Ilmu Sosial 4.0
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
=========
Ungkapan “yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri”, mungkin sudah menjadi klise. Namun, bagi saya, ungkapan tersebut masih berguna. Setidaknya, sebagai pengingat bahwa perubahan selalu mengepung kita.
Faktanya, sebagai sebuah fenomena, perubahan senantiasa menyentuh kehidupan kita sehari-hari. Wajar, jika secara imperatif, setiap individu, institusi, komunitas, bahkan negara-bangsa (nation-state); perlu mewaspadai dan antisipatif terhadapnya. Jika tidak, kemungkinan terlindas perubahan merupakan keniscayaan.
Perubahan dalam unit yang besar, potensi dampaknya juga luas. Logis. Sebuah sistem, misalnya, selain mengandung banyak elemen, unit-unitnya juga terkait satu sama lain. Negara-bangsa, sebagai contoh, pada dasarnya merupakan amalgama sejumlah elemen seperti ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Perubahan di satu komponen bisa berdampak domino. Runtuhnya Uni-Soviet pada akhir 1980-an merupakan pelajaran. Restrukturisasi ekonomi (perestroika) dan keterbukaan politik (glasnost) yang gegabah, bukan hanya mengakibatkan perubahan pemimpin; tapi juga menggerus fondasi negara, dan kemudian menghantarkannya menuju kehancuran.
Dengan masifnya perubahan: Bagaimana posisi dan peran ilmu sosial?
Dalam sejarahnya, ilmu sosial mempunyai relevansi tinggi dan peran strategis dalam perubahan. Mengingat bahwa setiap teori sosial pada dasarnya merupakan refleksi sistematis dari fenomena, logis jika ilmu sosial secara empiris tidak pernah kebal terhadap perubahan.
Harry Elmer Barnes (1948), menegaskan bahwa ilmu sosial lahir dari rahim revolusi industri abad 18¾suatu transformasi terbesar dalam sejarah umat manusia. Revolusi industri ini tidak hanya merusak fondasi dasar sistem sosial yang ada saat itu, tetapi juga memicu kekacauan sosial. Akibatnya, manusia dipaksa untuk memecahkan permasalahan sosial yang mereka hadapi. Dan, ilmu sosial tampil merenovasi tatanan sosial yang tertinggal.
Mengacu pada anteseden di atas, situasi saat ini kurang lebih identik. Banyak orang menyaksikan perubahan akibat revolusi industri 4.0. Beragam disrupsi telah menghantui kehidupan manusia. Namun, yang mengkhawatirkan, selain tidak sedikit yang masih belum memiliki pemahaman yang memadai terhadap substansinya, banyak juga yang abai terhadap dampak turunannya.
Bahkan, yang memprihatinkan, kurangnya pemahaman sering kali dilengkapi dengan minimnya langkah antisipasi dan lemahnya manajemen strategis terhadap tantangan dan peluangnya.
Secara substantif, revolusi industri 4.0 berbeda dengan revolusi industri sebelumnya. Meskipun teknologi masih merupakan faktor kunci, kecanggihan kualitas dan cakupan dampaknya jauh melampaui.
Terdapat beberapa penggerak revolusi industri keempat, seperti teknologi robot (autonomous robotic technology), cloud computing, augmented reality yang secara virtual membawa objek digital ke dunia nyata (seperti Snapchat dan Pokemon Go), big data analytics, keamanan siber, dan integrasi sistem. Klaus Schwab (2016) menegaskan bahwa "kecepatan terobosan teknologi saat ini tidak memiliki preseden sejarah".
Dibandingkan dengan revolusi industri sebelumnya, revolusi industri 4.0 kali ini "lebih berkembang secara eksponensial daripada kecepatan linier".
Celakanya lagi, rentetan disrupsi tidak berjalan secara kronologis, tapi terjadi secara bersamaan. Hantaman pandemi Covid-19 menambah berkelindannya masalah. Banyak negara ¾ termasuk Indonesia¾pada awalnya gagap dalam penanganan. Bahkan, juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Trial and error dalam kebijakan pun menjadi tak terhindarkan. Disrupsi yang cepat dan serentak ini secara serius telah mengusik sendi-sendi sosial dan kehidupan komunitas global, karena mereka telah mengubah seluruh sistem produksi, manajemen, dan tata kelola pemerintahan.
Tak diragukan, kini, ilmu-ilmu sosial menghadapi tantangan mondial. Tugas imperatifnya tidak lagi terbatas pada penjelasan kritis terhadap fenomena. Tapi, secara moral, juga dituntut untuk mampu mengendalikan dampak sosialnya. Dalam konteks ini, dimensi manusia dan kemanusiaan perlu digarisbawahi.
