Ikonitas Karya pada Pameran Enam Perupa Pasuruan
‘Berlabuh Sukacita’ merupakan nama pameran ber-enam yang diselenggarakan di gedung Dewan Kesenian Malang (DKM), 13 - 20 mei 2023. Mereka adalah Alam Pamungkas, Garis Edelweiss, Saiful Ulum, Sihabudin, Wahyu Nugroho dan Yoes Wibowo. Tiap perupa menyajikan enam karya terbarunya. Tentu bersama kurator yang sering mengkurasi perhelatan-perhelatan seni rupa di Pasuruan Raya: Zuhkhriyan Zakariyah dan Kharisma Nanda Zenmira. Terlepas dari ubo rampenya dalam perlabuhan enam orang tersebut, yang menjadi perhatian dinantinya adalah bentuk kapalnya sebagai sarana yang dapat menghubungkan antara nahkoda dengan penumpang, perairan dengan daratan, daya dengan energi, seniman dengan penikmatnya. Nah, pameran dengan karya yang dipamerkannya.
Mark Tansey (1981) telah membuktikan pada karyanya yang disebut “The innocent eye test” dengan menghadirkan hewan sapi yang diperlihatkan didepan lukisan sapi “The Young Bull” karya Paulus Potter (1647). Untuk memahami objek estetis dalam bentuk karya seni rupa, visualisasi merupakan faktor prioritas dalam sebuah pameran karya seni rupa. Selain banyak aspek lainnya. Seperti alur ilustrasi berikut:
Keenam seniman tersebut merupakan lintas generasi dalam organisasi Komunitas Guru Seni dan Seniman Pasuruan (KGSP), diantaranya:
Awan Pamungkas, seniman otodidak sekaligus pemusik yang menyajikan warna-warna pastel, kesan romance, dengan bentuk-bentuk realistis, sederhana, yang kemudian tidak akan menjadi sederhana dengan garis-garis yang cukup variatif. Ia mengandalkan bunga matahari sebagai ikonis yang paling menonjol lugas dalam lukisanya. Tanda tersebut memungkinkan diinterpretasikan secara metaforis adalah yang popular dari jenis tanaman hias. Terdiri dari ratusan lembar bunga kecil dalam satu bonggol. Perawatan tidak rumit dengan membutuhkan sinar matahari langsung. Sampai salah satu manfaatnya adalah menghasilkan kuaci. Semua orang mulai anak sampai dewasa tanpa perlu bertanya dapat mengetahui langsung ketika melihat bentuk yang dimaksud.
Artinya melalui objek dari tanda yang divisualisasikan di atas media yang diolahnya, menjadikannya sebagai petanda citrawi artistik. Bahwa tanda dan petanda secara harfiah juga sebagai representasi dari sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan karyanya. Pesonanya, suasana hatinya, pikirannya, pengetahuannya, tindakannya, obrolannya, gaya hidupnya, gaya pakaiannya, nama parfumnya, isi tasnya, merek rokoknya, konsistensi minuman dan makanan favorit yang dibelinya, durasi makan, genre musiknya, tokoh idolanya, captionnya, postingannya, browsingannya, baca bacaannya dan semua yang lainnya. Faktor inilah kemudian menjadi corak karyanya yang cenderung mengikuti tren populernya sebagai entitas karyanya.
Garis Edelweiss, illustrator. Pada pamerannya kini ia masih asik bermesrah dengan objek ikan asin (iwak asin/wak asin). Kata yang tak asing ini jika menggunakan tagar (#wakasin) di instagram memiliki unggahan tampilan lima puluh gambar karyanya sendiri. Warna monokrom biru dan merah dari goresan ballpoint dan spidol sangat ikonis walau sekilas pandang menjadi point of view ciri khasnya. Bertabur tampilan nomor seri, simbol-simbol, stiker, sebagai tanda layaknya suatu produk yang akan diekspedisikan. Memadukan sifat objek estetis natural: dari ikan asin itu sendiri, dengan objek estetis kultural: ikan asin sebagai produk budaya manusia.
Menariknya, kali ini ia tidak lagi konvensional. Menerobos batas dengan menggunakan batas baru: mendobrak yang tersekat, mencairkan yang beku, merobek yang terbungkus, meluaskan yang sempit. Memfokuskan eksplorasinya menggunakan peti kayu berukuran 60x70cm. Mengeksplorasi packaging sebagai media ekspresinya. Menempatkan karya konvensinya didalam karya eksperimennya. Peleburan gagasan visual ini merupakan interpretasi dari pengembaraan artistik yang telah melampaui masanya. Seakan menerjemahkan kemungkinan bahwa karya seninya telah memasuki gerbang industrialisasi modern. Kemungkinan tersebut menjadi nutrisi dan stamina baru bagi seniman untuk terus bersaing, berinovasi artistik dalam menumpukan hidupnya pada pilihan seninya.
Saiful Ulum, seniman multitalent, manyajikan panorama laut sebagai objek utama pada karyanya. Disebutlah naive art yang menolak konvensi akademis, tatanan visual dengan mengeksploitasi penataan objek. Ketepatan garis, figur, bentuk bentuk, kekanak-kanakan, jujur, ceria nan bahagia merupakan ciri dalam karya-karyanya. Olesan halus kuas dari cat akrilik dibuatnya menawan. Memainkan repetisi distorsi banyak objek (pepohonan, hewan, infrastruktur, perahu, balon-balon) dengan menonjolkan warna-warna gairah. Mengacaukan pandangan, mengaburkan yang utama, merusak keselarasan, melahirkan asumsi-asumsi tak terduga dengan pertimbangan layout estetis di atas media kanvas berukuran 60 x 70cm.
