Ilmu Sosial: Perspektif Non-Barat
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Sebuah pesan meluncur dalam WAG Dosen Program Doktor Ilmu Adminisrasi (PSDIA), Universitas Jember. Isinya, flyer tawaran PhD scholarship untuk studi ‘non-Western (Islamic) Public Administration and Public value’, dari Tallinn University, Estonia.
Pertanyaan-pun mencuat: ”Apa yang dimaksud dengan non-Western Public Administration?”. Hanya satu respons yang sempat muncul. Itu pun bernada spekulatif: “Mungkin yang dimaksudkannya adalah public administration yang dipraktikkan di negara-negara Asia, Amerika Selatan, Afrika”. Sayangnya, dialog tak berlanjut dengan diskusi. Pertanyaan terhenti sebatas definisi. Akibatnya, pertanyaan hakiki mengapa muncul perspektif ini, terlewat tanpa elaborasi.
Kemunculan perspektif non-mainstream di atas, tak lepas dari proses dekolonisasi yang tidak tuntas. Memang, selama dua dekade setelah Perang Dunia II, lebih sekitar 40 negara di Asia dan Afrika telah memperoleh kemerdekaan. Dalam prosesnya, dekolonisasi tidak seragam. Di beberapa wilayah daerah, dekolonisasi berlangsung mulus dan damai. Sementara di beberapa negara, termasuk di Indonesia, dekolonisasi justru diwarnai dengan revolusi.
Namun, perginya penjajah tak selalu membuat kekuasaannya terjarah. Dengan soft power-nya, penjajah melanjutkan neo-kolonialismenya melalui kontrol budaya. Yang menonjol, berupa hegemoni terhadap pola pikir para intelektual bangsa terjajah. Akibatnya, banyak wacana, konsep, maupun teori yang mereka gunakan; berorientasi Barat (Western-oriented). Salah satu wujudnya adalah penerimaan wacana ‘modernitas’. Tak jarang, hegemoni ini diasosiasikan dengan keyakinan elite bangsa terjajah; bahwa bangsanya tidak akan bertahan jika tidak mengadopsi modernitas.
Tak pelak, sejak 1960-an muncul perspektif alternatif: Postcolonialism. Sudut pandang akademis ini secara kritis menelaah warisan budaya, politik dan ekonomi kolonialisme dan imperialisme. Fokusnya terutama menyingkap dampak dari kontrol dan eksploitasi penjajah terhadap masyarakat terjajah.
Perspektif Postcolonialism tak dapat dipisahkan dari pemikiran Edward Said, akademisi keturunan Palestina dan Professor di Universitas Columbia, New York. Alkisah, tahun 1976 ia diwawancarai jurnal Diacritics, milik Cornell University. Di dalamnya ia mengkritik tajam studi Timur Tengah. Ia melihat bahwa pakar Timur Tengah kala itu didominasi ilmuwan sosial yang berbasis keahlian ‘klise’ (lack of an original thought) tentang masyarakat Arab dan Islam. Alasannya, pemahaman mereka hanya bertumpu pada pengetahuan compang-camping (tatters) yang diwariskan para Orientalis abad ke-19.
Pada saat yang sama, para ilmuwan tersebut justru mengenalkan konsep-konsep baru, seperti ‘modernisasi’, ‘pembangunan’, dan ‘stabilitas’; seakan semua konsep ini memiliki validitas universal. Padahal, secara faktual mereka hanya ‘membentuk tabir asap retoris yang menyembunyikan ketidaktahuan’ tentang permasalahan riil masyarakat Arab dan Islam.
Setidaknya terdapat dua tokoh Postcolonialism dengan referensi negara yang berbeda. Yang pertama adalah Ali Shariati dari Iran. Dalam pandangannya, konsep pribadi manusia dalam relasi sosial global terbagi dua. Pertama, adalah "Human Being", yaitu sosok eurocentric yang merupakan “subyek”. Kedua adalah "The Native", yakni komunitas non-Barat pada umumnya yang berstatus sebagai “obyek”.
