Ignas Kleden, Pengamat Sosial dan Apresiasi Pemikiran Santri
Telah berpulang dalam damai, Bapak Ignas Kleden pada Senin, 22 Januari pukul 03.46 WIB di RS Suyoto, Jakarta Selatan.
Rumah Duka untuk pesemayaman jenazah serta berita pemakaman akan menyusul. Mohon doa bagi perjalanan akhir beliau
RIP Bapak Ignas Kleden.
Begitulah kabar duka yang mendalam bagi kaum intelektual Indonesia terkini, atas wafatnya Ignas Kleden, pengamat sosial yang brilian kelahiran Flores, NTT, disampaikan Ignatius Hariyanto, Senin 22 Januari 2024 subuh.
"Bpk Ignas Kleden, reequetcat in pacem," tulis Francis Wahono, di grup whatsapp Penulis Buku Kompas.
"Selamat jalan Pak Ignas. Guru kebenaran yang mengajak kita bernalar. RIP," tutur Maria Hartiningsih, wartawan senior yang lama mengabdi di Kompas.
Figur Cendekiawan Terdepan
Dr. Ignas Kleden, M.A. lahir di Flores Timur tepatnya di Larantuka pada 19 Mei 1948. Intelektual terkemuka ini, pernah menempuh pendididkan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT), Flores dan lulus pada tahun 1972. Tak puas sampai disitu, Ignas Kleden melanjutkan S2-nya di Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman dan mendapatkan gelar Master of Art di bidang filsafat (1981).
Setelah itu, Ignas melanjutkan studi S3 di Jerman juga, tepatnya di Universitas Bielefeld dengan mengambil sosiologi sebagai fokus studi doktornya (1995).
Ignas Kleden, merupakan sastrawan, sosiolog, filsuf, cendekiawan, dan kritikus sastra. Sosok yang beken dari timur, seperti Daniel Dhakidae, mulai aktif berkecimpung diawal tahun 70-an, dimulai menjadi seorang penerjemah buku-buku teologi pada penerbit Nusa Indah (Ende, Flores).
Ketika masih di Flores, Ignas mulai aktif menulis artikel untuk majalah Tempo (Jakarta). Setelah berpindah ke Jakarta, ia semakin aktif menulis artikel dan jurnal bahkan sempat menjadi jurnalis di Tempo.
Selain menulis, karirnya sebagai sosiolog dan filsuf juga mengantarkannya menjadi editor penerjemahan buku-buku ilmu sosial pada Yayasan Obor Internasional (Jakarta), koordinator penerbitan pada Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta), staf peneliti LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) Jakarta, dan kesibukan beliau saat ini adalah menjadi peneliti pada Yayasan SPES di Jakarta.
Tak hanya menggeluti sosiologi dan filsafat, Ignas juga sangat menyukai sastra. Tak hanya sastra Indonesia, beliau juga tertarik dengan sastra Jerman dan Rusia.
Perhatian Serius Filsafat Islam
Ada yang menarik dari sikap dan tindakan Ignas Kleden. Ia mengambil bagian dalam pembicaan buku Khazanah Intelektual Islam karya Nurcholish Madjid. Pada saat itu, diskusi yang dipandu oleh Rosida Erowati juga menghadirkan intelektual Muslim, Ulil Abshar Abdalla, Ketua Nurcholish Madjid Society Wahyuni Nafis. Sosiolog Ignas Kleden disambut bahagia Omi Komaria Madjid, istri Cak Nur, yang juga hadir dalam kegiatan tersebut.
Ignas Kleden begitu terperangah mendengar penjelasan Ulil Abshar Abdalla. Tentang Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang menjadi satu term yang tidak asing bagi Nahdliyin. Ignas Kleden, dengan tulus mengaku banyak hal mengejutkan saat mendengar penjelasan Ulil Abshar Abdalla.
Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan yang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, lahir dan besar di lingkungan pesantren menjelaskan:
Aswaja sudah menjadi sikap hidup, sampai cara makan pun mengikuti golongan ini. Namun, saya baru betul-betul memahami pengertian Aswaja setelah membaca buku Khazanah Intelektual Islam karya Nurcholish Madjid. Ya, saya baru 'ngeh' tentang pengertian Ahlussunnah wal Jamaah.
