Ihwal Pandemi Corona, Begini Penjelasan Logika Islam
Uraian Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah terhadap Al-Quran surat al-Hasyr ayat 23 nampaknya relevan untuk kita renungkan di masa pegebluk Corona ini.
Pada kata "al-Mutakabbir", yang berentet dengan kata "al-Aziz dan al-Jabbar", Quraish Shihab mengulas bahwa Kemahaan Allah yang membuatNya berhak sombong (al-Mutakabbir) mengisyaratkan peniadaan segala yang selainNya.
KesombonganNya menisbatkan makna KemanunggalanNya atas dasar kekuasaanNya kepada apa saja. Ternegasilah segala selainNya.
Rentetan al-Mutakabbir dalam tersebut didahului terlebih dahulu dengan al-Aziz. Ia menggambarkan suatu Kekuatan Maha Perkasa terhadap apa saja, menerjadikan atau mencegah apa saja, mengadakan atau menghilangkan apa saja, memuliakan atau meruntuhkan apa saja, dsb. Dengan sifat KeperkasaanNya ini, Allah selanjutnya menerakan sifatNya al-Jabbar, Maha Memaksa. Yakni memaksa keterjadian apa saja atau sebaliknya, dst.
Dalam ayat lain, dikatakanNya bahwa umpama semua manusia bersatu untuk menerjadikan sesuatu, tetapi Allah tak menghendakinya terjadi, pasti itu takkan terjadi. Dan sebaliknya. Inilah cermin bagi KemahaperkasaanNya yang lalu beriring dengan KemahamampuanNya Memaksa apa saja kepada siapa saja dan kapan saja.
Begitupun tentunya perkara pagebluk Corona ini.
"Di titik ini, saya ingin menarik inspirasi dari paparan Prof. Quraish Shihab terhadap al-Mutakabbir yang notabene mestilah semata milik Allah. Ketika ada di antara kita yang mengambil sifat Allah tersebut, ia tak lagi tepat secara bahasa disebut mutakabbir, tapi takabbur. Maknanya sama sombongnya," tutur Edi Mulyono, pengurus Lembaga Ta'lif wa Nasyr PWNU Jogjakarta.
Dijelaskan:
Takabbur merupakan sifat sombong yang dijalankan oleh segala yang bukan Tuhan Yang Maha Kuasa, termasuk kita. Mana ada selain Tuhan yang benar-benar secara mutlak memiliki kekuatan perkasa mutlak dan karenanya bisa memaksa mutlak. Mustahil.
Ketidakmutlakan ini bila disandingkan dengan pikiran dan perilaku negasi, peniadaan, kepada selain dirinya, jatuhlah ia pada sifat takabbur --yang diambilnya dari sifat Allah al-Mutakabbir. Adanya sifat tersebut pada diri tentulah mencerminkan kebebalan di satu sisi dan kebodohan di sisi lainnya. Bodoh karena tak mengetahui ketidakmampuan dirinya atau kelemahan, kefanaan, dan kefakirannya dan bebal karena merasa memiliki kemampuan mutlak untuk menegasi liyan.
Dampak buruk dari takabbur adalah merendahkan liyan dan bahkan Tuhan. Ia merasa dan memandang dirinya kokoh perkasa, padahal jelas tidak, dan mengabaikan liyan, bahkan Tuhan. Wajar bila sifat tersebut sangat dicelaNya.
Mari berhati-hati. Mungkin saja kita ahli ilmu, ahli ibadah, cinta Islam dan syariat sebegitu gebyarnya. Tetapi bisa saja kita secara rohani malah terjungkal kepada perbuatan mengambil sifat al-Mutakabbir Allah (jadinya takabbur), dan itu dicelaNya, tatkala mengatakan dan mengkhutbahkan ke mana-mana bahwa pagebluk Corona ini adalah kehedak Allah. Siapa pun yang terkena kemudian juga merupakan kehendak Allah.
Karenanya jangan takut sama sekali kepada ancaman Corona --lalu tak melakukan apa-apa sebagai ikhtiar rasional dan ilmiah, malah membangkangi dengan mata memicing kepada rekomendasi-rekomendasi ilmu dan sains dalam meminimalisir infeksi virus ini.
Bila di waktu yang sama di hati kita berdenyar perasaan mampu selamat dari serbuan Corona karena kita merasa punya Allah Yang Maha Kuasa, lalu abai dan abai, mungkin betul itu merupakan isyarat atas ketakabburan kita yang hendak mengambil sifat al-MutakabbirNya.
Wallahu a'lam bish shawab.