Ilmu Kunci Membangun Peradaban, Raih Bahagia Dunia-Akhirat
Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DKI Jakarta, KH Mukti Ali Qusyairi, mengatakan, ilmu dianggap sangat penting karena menjadi kunci dalam membangun peradaban dan upaya untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat. Sehingga, ulama menjadi pewaris Nabi karena memang begitu tingginya kedudukan ulama.
Selain itu, kata Kiai Mukti, ada tafsiran lain dari hadis yang menafsirkan dari arti hadis ini. Misalkan dalam satu desa hanya ada satu ulama yang berilmu, dia melakukan kaderisasi, pencerahan, mengaji, mengajar, menuntun, mandampingi masyarakat sehingga banyak sekali manfaat dan berkah untuk satu desa itu.
Menurutnya, jika satu desa itu tidak ada orang yang berilmu, maka kehidupan dalam desa tersebut menjadi gelap, amoral, terjadinya bodoh dan pembodohan serta hidupnya tidak memiliki masa depan karena tidak ada yang berilmu. Ia menambahkan, orang yang memiliki ilmu di dalam Islam memiliki hirarki sosial yang tinggi setelah Nabi.
Ulama Mendampingi Umat
Kiai Mukti juga mengingatkan kepada umat untuk senantiasa menjaga para ulama. Seperti jangan dulu sowan secara langsung dan mengerumuni para ulama, agar beliau tetap sehat, panjang umur, dan bisa terus mendampingi umat.
‘’Jadi konteksnya melindungi dan menjaga para ulama, karena kalau boleh jujur, melahirkan seorang yang berilmu, punya integritas, kepedulian sosial, mendampingi umat (untuk) memberikan pencerahan, memberi pengetahuan umat masyarakat itu kan tidak mudah,’’ kata kiai Mukti.
Dia memaparkan, yang dimaksud alim dalam hadits ini adalah ulama yang betul-betul berilmu, ilmunya diamalkan, punya kepedulian sosial, dan bisa mendampingi kehidupan umat.
Proses Belajar yang Panjang
Kiai Mukti menambahkan, proses menjadi ulama tidak mudah. Berdasarkan realitas dan pengalaman para ulama dalam sejarahnya, membutuhkan proses belajar minimal belasan tahun sampai minal mahdi ilal lahdi (dari ayunan sampai liang lahat).
Dia memberikan contoh, biasanya para calon ulama mengenyam pendidikanya di pondok pesantren dengan kurun waktu sekitar sembilan tahun, mempelajari berbagai disiplin ilmu keislaman seperti nawhu sharaf untuk memahami teks berbahasa Arab, ini sangat penting karena Alquran dan hadits menggunakan bahasa Arab dan karya-karya kitab seperti generasi salaf saleh.
Menurutnya, itu menjadi salah satu syarat mutlak untuk menjadi seorang ulama agar memahami gramatikal Arab, kitab balaghah, maani, dan ilmu linguistik Arab lainnya. ‘’Karena bahasa Arab itu adalah bahasanya ada yang ditulis (dengan) mudah dipahami orang, ada juga bersifat sastrawi kecuali menggunakan ilmu sasta Arab, yaitu balaghah dan maani,’’ tambah Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Ulama Menguasai Ilmu Manthiq dan Logis Berpikir
Selain itu, kata kiai Mukti, para calon ulama juga harus menguasai ilmu manthiq agar berpikir logis. Selain itu, masih banyak lagi yang dipelajari selama mengenyam pendidikan di pesantren.
‘’Calon ulama di pesantren itu belajar seluruh disiplin ilmu Islam dari fiqih, ushul fiqh, maqashid syariah, kemudian ushul fiqh, tafsir, hadits, ilmu Al-Quran, ulumul hadis, lalu seluruh produk tafsir, mengkaji hadits Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, dengan kitabnya 15 jilid dan seluruh disiplin ilmu Islam dipelajari di pesantren.
Lanjut kiai Mukti, setelah itu, setelah selesai mengeyam pendidikan di pondok pesantren. Para calon ulama ini biasanya melanjutkan pendidikan di perkuliahan, bahkan meneruskan ke jenjang perkuliahan selanjutnya. Mereka bukan hanya mengeyam perkuliahan di Indonesia, melainkan ada yang memilih ke Mesir, Suriah, dan negara lainya.
Ilmu Keislaman dan Akhlak Karimah
Namun, kata kiai Mukti, banyak juga yang memilih untuk berkhidmat di pesantren dan ada juga yang langsung meneruskan pesantren orangtuanya dengan mengajarkan disiplin ilmu keislaman yang dihasilkan dari pesantren.
Selain menguasai disiplin ilmu keislaman, kiai Mukti mengatakan, para calon ulama juga harus memberikan contoh akhlak yang baik, mengajarkan ilmunya, integritasnya diakui, memiliki pandangan arif dan bijaksana, memberikan solusi, dan selalu melihat umat dengan pandangan kasih sayang.
‘’Jadi ulama itu adalah seorang yang melihat umat dengan kasih sayang. bukan dengan kebencian, sehingga, tidak mudah menjadi seorang yang berilmu, ulama. Sehingga, kedudukan ulama itu diapresiasi setinggi-tingginya sebagai seorang pewaris nabi,’’ tuturnya, seperti dilansir situs resmi MUI.