Ignas Kleden, Postcript Sebuah Kesungguhan Intelektual
SANGAT sedikit intelektual Indonesia seperti Ignas Kleden. Ia tak pernah mau berkompromi dalam soal kualitas ide dan kesungguhan dalam menghadapi masalah. Mungkin ini sebabnya ia tak pernah tampil di acara talk show televisi — sebuah medium komunikasi yang tekun memerosotkan mutu percakapan intelektual, selain mengumbar kedangkalan kultural tanpa putus melalui acara-acara hiburan yang keburukannya sulit dipercaya.
Ia meminati percakapan intelektual sejak masih belia, sejak ia, dari kampungnya di Waibalun, Nusa Tenggara Timur, memandangi orang-orang pintar Jakarta menyajikan ide-ide mereka atau berpolemik di media massa. Ia menikmati semua itu dari perpustakaan yang baik di seminari Larantuka, yang selalu menerima kiriman edisi terbaru majalah apapun. Ia menawarkan diri untuk bekerja di sana, supaya bisa menikmati bahan bacaan yang melimpah.
Ia menerjemahkan teks-teks berbahasa Inggris (atau Jerman) untuk Nusa Indah, sebuah penerbit yang komited menerbitkan buku-buku bermutu, menerapkan standar intelektual para pastur pembinanya.
“Saya membicarakan mereka (para intelektual Jakarta) seolah-olah saya mengenal mereka secara pribadi,” katanya, tersenyum geli, mengenang sikap “sok tahu”nya. Dan ia pun berani menyodorkan ide-idenya sendiri di forum media ibukota, bersanding dengan nama-nama besar seperti Asrul Sani atau Wiratmo Sukito. Waktu itu ia baru awal 20an, dan menulis kolom-kolom yang bagus di mingguan Tempo atau bulanan Budaya Jaya.
Ia tampak berupaya menawarkan pendekatan akademis terhadap isu-isu sastra, bahasa dan budaya. Ia, misalnya, mengutip Sigmund Freud untuk kolomnya tentang bahasa.
Perujukan kepada para sarjana ilmu sosial ini, untuk isu-isu budaya, jarang dikerjakan oleh para penulis yang menekuni bidang itu. Mereka enggan membaca buku, dan lebih mengandalkan “pengolahan batin yang otentik” — agar tak dikotori oleh ide-ide intelektual para sarjana.
Tawaran akademis semacan ini terus diupayakannya sampai puluhan tahun kemudian. Dalam kritik sastra, misalnya, ia akhirnya terang-terangan mengungkap motifnya ketika ia mengritik tulisan penyair Afrizal Malna untuk sebuah kumpulan cerita pendek Kompas (karena tanpa keterusterangan itu rupanya ia merasa maksud tawaran yang sudah sering diajukannya tak dimengerti).
Ia, katanya, ingin menyarankan supaya kritik sastra kita punya referensi teoretis, misalnya pada Paul Ricour, yang sudah banyak mengulas soal ini dengan baik. Mengapa teori orang-orang seperti itu tidak dimanfaatkan?
Tanpa rujukan teoretis, kritik sastra kita hanya akan berputar-putar dengan mengandalkan “kreatifitas” dadakan sang kritikus, sambil mengumbar aneka peristilahan mentereng atau serampangan yang tak tentu maknanya.
Itulah yang dia lihat pada pengantar berjudul “Upaya Membuat Telinga” tersebut — tentu ini ia maksudkan sebagai sekadar contoh terdekat. Dengan kekocakan yang cerdas, ia mengibaratkan tulisan itu dengan pemain yang sibuk membawa bola, asyik menggoreng bola dengan berputar-putar di dekat gawang lawan, tapi tak pernah menendang untuk mencetak gol. Pembaca dibiarkan dalam ketidakmengertian atas maksud si kritikus.
Tulisan itu, katanya, seperti menjanjikan hal-hal yang istimewa, seakan mau mengajak pembacanya menikmati steak yang enak, tapi ternyata hanya menyajikan makanan sehari-hari yang biasa saja.
Ketajamannya dalam mengidentifikasi pemikiran orang, dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, tak tertara. Ia menulis pengantar panjang yang sangat bagus untuk antologi Soedjatmoko (“Etika Pembebasan”, LP3ES, 1984). Baginya, seluruh kerja intelektual Soedjatmoko bertumpu pada martabat manusia, dan dapat dirangkum dalam dua kata: otonomi dan kebebasan.
Ia dengan gemilang mempertanggungjawabkan klaim itu, dengan secara konsisten menunjukkan dua pokok ide tersebut dalam begitu banyak tulisan Soedjatmoko yang tersebar di jurnal maupun sumbangan artikel di buku-buku yang kebanyakan disunting sarjana lain dan diterbitkan di luar negeri, selain tulisan-tulisan editorial di mingguan “Siasat” milik Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Soedjatmoko di tahun 1950an.
Temuannya seperti menjawab kebingungan Arief Budiman dalam menghadapi lanskap luas pemikiran Soedjatmoko, setidaknya yang terhimpun dalam antologi “Dimensi Manusia dalam Pembangunan” (LP3ES, 1981). Dalam resensi atas buku itu di majalah Tempo, Arief mengeluh bahwa ia gamang menghadapi Soedjatmoko. “Ia seperti melukis di kanvas besar, dengan sapuan-sapuan kuas yang juga besar-besar,” tulis Arief.
