Idul Fitri 2020, PDIP Surabaya: Bermaafan Tanpa Salaman
Momen Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah, yang jatuh pada Minggu 24 Mei 2020, berbeda dengan momen lebaran sebelumnya. Kali ini, masyarakat Indonesia harus merayakan kemenangan usai 30 hari beribadah puasa di tengah pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, DPC PDI Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya mengajak masyarakat Kota Pahlawan untuk menyambut Lebaran dengan penuh syukur. "Serta menguatkan semangat gotong royong untuk menghadapi pandemi Covid-19," tutur Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, Adi Sutarwijono (Awi).
Dia mengajak seluruh warga Kota Pahlawan untuk tetap disiplin, dalam menerapkan protokol kesehatan di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar.
“Kami keluarga besar PDI Perjuangan Kota Surabaya mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin. Mari kita rayakan ini dengan displin protokol Kesehatan,” kata Awi, Sabtu 23 Mei 2020.
Awi mengingatkan kepada masyarakat bahwa Hari Raya Idul Fitri tahun ini dirayakan dengan cara berbeda dibanding tahun lalu. Karena pada saat ini, warga harus merayakan dengan catatan tertentu. Yakni tetap berada di rumah, tidak menggelar halalbihalal yang mengumpulkan banyak massa hingga larangan pulang kampung.
Awi meminta warga legowo karena bersilaturahmi dan saling memaafkan dengan tidak saling berjumpa fisik dan tidak bersalaman. Namun dengan memanfaatkan teknologi komunikasi.
“Kita saling bermaaf-maafan. Kita tidak bersalaman, tapi hati pasti saling memaafkan. Kita perkuat tali silaturahmi dengan cara yang lain,” kata Awi.
Dia menambahkan, pada momen Lebaran warga Kota Surabaya diharapkan bisa memperkuat gotong royong nasional dalam balutan silaturahmi antarwarga.
"Silaturahmi tersebut harus dilakukan warga untuk memperkuat kohesivitas sosial yang harus diwujudkan dalam kerja gotong royong. Sehingga Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur dan Indonesia bisa melewati masa pandemi ini dengan sebaik-baiknya," harapnya.
Dia lantas menyinggung sejarah ‘halalbihalal’ yang diperkenalkan oleh Presiden Soekarno (Bung Karno) dan KH Wahab Chasbullah. Menurut Awi, Bung Karno meminta pendapat Kiai Wahab terkait situasi bangsa di awal kemerdekaan, yang penuh gejolak. Antar-elemen ketika itu terpecah. Sehingga oleh Bung Karno, momentum Lebaran digunakan untuk membangun persaudaraan nasional.
“Nah karena momen itu, muncullah istilah halalbihalal, saling memaafkan dan saling menghalalkan. Maka dalam konteks saat ini, Lebaran menjadi tradisi yang menyatukan. Kita saling memaafkan, lupakan semua perbedaan, dan kita perkuat kerja-kerja untuk menangani Covid-19 serta memulihkan kualitas kehidupan rakyat,” pungkasnya