Ihwal Religiusitas - Kemanusiaan, Pesan Kuntowijoyo pada Gus Dur
Sastrawan Kuntowijoyo ternyata pernah memberikan pandangan kepada KH Abdurrahman Wahid. Khususnya, ketika Gus Dur naik ke kursi kekuasaan, sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.
"Kebudayaan setidaknya berguna bagi bangsa dalam tiga hal, yaitu sebagai bentuk luar dari perasaan-perasaan yang di dalam, sebagai jati diri bangsa, dan sebagai alat perekat yang dapat mempersatukan bangsa," kata Kuntowijoyo.
Tak lupa, Kuntowijoyo mengingatkan tentang "Rasa-Bentuk"
Dengan berbagai variasinya, sebagai satu bangsa, ternyata kita mempunyai perasaan yang sama. Kita akan menunjuk dua hal, yaitu religiusitas dan kemanusiaan – dua kata yang menempati urutan teratas dalam Pancasila.
Sebutan seperti “nasionalis-religius”, “religius-nasionalis”, dan “sosialisme-religius” sudah menjadi kata sehari-hari. Rasa tunduk kita kepada Tuhan Yang Maha Esa itu kita lambangkan dalam semarak kehidupan agama, kepercayaan, seni, dan perilaku. Hinduisme, Budhisme, Islam, dan Kristen, semuanya mengakar di sini.
Demikian Kuntowijoyo, pakar sejarah dan budayawan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Berikut lanjutannya:
Memanjang dalam waktu dan meluas dalam ruang. Kita ingat Candi kalasan dari Hinduisme abad ke-8, Candi Borobudur dari Budhisme abad ke-9. Sekian masjid dan sekian gereja. Bukti ini tidak berarti bahwa agama-agama adalah kebudayaan. Agama-agama itu di sini dijalani secara serius.
Rasa kemanusiaan tampak dalam perdamaian, hak-hak asasi manusia (HAM), egalitarianisme. Akhir-akhir ini, memang rasa kemanusiaan kita di beberapa tempat telah hilang karena pelanggaran HAM dan kekerasan, tetapi percayalah itu bukan gejala permanen. Rasa kemanusiaan juga tercermin dalam perilaku sehari-hari, seperti keakraban, kerukunan, hormat pada orang yang lebih tua, suka menolong, dan toleransi.
Jati Diri Bangsa
Tidak ada alat yang dapat mengekspresikan satu bangsa kecuali kebudayaan. Agama, olahraga, ilmu, dan teknologi mempunyai aturan-aturan yang universal. Di Mesir dan India di dunia Timur, di Negeri Belanda dan Amerika di dunia Barat, salat wajib itu lima kali sehari semalam.
Tidak ada bedanya badminton di Swedia, Cina, dan Indonesia. Rumus bahwa O adalah oksigen berlaku dimana-mana; di Kuba yang sosialis ataupun di Amerika yang kapitalis.
Kebudayaan berbeda-beda, bahkan dalam negara yang sama. Perempuan di Manado akan jegang bila duduk di lantai, orang Jawa timpuh. Balado di Padang asin, sedangkan di Yogya agak manis. Dengan mudah orang mengenali lukisan Cina klasik dengan garis-garis melengkung dan lukisan Barat dengan anatomi dan perspektif yang kental.
Dangdut dan keroncong hanya terdapat di Indonesia. Sama-sama batik, tapi dengan mudah dapat dibedakan batik Afrika dan batik Indonesia; keduanya berbeda dalam motif.
Perekat Bangsa
Kita ingin menunjukkan satu aspek saja dari kebudayaan, yaitu bahasa. Kita sungguh diuntungkan oleh proses sejarah. Bangsa-bangsa lain, seperti Filipina dan India, harus berjuang keras untuk membuat bahasa yang disetujui sebagai lingua franca.
Bangsa Indonesia tidak usah bersusah payah. Begitu merdeka, kita sudah mempunyai bahasa yang satu. Dengan adanya satu bahasa itu, bukan saja kita dapat berkomunikasi, unsur budaya yang lain —seperti sastra— juga berkembang. Kiranya sastra juga merupakan alat perekat.
Kita sungguh takut, sebab alasan yang dipakai untuk pembubaran Deppen dapat pula dikenakan untuk Ditjen Kebudayaan, yaitu meniadakan inefisiensi dan meningkatkan peran masyarakat.
Pertanyaannya adalah: bagaimana nasib sejarah, museum, peninggalan purbakala, dan high culture? Apakah pemerintah mau melepaskan tanggung jawab dalam mengembangkan kebudayaan sebagai amanat konstitusi?
Menyerahkan urusan kebudayaan kepada masyarakat berarti menyerahkannya kepada pasar. Dan pasar bukan pelaksana yang baik bagi kebudayaan. Sebab, selama ini pasar pilih kasih, hanya budaya yang menguntungkan yang akan dipelihara.
Nanti hanya budaya yang populer yang dihidup-hidupkan, sedangkan sejarah, museum, peninggalan purbakala, dan high culture yang tak dapat dijual ditelantarkan. Dalam hal ini, subsidi masih diperlukan.
Demikian Kuntowijoyo menulis tentang "Gus Dur Di Mana Kebudayaan?", dimuat di Majalah Gatra, 06 November 1999.
Advertisement