Ilmu dan Hikmah, Pergulatan Meraih Kedekatan dengan Allah Ta'ala
"Aku ingin menulis ini lagi," tulis KH Husein Muhammad. Ulama yang dikenal aktivis keserasian jender ini, menyampaikan renungan soal ilmu dan hikmah. Keduanya ada perbedaan.
Namun, intinya, merupakan perpaduan pergulatan bagi orang-orang yang mencari (salik) yang menginginkan berdekat-dekatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala (Swt).
Untuk mengawali masalah tersebut, Kiai Husein Muhammad mencoba mengungkap serba sedikit soal ilmu dan hikmah:
Setiap penemuan ilmiah yang dihasilkan oleh manusia, siapapun dia, dari latarbelakang status sosial apapun dia, pada zaman kapan pun, sepanjang bermanfaat bagi kehidupan, kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, seyogyanya diapresisasi oleh siapapun termasuk kaum muslimin dan dipandang sebagai produk-produk yang tidak bertentangan dengan agama, terutama Islam.
Sikap eksklusif, menutup diri atau tidak terbuka terhadap hal-hal yang baik dan bermanfaat hanya karena dihasilkan oleh “orang lain” yang berbeda agama, aliran keagamaannya, sukunya, partainya atau lainnya adalah bertentangan dengan norma dan watak dasar ilmu pengetahuan.
Watak dasar ilmu pengetahuan adalah netral dan terbuka bagi siapa saja dan di mana saja.
Sikap menolak pengetahuan dari luar hanya karena mereka tak seiman juga tidak sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad saw yang menyatakan:
“Ambillah hikmah, tak akan merugikanmuy, darimana pun ia lahir”. (Al-Sakhawi dalam “al-Maqashid al-Hasanah”).
Hadits yang lain menyebutkan:
“Hikmah adalah barang yang hilang dari tangan seorang muslim. Maka jika dia menemukannya dia lebih berhak mengambilnya kembali”.
Kita sering menyaksikan inkonsistensi sebagian orang. Mereka menolak keras, sambil marah-marah, pikiran atau pandangan seseorang hanya karena dia "orang lain", bukan dari "agama kita", atau mereka menyebutnya "orang kafir". Tetapi dalam waktu yang sama, mereka memanfaatkan hasil pikiran "orang lain", "bukan kita" itu untuk kehidupan sehari-hari mereka, bahkan menikmatinya. Alangkah indahnya jika mereka berterima kasih kepada "orang lain" itu.
Al-Kindi (w. 873 M), seorang filsuf muslim awal terkemuka, mengatakan :
“Seyogyanya kita tidak merasa malu menerima dan menjaga suatu kebenaran dari manapun ia berasal, meski dari bangsa-bangsa yang jauh dan berbeda dari kita”. (Filosof al-Kindi).
Apakah makna Hikmah?
Ikuti kelanjutannya.
Advertisement