Manusia harus mengawasi sekaligus mengendalikan perubahan dengan dua alasan: Pertama, secanggih apa pun kecerdasan buatan (artificial intelligence) tetap tidak dapat menggantikan kecerdasan multi-dimensi manusia. Kedua, pada akhirnya, korban utama dari berbagai disrupsi yang terjadi saat ini adalah umat manusia.
Oleh karena itu, ilmu sosial selain perlu bersifat akademis dan visioner, juga dituntut mampu membawa misi emansipatoris. Untuk misi yang terakhir ini, hanya terpaku pada teori-teori mainstream adalah tidak cukup. Perlu penyeimbangan dengan mengadopsi teori-teori non-mainstream.
Data empiris menyentil kita untuk mengundang teori Kritis, termasuk teori Feminisme. Anu Madgavkar dkk (2020), misalnya, mengungkap bahwa pekerjaan perempuan 1,8 kali lebih rentan dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki. Perempuan yang hanya berkontribusi 39% dari total global employment, terpaan pandemi telah memaksa 54% dari mereka kehilangan pekerjaan.
Dengan background ini, ilmu sosial yang dibutuhkan bukanlah sekedar pengetahuan dengan kriteria ‘scientific’, tetapi juga perlu yang menonjolkan unsur “arts”. Walhasil, ilmu sosial yang relevan harus bermakna sosial dan peka terhadap kondisi manusia, seperti melibatkan emosi mereka dan mampu menghayati sesuatu yang dirasakan, termasuk perasaan empati dan kasih sayang.
Pada tataran empiris, secara imperatif, perlu transformasi di bidang-bidang yang membentuk kehidupan kita. Dalam bidang pendidikan, misalnya, sangat mendesak untuk memastikan bahwa pedagogi perlu membekali siswa dengan kualitas dan ketrampilan yang relevan; dilandasi visi yang dikombinasikan dengan pembinaan sikap dan perilaku yang mendukung, serta dilengkapi dengan ¾ meminjam istilah Edward de Bono ¾ lateral thinking.
Secara substantif, kurikulum juga perlu selalu ditinjau ulang; sesuai dengan tantangan yang menghadang. Ilmu hubungan internasional, misalnya, mungkin perlu mengevaluasi kembali teori konflik internasional. Argumennya, seperti yang dikatakan Arik Segal (2017), “pengenalan Big Data menimbulkan dimensi konflik yang jauh lebih besar dan berbahaya".
Di level internasional, kasus Edward Joseph Snowden dan Julian Assange ¾ dengan WikiLeaks-nya ¾ adalah contoh bagaimana pembocoran data dengan alasan ‘moralitas dan kemanusiaan’ justru berhadapan dengan keamanan nasional, dan memicu konflik antar negara. Sementara di level akar rumput (grassroots), maraknya 'berita palsu' (hoax) jelas telah menggerus kepercayaan sosial (social trust) sekaligus memperlebar polarisasi sosial.
Berangkat dari logika di atas, disiplin ilmu sosial lain sepertinya menghadapi tuntutan imperatif yang sama. Sosiologi mungkin perlu juga mengkaji kembali konsep-konsep hubungan sosial, seiring semakin berkelindannya dehumanisasi dalam proses sosial. Sementara ilmu Administrasi Negara, nampaknya perlu untuk memperkuat dimensi public policy-nya.
Berbeda dengan Ilmu Administrasi Negara ‘tradisional’ (old public administration), di mana unit of analysis lebih menekankan pada ‘organisasi’ birokrasi; public policy lebih memfokuskan pada ‘program’ dari birokrasi, serta lebih berorientasi pada problem solving.
Pengembangan konsep tata kelola (governance) yang cepat, bukan hanya mencerminkan langkah progresif tetapi juga menunjukkan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat manusia.
Toh, sejak tahun 1997 United Nations Development Programme (UNDP) juga sudah menegaskan tentang luasnya cakupan tata kelola publik (public governance), yang meliputi “penggunaaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola urusan-urusan negara” (the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affairs).
Dengan ragam dan cepatnya perubahan yang setiap saat siap menikam, diam bukanlah pilihan. Jika dalam pendidikan perubahan kurikulum adalah kebutuhan, kualitas manusia sebagai pembelajar yang cepat dan baik adalah tuntutan. Dalam konteks ini, spesialisasi dengan pendekatan holistik (specialization with a holistic approach) mungkin relevan dalam analisis setiap perubahan. Wallahu’alam …