Selasa 18 Desember 2018.
SRM dilakukan dengan cara melakukan blocking terhadap sejumlah sinar matahari untuk mendinginkan bumi, contohnya dengan menyemprotkan partikel-partikel pemantul di atmosfer. Menurut Heri, hal tersebut masih memiliki potensi yang dapat membahayakan.
"Jika ini bisa dilakukan secara aman, teknologi ini akan menjadi cara yang cepat untuk mengurangi beberapa resiko perubahan iklim yang sedang dihadapi dunia ini, di mana dunia sedang berusaha melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca," tuturnya.
Heri mengatakan bahwa ia sangat bangga karena proyek yang dikerjakan timnya ini menjadi proyek penelitian yang pertama di Indonesia. “Masih sedikit sekali pengetahuan mengenai SRM di sini (Indonesia) dan saya berharap kita bisa memulai diskusi yang lebih luas mengenai risiko dan keuntungannya," ungkap pria berkacamata ini.
Penelitian yang dilakukan timnya tersebut, menurut Heri, merupakan satu dari delapan proyek yang dianugerahkan oleh DECIMALS (Developing World Impact Modelling Analysis for SRM) Fund yang dibiayai oleh The World Academy of Science (TWAS) dan UNESCO.
Dijelaskan Heri, ketidakpastian yang besar tentang keuntungan dan kerugian yang bisa ditimbulkan oleh SRM juga berpotensi besar memprovokasi ketegangan internasional. Terutama negara berkembang yang menjadi perbincangan cukup serius terhadap dampak SRM ini.
Mengingat negara-negara berkembang seringkali kurang tangguh terhadap perubahan lingkungan dan sangat rentan terhadap dampak pemanasan global. “Tentunya berarti bahwa mereka (negara berkembang) akan bisa menjadi yang paling beruntung atau justru paling rugi," imbuhnya.
Heri menegaskan bahwa penelitian ini bukan dalam rangka mendukung SRM geoengineering untuk membuktikan secara ilmiah apakah SRM akan berdampak positif atau negatif. "Hal itu nantinya menjadi dasar apakah SRM bisa diaplikasikan ke depannya atau tidak," tutur lulusan doktoral dari Hannover University, Jerman itu.
Dikatakan Heri bahwa grup peneliti dari ITS tidak akan bekerja sendiri. Melalui DECIMALS, mereka akan berdampingan dengan tim dari Argentina, Afrika Selatan, Pantai Gading, Fiji, Bangladesh, Iran dan dengan beberapa ahli SRM dunia lainnya. "Harapannya, hasil karya kami ini bisa dipublikasikan pada akhir tahun 2020 mendatang," pungkasnya. (amm)
Advertisement