Pengampu Kitab Ihya Ulumiddin daring (online) itu menjelaskan bahwa aswaja merupakan kelompok yang menghindari pertikaian dan menjaga persatuan.
Suatu kelompok yang sejak awal fokusnya menghindari pertikaian politik dan memusatkan diri kepada upaya untuk membangun kehidupan umat yang relatif lebih terjaga kesatuannya karena mereka tidak terjatuh ke dalam polarisasi itu.
Orang yang bertanggung jawab untuk memunculkan dasar-dasar Ahlussunnah wal Jamaah itu, yakni Abdullah bin Umar. Salah seorang yang paling banyak meriwayatkan hadits itu enggan terlibat pada polarisasi politik yang cukup berbaya.
Saat itu, terdapat dua kubu besar, yakni Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Dialah orang yang sejak awal menyingkir dari pertikaian politiknya.
Bagi Cak Nur, kata kunci dalam Aswaja adalah jamaahnya, yaitu kesatuan umat yang tidak boleh dikorbankan karena pertikaian politik. Meskipun demikian, kelompok aswaja ini hatinya bersama Sayidina Ali. Yang menarik kata Cak Nur, Aswaja itu sebetulnya hatinya bersama dengan Ali bin Abi Thalib.
Hal tersebut ditunjukkan dengan sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia merupakan khalifah Dinasti Umayah yang menghentikan tradisi khutbah memaki Sayidina Ali.
Umar bin Abdul Aziz ini dengan menyetop memaki Ali di mimbar-mimbar Jumat. Meskipun demikian, Aswaja secara politik tidak mau terlibat dalam pertikaian Muawiyah dan Ali. Ciri khas Ahlussunnah wal Jamaah itu menghindari pertikaian dan menjaga persatuan umat.
Percik Pemikiran Ignas Kleden
Ada sejumlah percikan pemikiran terkini yang keluar dari kegelisahan intelektual Ignas Kleden. Ia bicara soal voluntarisme atau jiwa kesukarelawanan yang terjadi saat menjelang Pilpres. Hidupnya kembali partisipasi politik secara sangat mencolok bukan hanya karena sosok Jokowi, melainkan juga karena ada Prabowo. Orang mengambil bagian dalam pilpres bukan hanya untuk memenangkan yang dipilih, melainkan juga menghadang yang tidak dipilih.
Selain itu, kegelisahan intelektual Ignas Kleden berpusat pada masalah Indonesia. Dalam artikelnya yang berjudul "Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks", Ignas Kleden mengungkapkan keraguannya terhadap Soekarno atas keinginan kerasnya dalam mempersatukan suku yang ada di Indonesia dalam satu kesatuan. Hal ini merupakan keinginan yang positif, namun tentunya tidak mudah untuk mewujudkan keinginan tersebut, mengingat ada lebih dari 1.300 suku yang ada di Indonesia dan memiliki otonomi yang berbeda satu sama lain.
Kemudian, dalam artikel "Indonesian Political Parties: From Party Machinery to Political Volunteerism" yang dieditnya, mengandung kalimat sarkas yang sangat menggambarkan keadaan politik di era dahulu hingga sekarang. Hal tersebut masih menjadi sebuah pertanyaan, mengapa politikus dan wakil rakyat sangat berambisi mengenai uang dan tak jarang banyak dari mereka yang menyalahgunakan kuasa dengan dalih untuk kepentingan rakyat. Tetapi pada kenyataannya rakyat masih saja menderita dan hidup di bawah garis kemiskinan.
Lalu, saat menjadi Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur dalam artikel "Etnosentrisme dan Birokratisasi Pendidikan Nasional", Ignas Kleden mengkritik pemerintah terutama Menteri Pendidikan beserta jajaran. Hari Pendidikan Nasional hanyalah ceremony belaka yang hanya mendengarkan amanat panjang dari menteri yang setelah itu hilang entah kemana. Pemerintah tidak benar-benar memberi perubahan dalam aspek edukasi yang masih carut-marut dengan segala kurikulum yang direvisi untuk kesekian kalinya.
Pihak terkait perlu memperhatikan dan memikirkan bidang ini agar pendidikan di Indonesia dapat berjalan dengan lancar dan mencetak generasi muda yang intelektual dan inovatif. (Riadi Ngasiran)