Era disrupsi telah membawanya pada pencapaian karyanya yang semakin tajam berkomunikasi visual. Citra rasa artistik pada karya Ulum merupakan fantasi paradoks yang menjadikan idiom tersendiri. Kenaifan visualnyalah merupakan ungkapan satir. Tentang fenomena kebendaan-manusia-duniawi. Gejala lingkungan memang tak ada henti untuk dibicarakan dalam sudut manapun. Sebagai kontribusi penyadaran masyarakat luas terhadap lingkungan.
Sihabudin, peserta termuda. Seluruh karya drawingnya memakai simbol-simbol tentang peradaban masyarakat pesisir di kota Pasuruan. Menonjolkan objek figur lelaki berkopyah panjang yang didistorsi sebagai simbolik dari masyarakat pesisir sekaligus produk budaya masyarakat Jawa. Arsiran gelap terang yang sangat kuat membentuk kedalaman ilustrasi suasana di atas kanvas berukuran 60x70 cm. Perahu dan ikan melengkapi citra rasa pesisir. Sangat teaterikal.
Perwujudan gagasan visual tersebut merupakan refleksi kedekatan seniman terhadap gejela lingkungan tempat Sihabudin tinggal. Aktivitas, rutinitas, dialektika, interaksi sosial, spiritualitas, pendidikan, perekonomian, pola hidup masyarakat pesisir yang sangat ikonik menjadi penanda bahwa ada. Peristiwa praonan menjadi berharga untuk dikupas kemudian menjadi pemikiran bersama untuk dilestarikan sebagai tonggak kebudayaan.
Wahyu Nugroho, mendedikasikan hidupnya pada intuisi sebagai landasan penciptaan karyanya. Karya drawing melalui goresan kuas dengan cat akrilik sangat digarap serius dan total di atas bidang kanvas berukuran 60 x 70cm. Warna-warna pastel menjadi latar belakang objek utama yang sangat kontras. Goresan demi goresan yang tanpa model, repetisi tanpa rencana, aksentuasi tanpa rekayasa melebur menjadi bentuk-bentuk abstraktif, menjadi entitas baru, menjadi artistik, menjadi wacana, menjadi pengetahuan ilmiah, menjadi pengembaraan, menjadi energi, menjadi persepsi.
Pemilihan yang demikian tentu telah melalui perjalanan dan pengalaman estetis yang sangat panjang. Membentuk pola pikir, membentuk gaya, membentuk interaksi, membentuk pola hidup, membentuk kebiasaan, membentuk pertemanan, membentuk harapan, membentuk karakter, dan membentuk seorang Wahyu Nugroho.
Yoes Wibowo, mengungkapkan gagasan melalui burung garuda sebagai obyek utama pada karyanya. Melalui cat air pada bidang kertas berukuran 56 x 76 cm dengan penggarapan sangat detail. Dedaunan, bulu-bulu, ular, bunga-bunga, awan mega, figur perempuan melengkapi kemenawanan karyanya. Komposisi warna dengan gradasi yang sangat teratur kuat membuat kesakralan suasana semakin terasa. Keseimbangan bidang pun mengarahkan pada burung Garuda sebagai inti pesan yang diungkapkan pada karyanya.
Secara harfiah sederhana, burung Garuda merupakan lambang sakral karena menyangkut sebuah keutuhan Negara Kesatan Republik Indonesia. Karya tersebut mengajak untuk merefleksikan diri, instropeksi diri terhadap rasa nasionalisme pada tiap masing-masing kita yang menginginkannya. Tentang fenomena, kebebasan, kemanusiaan, keharmonisan, perdamaian dan segala aspek dalam tatanan hidup bernegara. Sebuah wacana yang sulit ditafsir tanpa bekal pengetahuan yang menunjang untuk mengupas sampai memahami makna karyanya.
Maka dengan demikian, dengan gaya dan caranya, enam orang telah menorehkan sejarah, mendedikasihkan hidup: pemikiran, pengetahuan, kemampuan, terhadap kelangsungan bermasyarakat. Melalui pameran dalam skala kecil yang telah diselenggarakan dengan sederhana bernilai keluhuran yang luar biasa untuk diapresiasi. Adanya perhelatan tersebut kemudian menjadi stamina untuk menggairahkan insan seni tetap berkiprah bahkan dengan segala keterbatasan dan kondisi yang dialaminya. Agar kelangsungan hidup tetap terjalin indah dan sehat.
Perkembangan seni rupa hari ini sangat pesat hingga tak bisa terbendung. Untuk itu harapannya, khususnya seniman muda berbakat mampu melanjutkan pola yang sudah terjalin dengan menambahkan kualitas, inovasi baik dari segi wacana, tema, visualisasi, tehnik, media, jenis, fungsi, nilai bahkan pemilihan lokasi dan penikmatnya. Sehingga kualitas peradaban seni rupa bagi komunitas daerah mampu menginspirasi bagi daerah lain yang sangat patut mendapat perhatian penuh. Pun terutama bagi Pemerintah, instansi dan dinas terkait untuk saling bersinergi terlibat mengapresiasi menumbuh kembangkan potensi sember daya manusianya dalam ruang kesenian sebagai tonggak kebudayaan suatu daerah.
*Yudha Prihantanto: penulis, pengajar seni, dan praktisi seni yang tinggal di Kota Pasuruan.