Dengan dikotomi vertikal ini, Shariati menegaskan bahwa tragedi modernitas bermula ketika intelektual negara terjajah menerima total gagasan kolonial. Padahal, Westernisasi merupakan narasi utama modernitas yang telah memikat komunitas non-Barat, sekaligus menjauhkannya dari perspektif yang berbeda dalam memandang dunia.
Tokoh yang kedua adalah Syed Hussein Alatas dari Malaysia. Ia memakai istilah “captive mind” (pikiran yang tertawan) untuk menggambarkan ‘pikiran yang tidak kritis dan imitatif karena didominasi sumber eksternal, sehingga dibelokkan dari perspektif pemikiran yang independen’. Captive mind ini marak, akibat ketergantungan yang berlebihan terhadap kontribusi intelektual Barat dalam produksi ilmu pengetahuan.
Namun, berbeda dengan dekolonisasi politik yang cenderung konfrontatif; dekolonisasi intelektual cenderung bersifat dialogis. Teoritisi Postcolonialism, setidaknya kedua tokoh di atas, berpandangan bahwa perlu proses di mana baik suara terjajah dan penjajah perlu didengar dan diberi bobot yang sama.
Pada titik inilah tantangan akademis menghadang intelektual negara terjajah untuk mengkritisi teori dan mengembangkannya, sehingga menjadi kontekstual. Apalagi, dengan flyer tawaran scholarship menunjukkan bahwa intelektual Barat sedang menantinya.
Menjawab tantangan di atas, Shariati menawarkan otentisitas, baik dalam pemikiran dan sikap. Baginya, tak masalah menerima modernitas sejauh tak kehilangan independensi kultural dan politik. Argumennya, permasalahan intelektual penerimaan modernitas adalah 'kesalahpahaman tentang timing' (misperception of social time). Intinya, dua masyarakat yang perkembangannya berbeda tak layak mengadopsi dan diukur dengan konsep yang sama. Jika dipaksakan, konsep tersebut justru akan kehilangan public value-nya.
Konsep governance dan government, dua konsep yang sering digunakan dalam Administrasi Publik dan ilmu Politik, bisa dijadikan contoh. Governance yang menekankan makna ‘to govern’, dengan asumsi manajemen sosial, ekonomi, dan politik perlu memprioritaskan pendekatan bottom up; mungkin baik dan workable di masyarakat Barat. Tapi, bagi masyarakat non-Barat yang plural, segregated, dan rentan akan kekerasan horizontal; governance bisa jadi mempunyai pubic value yang rendah.
Sebaliknya, konsep government yang menekankan ‘to rule’, dengan asumsi bahwa manajemen perlu mengutamakan pendekatan top-down; sangat mungkin mempunyai public value yang lebih tinggi. Alasannya, kerentanan sosial mendorong masyarakat tersebut untuk lebih bertumpu pada ‘government’, demi terjaminnya harmoni dan ketenteraman sosial.
Argumentasi perbandingan dua konsep di atas punya pijakan empiris maupun teoritis. Dari studi empiriknya tentang modernisasi politik di negara-negara berkembang, Samuel Huntington berpostulat bahwa ketertiban politik (political order) merupakan persyaratan esensial bagi demokrasi atau bentuk partisipasi politik lainnya. Argumennya, ‘kita tidak bisa mempunyai kebebasan tanpa adanya ketertiban lebih dahulu!’. Singkatnya, otoritas mendahului kebebasan.
Setidaknya terdapat dua catatan dari elaborasi di atas. Pertama, ilmu sosial bisa membantu kontekstualisasi, bahkan indegenisasi, Administrasi Publik. Kedua, permasalahan pembangunan negara berkembang bukan hanya terletak pada kualitas masyarakatnya, tetapi juga pada karakter intelektualnya. Kata Shariati: “Our basic problem is not the illiteracy of the common people but the half-illiteracy of our intellectuals”. Saya-pun tersentak! Dengan sedikit berpeluh, gejolak menyeruak dalam benak. Jangan-jangan saya termasuk dalam kategori problem utama tersebut. Wallahu’alam ...
*Penulis adalah dosen Hubungan Internasional Universitas Jember