Ihwal Sesajen di Semeru, Komisi Fatwa MUI Jelaskan Hukum Islam
Erupsi Gunung Semeru di Lumajang pada 4 Desember 2021 mengakibatkan lebih dari 50 orang meninggal dunia. Setelah bencana itu, warga Prononjiwo Lumajang melakukan doa bersama tolak bala. Setelah melakukan doa tersebut, masyarakat melakukan tradisi menyajikan makanan atau sesajen di beberapa titik lokasi.
Namun sesajen tersebut ditendang dan dibuang oleh sosok pria yang video aktivitasnya itu viral di media sosial. Dalam video tersebut, si pria itu mengatakan bahwa inilah (sesajen, red) yang mengundang murka Allah sambil menendang dan membuang sesajen.
Guna memahami hal itu, berikut penjelasan Ust Ma'ruf Khozin, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Suramadu.
Ust Ma'ruf Khozin, yang Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, seketika ditelepon seorang temannya yang asli kelahiran Pronojiwo untuk menanyakan hukum sesajen dalam pandangan Islam.
“Tuan Abdul Hanan, teman bermain saat di Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang yang asli kelahiran Pronojiwo Lumajang ini, menelpon saya pada Sabtu 8 Januari lalu dan mengirim video ada orang yang menendang sesajen yang dikatakan syirik dan justru mengundang murka Allah".
Biarlah Dimakan Burung atau Hewan Lainnya
Melalui whatsapp, temannya tersebut menanyakan: “Video di atas adalah suatu ritual, di mana setelah 40 hari meletusnya gunung Semeru bada Magrib kami membaca tolak bala, Yasin, dan lain-lain. Sesuai petunjuk salah satu kyai. Pagi harinya kami memasang semacam sesajen (petek’an: Madura). Namun ada kelompok minhum yang membuang dan meng-unggah di medsos. Masyarakat kami sangat tidak terima dengan perilaku mereka. Bagaimana cara menyikapinya kiai?”.
Ust Ma’ruf Khozin menjelaskan bahwa dirinya mengikuti beberapa kali Bahtsul Masail di PWNU yang berkaitan dengan tradisi, baik seperti bersih-bersih kampung, larung laut, nyadran, dan sebagainya.
Para musyawirin selalu memberi perincian dari kitab Fathul Muin yang bersumber dari kitab Tuhfah Ibnu Hajar:
(فَائِدَةٌ) مَنْ ذَبَحَ تَقَرُّبًا للهِ تَعَالَى لِدَفْعِ شَرِّ الْجِنِّ عَنْهُ لَمْ يَحْرُمْ، أَوْ بِقَصْدِهِمْ حَرُمَ… وَصَارَتْ ذَبِيْحَتُهُ مَيْتَةً. بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّقَرُّبَ وَالْعِبَادَةَ لِلْجِنِّ كَفَرَ (إعانة الطالبين – ج 2 / ص 397)
“Barangsiapa menyembelih hewan (atau makanan) sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menghindari petaka dari Jin, maka tidak haram. Jika bertujuan untuk Jin (bukan karena Allah), maka haram. Sebab sembelihannya menjadi bangkai. Bahkan jika bertujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada Jin, maka ia telah berbuat kufur”. (Syekh Abu Bakar Syatha, Ianat ath-Thalibin, 2/397).
“Saya yakin kiai tadi saat menyembelih ayam tetap membaca Bismillah, bukan “sesembahan” yang ada di gunung, karena yang melakukan memang jelas-jelas Islam,” terang Kiai Ma’ruf Khozin.
Namun, Ust Ma'ruf Khozin, yang juga Ketua Aswaja NU Center Jawa Timur itu tetap menekankan lebih baik makanan itu disedekahkan, dimakan bersama. “Tapi Bang Hanan ini bilang bahwa makanan itu sengaja dibiarkan supaya dimakan oleh burung atau hewan apapun yang ada di sekitar Semeru,” ungkap Kiai Ma’ruf Khozin. Kalau seperti itu, lanjut dia, jutsru tidak apa-apa.
Seperti dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli:
ﻓﻤﺎ ﻳﻘﻊ اﻵﻥ ﻣﻦ ﺭﻣﻲ اﻟﺨﺒﺰ ﻓﻲ اﻟﺒﺤﺮ ﻟﻄﻴﺮ اﻟﻤﺎء ﻭاﻟﺴﻤﻚ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻗﻴﻤﺔ؛ ﻷﻧﻪ ﻗﺮﺑﺔ
“Apa yang terjadi saat ini dengan melempar roti ke laut untuk binatang laut dan ikan adalah tidak haram meskipun memiliki harga sebab hal itu termasuk sedekah kepada hewan.” (Nihayatul Muhtaj, 7/367).
“Lalu dari sisi mana Syirik dan mendatangkan murka Allah?,” tutur Kiai Ma’ruf Khozin mengakhiri penjelasannya.