Maksud Arief: sebagai pemikir Soedjatmoko tidak menganut suatu mazhab atau pendekatan tertentu seperti lazimnya para sarjana di kancah ilmu-ilmu sosial, sehingga orang kesulitan untuk melacak dan menggeledah pikirannya.
Ignas Kleden menyanggahnya dan mengajukan dua kata kunci itu (otonomi dan kebebasan), sambil menunjukkan bahwa Soedjatmoko tampaknya banyak terpengaruh oleh Karl Jaspers, seorang psikiater-filosof Swiss-Jerman.
Ia juga menulis pengantar panjang yang kuat untuk kumpulan “Catatan Pinggir 2” karya Goenawan Mohamad (1989) — sebuah tinjauan brilian yang sangat mungkin tidak disukai penulis bukunya karena ulasannya yang tajam dan sulit dibantah.
Baginya, meskipun Goenawan menebar begitu banyak tema dalam esai pendek yang terbit setiap minggu di majalah Tempo itu, untuk memahaminya (tapi terutama memahami sikap dan gaya, bukan substansinya), pertama-tama Goenawan harus dilihat sebagai wartawan, dan kedua sebagai penyair.
Konsekuensi dari kedua predikat itu terlihat jelas pada pendekatan jurnalistisnya — yang serba sekilas dan terpotong-potong — dalam menangani isu apapun, dan pada semangat artistiknya dalam membahas isu apapun. Sikap Goenawan, katanya, tidak pernah jelas dalam hampir semua masalah, kecuali dalam soal kebebasan.
Sebab kedua profesi itu, wartawan dan penyair, sangat mementingkan kebebasan sebagai prasyarat — tapi tentang ini pun tidak ada elaborasi yang memadai yang ditawarkan Goenawan, berbeda dari semua isu lain yang disentuhnya, yang selalu ditandai dengan tendensi philosophizing; seakan-akan kebebasan tak memerlukan bahasan filosofis lagi karena sudah sangat jelas manfaatnya bagi manusia/warganegara.
Terhadap obsesi Goenawan pada keindahan bentuk, pada ketekunannya mendekorasi kalimat atau merumuskan proposisi ide dengan elan artistik khas penyair, Ignas berkomentar: Goenawan menebar begitu banyak kembang dalam esai-esainya, tapi susah ditebak apa jenis tanamannya.
Dengan kata lain: keluhan Ignas terhadap Goenawan Mohamad mirip keluhan Arief Budiman tentang Soedjatmoko, yaitu ketiadaan disiplin metodologis pada keduanya.
Esai-esai pendek Goenawan itu, setidaknya bagian-bagiannya, menurut Ignas, tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai pernyataan diskursif yang bisa didiskusikan, melainkan sekadar cetusan keluar dari suatu perenungan batin yang intim.
Inilah yang disebut Karl Raimund Popper dengan “expressionism epistemology” — ia memang terpengaruh Popper sejak sebelum kuliah di Jerman. Konsekuensi dari karakter tulisan seperti itu, menurutnya, ialah: kita hanya bisa menerima atau menolaknya — tidak ada peluang untuk diskusi.
Kecemelangan Ignas Kleden semakin terlihat saat ia merangkum percakapan di seminar HIPIIS di Palembang, 1996. Ia menulis postcript itu di jurnal Prisma.
Ia menjahit dengan sangat rapi begitu banyak gagasan — dari soal strategi besar pembangunan negara hingga perhitungan konsumsi kalori rakyat Indonesia dan rasio gini nasional — dan menjadikannya masuk akal bahwa semua itu memang saling terkait, dan terutama membuat kita mendapat kebulatan pemahaman yang memadai terhadap perhelatan keilmuan yang meriah itu.
Siapapun tahu bahwa membuat catatan akhir semacam itu — yang berhasil mengaitkan paparan semua pemrasaran, dengan menangkap ide-ide besar mereka sambil melayani detail-detail dan ilustrasinya — merupakan pekerjaan yang saya duga bahkan panitia penyelenggara seminar pun tidak sanggup mengerjakannya.
Dan yang lebih mengagumkan: ia memotret seluruh ide yang dipertukarkan di sana semata-mata dari meneliti makalah-makalah para peserta. Ia tidak hadir di Palembang.
Ia pernah mencoba membentuk lembaga riset yang lebih berorientasi aksi, bertumpu pada upaya menumbuhkan spirit demokrasi, terutama untuk Indonesia Timur. Sangat sedikit kiprahnya yang kita dengar.
Seperti kebanyakan pemikir serius, ia tampak kurang peduli pada harta, dan tidak pandai mencari uang. Ia berangkat diam-diam tadi subuh. Ia tak akan pernah hadir lagi di kota manapun — ia memulai perjalanan dari stasiun Waibalun pada Mei 1948, dan berakhir di Jakarta, Januari 2024.
Ia tak menitipkan apa-apa kepada kita. Tapi kita tahu: sejak lama generasi-generasi intelektual Indonesia terinspirasi oleh titipan karya-karya cemerlang Ignas Kleden — suatu inspirasi penting yang dulu tak mudah kita dapatkan dari intelektual lain, dan makin sulit kita raih hari-hari ini. *